108.

Suasana panti tidak seramai tadi karena anak-anak sudah terlelap di kamar masing-masing, hanya tersisa obrolan orang dewasa yang memutuskan untuk bermalam di sana. Sendu masih mendominasi panti lantai dua tersebut, diiringi derikan jangkrik di luar sana.

Sudah lewat dua bulan sejak berita kepergian Alle. Mas Aryo baru berhasil membawa Gavin kembali dari Korea, setelah berpuluh-puluh kali dibujuk. Lalu, mereka langsung merencanakan untuk berkumpul sejenak. Acara hari ini bukan hanya memperingati kepergian Alle, tetapi juga melepas Jerry dan Angel menuju tempat baru mereka, Kalimantan.

Angel baru saja selesai memberi ASI pada Ajen. Bocah kecil berbalut setelan hitam itu sudah terlelap dalam dekapan sang ibu. Sama seperti kebanyakan ibu di luar sana, kali ini Angel berusaha meraih ponselnya tanpa membangunkan Ajen.

Baru saja kaki gadis itu menyentuh bagian atas ponsel, ketukan di pintu kamar membuatnya berhenti. Lelaki tampan dengan kemeja garis-garis melempar senyum manis pada sang istri. Kemudian, tangannya menutup kembali pintu kamar mereka.

image

“Si Adek udah bobok?” He asked with inaudible voice.

“Udah. Aku mau minta tolong jagain Ajen dulu, Mas.” Angel pun ikut berbisik.

“Sini, biar aku yang gendong. Kamu temuin temen-temen di luar aja.” Telapak Jerry sempat mendarat di kepala istrinya sebelum dibebankan oleh tubuh gembul Ajen.

Angel pun berganti pakaian dan bersiap untuk berbagi sedih di luar sana. Gadis itu berkali-kali mengela napas dan menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, hanya dihiasi jepit kecil untuk mengikat poninya.

“Sayang, kalo mau nangis nggak apa-apa,” tutur Jerry dari atas kasur.

Angel hanya menatap suaminya dari cermin, terlihat jelas senyum tulus di wajah Jerry,

“Aku udah nggak sedih karena Alle, Mas. Aku cuma sedih kalo liat temen-temen sedih, apa lagi Hargi.”

Jerry mengangguk. Benar kata Angel, rasanya begitu sesak saat melihat seseorang yang selalu dipenuhi tawa tiba-tiba diam dan bergeming. Terlebih, Jerry ikut mendampingi Hargi saat Mas Aryo memutar rekaman pemakaman Alle tadi.

Meski tidak banyak memori yang mereka miliki, hadirnya tentu meninggalkan kesan tersendiri. Hargi yang sempat menjalin pertemanan dengan lelaki itu di masa putih abu-abunya terlihat sangat terpukul atas kepergian Alle. Walaupun sempat melarang Angel bertemu dengan Alle, di sudut hatinya yang paling dalam masih menyimpan rasa sayang untuk lelaki itu.

Alle yang pernah membantunya belajar sehingga meraih nilai memuaskan di ujian nasional. Alle juga pernah menjadi penengah kala Hargi dan Angel bersitegang. Tak jarang mereka meluangkan waktu untuk sekadar lari sore dan berbagi cerita mengenai peliharaan masing-masing.

Alle orang baik dan mereka semua setuju dengan hal tersebut.

“Ya udah, aku keluar dulu ya,” pamit Angel yang kemudian mencium pipi Jerry.

Sang tuan yang tak siap dengan hal tersebut hanya diam sembari mengedipkan matanya. Rona merah sudah menjalar hingga telinga. Jerry benar-benar payah dalam menyembunyikan malunya.

Lelaki itu melihat punggung istrinya kian menjauh. Sebelum Angel membuka pintu kamar, gadis itu berbalik. “Mas, kalo nanti aku mau peluk Hargi sama Marcel, boleh?” tanyanya.

Kedua sudut bibir Jerry melengkung ke atas. “Boleh,” jawab lelaki itu tanpa pikir panjang.

