107.

Langit kelabu menyelimuti ibu kota, pun angin berembus dengan kecepatan cukup tinggi. Beberapa dedaunan kering sudah jatuh tak kuasa menahan bebannya.

Sama seperti Praha yang sibuk mendorong troli, menikuti Aira menyusuri setiap rak supermarket. Jemari dan jam tangannya menjadi mainan Raga yang duduk tenang di bagian belakang troli.

Bisik-bisik para pengunjung cukup mengganggu Praha yang tidak pernah mengalami hal seperti ini. Netra tajamnya seakan siap menghunus setiap orang yang menatap aneh keluarga kecil mereka.

“Apaan sih? Nggak suka deh liat tatapan mereka!” gerutu lelaki itu.

“Udah biasa kan, Mas? Biarin aja.”

Tampaknya Aira benar-benar tidak peduli. Perempuan itu hanya menunjukkan tatap melalui ekor mata yang sedikit sinis. Mereka pun kembali meneliti setiap produk yang terpajang di sana, tentu tak lupa memperhatikan harga di bawahnya.

Baru saja hendak meraih mie instan, tangan Praha tiba-tiba ditepis oleh istrinya. Kerutan di dahi serta sebelah alis yang tengkat menandakan lelaki itu tak paham mengapa ia tidak boleh mengambil barang sebungkus.

“Jangan terlalu banyak makan mie instan,” tutur Aira yang langsung berjalan mendahului suami dan anaknya.

“Papa nggak mam mi!” Suara imut dari depan dadanya mengundang senyum Praha.

“Iya. Papa nggak makan mie lagi deh,” jawab lelaki itu, kemudian mengejar langkah istrinya.

Praha berkali-kali melihat Aira mengambil beberapa makanan dengan merk berbeda. Gadis itu membaca berat masing-masing produk, lalu membandingkan harganya.

“Ehm, kalo seratus lima puluh gram harganya tiga belas ribu sama dua ratus gram harganya lima belas ribu murahan yang mana, Mas?” tanya sang istri seraya menggenggam dua bungkus margarin.

Praha sempat memutar bola matanya sejenak, lalu menjawab, “dua ratus gram lima belas ribu.”

Raut ragu tergambar jelas di wajah Aira. Sudut bibir dan bola matanya sama-sama mengarah ke kiri. “Beli di tukang sayur aja deh, lebih murah,” ucapnya setelah meletakkan dua benda itu di tempatnya semula.

Hampir saja Praha melongo. Bahkan, ia sudah melakukannya. Jika istrinya tidak berniat membeli margarin di sini, untuk apa bertanya?

Perlahan tapi pasti, keranjang beroda yang semula kosong mulai terisi dengan berbagai produk. Tentu kebutuhan Raga yang mendominasi. Mulai dari susu cucuk, susu cair kotakan, biskuit, serta beberapa snack yang aman untuk anak seusianya.

Kini mereka sudah memasuki lorong khusus popok. Aira meminta suami dan anaknya menunggu di ujung karena ia harus berkali-kali memastikan merk mana yang akan dibelinya.

“Ish, kenapa nggak ada yang isinya sedikit, sih?” gerutu gadis itu.

“Ck! Ini terlalu tipis kalo buat malem-malem.”

“Yang ini dulu bikin pantatnya Raga iritasi.”

Ketika sang ibu sedang asik bergumul dengan dirinya sendiri, telunjuk kecil Raga mengarah pada Aira. Praha yang mengerti pun langsung mendorong troli menghampiri gadis itu. Mungkin anaknya juga lelah melihat mamanya mondar-mandir bak setrika.

“Sayang, kenapa? Popok yang biasa nggak ada?” tanya lelaki itu.

Sang gadis menggeleng pelan. “Ada sih, tapi lagi nggak ada promo.” Netranya berpindah menatap Praha, menyiratkan rasa kesal dan sedih. Pasalnya, hanya itu satu-satunya merk yang selalu Raga gunakan.

“Ya udah, beli yang lain nggak ada?”

