107.

Sudah empat hari sejak Rhei mengetahui fakta mengenai Gerald dan Kale. Dia tidak pernah menanyakan perkembangan konseling anak itu ke Dylan. Menurutnya, mengetahui lebih banyak tentang mereka akan menambah rasa sakit.

Rhei selalu berkata bahwa menjadi seorang psikolog berarti sudah siap memakai topeng selama bekerja. Mereka mampu menampilkan ekspresi ramah dan ceria sepanjang hari meski mendung tebal menyelimuti hatinya. Mereka tetap menebarkan aura positif meski keadaan buruk sedang melanda.

“Kayaknya beban you segede truk molen ya, Rhei?”

Gadis itu tersenyum pada lelaki di sampingnya. Bang Raden dengan kaos kuning dan kacamata merah berhasil membuat Rhei tersenyum geli. Terlebih, saat lelaki lulusan ISI itu membalas tatapan aneh dari penumpang lain di dalam Trans Jogja. Sungguh menghibur kesedihan.

“Segede tas lo, Bang!”

Tawa lepas Bang Raden menggelegar, membuat tatap orang-orang kian menusuk. Diusapnya pucuk rambut Rhei, berakhir tepukan pelan di bahu sang gadis. Setelahnya, ransel hitam berisi bekal makan siang dan jajanan lainnya diletakkan di sebelah kaki mereka.

“Pegel, Bang?” tanya Rhei yang direspon angguk lemas.

Mereka berpikir bus akan sepi di siang hari. Namun, ternyata dugaan mereka meleset bebas. Tidak ada satu bangku pun yang terlihat kosong, kebanyakan terisi oleh ibu-ibu yang membawa tas belanja dan anak-anaknya.

Terkadang, Rhei merasa kesal jika melihat pemandangan seperti itu. Menurutnya, anak balita yang berada di dalam kendaraan umum bisa dipangku untuk menghemat tempat. Namun, mereka lebih memilih mendudukkan anaknya di bangku terpisah.

Rhei tidak dapat berkomentar karena mereka sama-sama memiliki hak untuk duduk. Dia hanya merasa dongkol akibat teriknya siang ini ditambah desak-desakan di dalam bus. Beruntung di sampingnya adalah Bang Raden. Setidaknya, hati Rhei sedikit terhibur karena tingkah dan kata-kata konyolnya.

“Gue kayak kura-kura, ya? Bawa rumah ke mana-mana,” ucap Bang Raden sembari memperbaiki posisi ransel besarnya agar tidak menghalangi jalan.

“Padahal kemaren lo bilang jangan bawa banyak barang.”

“Dari pada kita nanti kelaperan di jalan? Gawat herawat,” jawabnya.

Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum. Tubuhnya ditarik oleh Bang Raden saat bus berhenti dan beberapa penumpang turun ke halte. Lengan kekar lelaki itu melindungi bahu adik kosnya. Saat bagian belakang bus terlihat lebih lenggang dari sebelumnya, terdengar hela napas lega dari mulut Rhei.

Keduanya berjalan menuju deretan kursi kosong di bagian belakang. Belum sempat Rhei menjatuhkan bokong di salah satu kursi berwarna biru itu, rombongan penumpang lain masuk ke dalam bus dan berebut kursi. Rhei lupa bahwa ada orang-orang yang juga menunggu bus mereka. Senyum yang tadinya sudah terbit pun kembali tenggelam.

“Itu masih ada satu kursi, Rhei,” ujar Bang Raden menunjuk kursi kosong di bagian tengah bus.

“Lo aja yang duduk, Bang,” jawab Rhei seraya mendorong tubuh Bang Raden.

“Dih? Nggak mau ah! Nggak gentle banget. Masa gue duduk tapi ngebiarin cewek berdiri?” Gadis itu tertawa pelan, lalu mengangkat ransel Bang Raden dan memeluknya.

“Emang ada peraturan kalo kursi di Trans diprioritasin buat cewek? Kalo emang cowok lebih butuh, ya pake lah.”

Dia kemudian memaksa kakak kosnya itu untuk duduk sebelum orang lain memakainya. Ransel hitam berisi bekal dan segala perlengkapan perang mereka dilempar ke pangkuan Bang Raden. Tanpa mempedulikan rintih sakit lelaki itu, Rhei langsung menggantungkan tangan kirinya ke bagian atap bus.

“Mampus, cium nih burket gue!” celetuknya yang langsung direspon tawa geli Bang Raden.

Rhei menghargai sikap Bang Raden yang mengalah demi dirinya. Namun, dia merasa tidak memerlukan tempat duduk itu karena bawaan Rhei hanya shoulder bag kecil berisi hand sanitizer, tissue, dompet, dan ponsel.

“Thank you, Rhei,” ucap Bang Raden disertai senyum manis.

“Sama-sama, Bang.”


@guanhengai, 2022.