“Yang lain lebih mahal, Mas. Ini yang murah, tapi tipis banget,” jawabnya sembari menunjukkan sebungkus popok di tangan kirinya.

“Ehm, beli yang agak mahal aja?” usul sang suami.

Gadis beralis rapi itu menunduk lemas. “Nggak bisa. Budget kita nggak nyampe, Mas.”

“Laga Laga Laga Laga!” Kedua tangan mungil anaknya terulur untuk mengambil bungkusan di lengan Praha.

“Raga mau pake yang ini?” tanya sang ayah yang langsung mendapat tatapan bingung dari anaknya. Kepala berambut keriwil itu sedikit miring ke arah kanan, terlihat mencerna apa yang barusan Praha tanyakan.

Beberapa saat kemudian, tangannya memeluk erat bungkus popok berisi 38 pcs. Anggukan kecil Raga disambut senyum lebar ayah dan ibunya. Hari ini mereka menghemat beberapa ribu dari anggaran belanja bulanan.


Sebentar lagi Aira dan Praha memasuki zona merah. Rasanya ingin sekali menggeplak kepala manusia di balik ide peletakan mainan anak. Mengapa mereka berpikir untuk memajang benda keramat itu di ujung lorong?

“Papa!” panggil Raga yang kemudian mendapat tatapan curiga dari Aira. Gadis itu sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Benar saja, jemari anaknya langsung mengarah pada salah satu miniatur truk dengan sekop plastik di atasnya. Aira langsung menatap Praha sembari menggeleng. Namun, air wajah sang suami seperti keberatan dengan hal itu.

“Beliin aja, ya?” tanya Praha sedikit berbisik.

“Mas, mainan Raga masih banyak di kos. Lagian, bulan ini kita nggak ada rencana buat beli mainan baru.”

Perkataan sang ibu terdengar oleh si kecil. Baru saja Praha ingin bernegosiasi dengan Aira, isak anaknya mulai terdengar. Semakin ditatap, tangisnya semakin kencang. Papanya langsung menggendong anak itu dan berusaha menenangkan Raga.

“Raga, bulan lalu kan udah beli mainan. Tadi juga Mama udah bilang, hari ini Raga nggak beli mainan baru.”

Ucapan mamanya semakin membuat Raga menangis. Truk kecil berwarna merah itu sangat menggoda imannya, bisa ia gunakan untuk bermain di taman bersama uncle Bian nanti.

“Raga! Nggak malu tuh diliatin orang? Mau Mama tinggalin di sini? Iya?”

Bukannya tenang, Raga justri semakin memberontak dan merosot dari gendongan Praha. Bokong kecil itu mendarat di lantai, pun kakinya sudah menendang-nendang udara.

“Laga mau! Laga mau! Laga mau ituuuu!!!!!”

“Biarin aja, nanti Mama tinggal di sini kalo nggak mau diem.”

Lelaki berbalut jaket hitam yang sedari tadi memperhatikan wajah tegang istrinya pun memutuskan untuk mengusap pelan lengan sang gadis. “Udah, kamu lanjut belanja aja. Biar aku yang urus Raga,” tuturnya lembut.

Aira pun mengangguk tanpa kata, kemudian mengambil alih troli yang tidak begitu penuh.

Sepeninggalan istrinya, Praha menatap kembaran kecilnya sejenak. Kedua ujung bibir yang semula menegang kembali diregang untuk mengulas senyum tipis. Napas kasar berembus dari hidung lelaki itu sebelum ikut duduk bersama sang anak.

image

Telapak hangat Praha hinggap di puncak surai anaknya. Usapan lembut ia berikan untuk bocah yang masih tantrum itu

“P-papa! Laga m-mau ituuu! M-mau main tlek ama a-angkel Biyan!!” Kalimatnya tersendat oleh tangis yang masih mendera. (Translate: Papa! Raga mau itu! Mau main truk sama uncle Bian!)

Tak kunjung mendapat respon dari papanya, Raga kembali menangis. Wajahnya sudah memerah dengan air mata dan ingus di mana-mana. Rambut keritingnya pun basah karena keringat mulai membanjiri tubuh kecil itu.

“Kalo Raga ngomong sambil nangis, Papa nggak paham. Raga selesein dulu nangisnya, Papa tungguin,” ucap lelaki itu datar.

Benar saja, Praha setia duduk di samping anaknya dan menunggu isak kecil itu selesai. Beberapa pengunjung yang lalu lalang semakin memberi tatap tak menyenangkan. Namun, itu sudah tak lagi mengganggu Praha. Fokusnya saat ini adalah bagaimana cara menenangkan dan memberi anaknya pengertian.

Setelah beberapa menit menunggu, Raga mulai mengatur napasnya seperti sedia kala. Mungkin air matanya sudah mulai habis karena meraung-raung tadi.

Melihat anaknya yang sudah tenang, Praha meraih telapak kecil Raga dan memberi usapan sedikit di sana. Lelaki itu bertanya, “Raga udah nggak marah lagi?”

Gelengan bocah itu dihadiahi senyum papanya. Kini Praha mulai berdiri dan mengulurkan kedua tangannya pada sang anak. Awalnya, Raga terlihat ragu untuk menerima gendongan sang ayah. Namun, ia juga ingin bersandar di bahu lebar itu.

“Sekarang Raga boleh ngomong sama Papa,” tutur Praha lembut.

“L-laga mau main itu!” tunjuknya lagi.

“Emang truknya Raga yang lama di mana?”

“Di depan.” Depan yang si kecil maksud adalah depan kamar kos mereka yang digunakan untuk meletakkan barang tak terpakai. Aira memang membiarkan truk mainan Raga di sana karena sudah kotor.

“Loh? Itu masih ada? Masih bisa jalan kan truknya?” tanya Praha lagi, sembari menjauh dari lorong tadi.

“Macih, tapi Laga nggak mau, kotol!” (Translate: Masih, tapi Raga nggak mau, kotor!)

“Kalo kotor kan bisa dibersihin, Sayang. Nanti truknya nangis loh kalo masih bisa dipake tapi Raga malah beli yang baru.”

Bibirnya mengerucut gemas. “Nangis?” tanya anak polos itu dengan tatapan sendu.

Merasa menang, sang ayah pun membalas Raga dengan tatapan yang tak kalah sendu. “Iya. Nanti truknya bilang 'ihh Raga kok jahat ya, nggak mau main sama aku lagi' gitu.”

“Mamau mamau mamau! Tlek nggak boyeng nangis!” (Translate: nggak mau, nggak mau, nggak mau! Truk nggak boleh nangis!)

“Nah, makanya, nanti kita bersihin aja ya? Besok Raga bawa lagi pas main sama uncle Bian,” ajakk Praha.

Setelah melihat anaknya mengangguk, pertanyaan utama barulah terlontar. “Jadi? Truk yang tadi nggak usah dibeli, ya?”

Angguk tanpa ragu langsung diberikan oleh bocah itu. Senyum lega dan senang Praha jelas tergambar di wajahnya.

“Next time, kalau Raga mau minta sesuatu ke Mama sama Papa, nggak perlu pake nangis kayak tadi. Sakit kan dadanya?” tanya Praha seraya mengusap dada anaknya yang masih naik-turun.

Lengan kecil itu langsung memeluk leher sang ayah. “Maap, Papa.”

“Iya, nggak apa-apa. Nanti minta maaf juga ya sama Mama,” ucap sang ayah yang diangguki Raga.

Lelaki itu memang tak berniat membelikan mainan baru pada Raga. Tetapi, anaknya juga harus tahu alasan di balik larangan itu. Praha juga harus memastikan bahwa anaknya belum membutuhkan mainan baru. Jika tadi Raga mengatakan truk mainannya rusak, pasti Praha berpikir dua kali untuk membatalkan transasksi.

Dari balik rak yang baru saja mereka lewati, seorang pria bertubuh tinggi menatap Praha dan Raga yang kian menjauh. Senyum bangga menghiasi wajah tampan yang tertutup masker.


@guanhengai, 2021.