Pertanyaan Angel barusan adalah bukti bahwa gadis itu benar-benar menghargai dirinya sebagai suami. Angel bisa saja melakukan hal tersebut tanpa meminta izin karena Marcell dan Hargi adalah sahabatnya. Bahkan, Angel mengenal mereka jauh sebelum Jerry hadir ke dalam hidupnya.

Setelah mendapat izin dari sang suami, gadis itu benar-benar keluar dari kamar dan menemui teman-temannya yang masih dilanda sendu. Air mata Hargi bahkan masih tercetak jelas di pipinya yang sedikit gembul.

Mereka benar-benar kehilangan sosok teman.


Besok paginya

Jerry sedang menggendong Ajen, mencari Angel di luar kamar karena sebelumnya sang istri pamit untuk menyiapkan sarapan Ajen. Ya, bayi gembul itu sudah mulai MPASI sejak beberapa hari lalu.

Beruntung dia tidak menunjukkan penolakan terhadap makanan yang Jerry beri. Bahkan, Ajen berkali-kali merengek karena ingin menemani papanya menyiapkan makanan. Tak jarang Angel kewalahan saat menenangkan anaknya akibat tubuh Ajen yang kian membesar.

“Eh, iya, iya... Sebentar ya, Jagoan. Ayok kita cari Mama.”

Tangan dan kaki Ajen terus meronta di gendongan Jerry. Dengan susah payah lelaki itu meraih gagang pintu dan membukanya. Ruang tengah terlihat kosong, hanya ada beberapa barang yang Jerry yakini sebagai sembako.

Beberapa donatur panti memang lebih memilih untuk menyumbang bahan masakan untuk anak-anak. Beberapa lainnya akan mengirim pakaian dan perlengkapan sekolah setiap bulan.

Saat tungkai lelaki itu sampai di perbatasan antara ruang tengah dan dapur, ia mendengar suara dari arah belakang panti. Melihat Ajen yang belum terlalu rewel, Jerry pun mengikuti sumber suara tersebut. Entah mengapa kali ini dirinya dirundung rasa penasaran yang begitu besar.

”... jadi nggak mungkin cuma kecelakaan, Mas.” Jerry tahu betul suara yang baru saja terdengar. Itu Marcell.

“Ya emang kecelakaan, Cell.” Dan suara Mas Aryo.

“Pure kecelakaan? Yang bikin Alle meninggal?”

Oh, ternyata mereka sedang membicarakan penyebab kepergian Alle. Ketika Jerry bersiap untuk kembali menjauh, perkataan Mas Aryo setelah itu membuat langkahnya terhenti.

“Iya, pure kecelakaan. But, dia juga punya cancer. Lung cancer.”

Netra Jerry membelalak seiring telinganya menajam. Kemarin Mas Aryo hanya menceritakan bagaimana Alle ditemukan di kolam rumah sakit dengan tubuh mengapung. Lelaki itu memang tidak bisa berenang dan Mas Aryo memperkirakan kejadian naas itu terjadi tengah malam, saat penghuni rumah sakit sudah terlelap. Semua yang mendengari cerita Mas Aryo pun tidak curiga karena Alle memang sering menunjungi pamannya di rumah sakit.

Dari CCTV rumah sakit, Mas Aryo menemukan Alle yang saat itu sedang berjalan-jalan santai di taman belakang. Kolam berenang memang ditutup untuk umum maupun pengunjung rumah sakit, hanya beberapa pasien yang dapat memakainya untuk terapi.

Malam itu, entah mengapa Alle terlihat memasuki kawasan kolam berenang. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata ada seekor anjing yang terlihat membutuhkan bantuan di tengah kolam. Alle sempat terlihat menilik sekitar dan mencoba menemukan orang yang dapat membantu anjing tersebut. Namun, sayangnya tidak ada orang lain selain dirinya.

Setelah itu, Alle masuk ke dalam kolam. Bukan berenang, melainkan berjalan perlahan mendekati anjing yang berusaha berenang. Lelaki itu mendorong anjing tersebut untuk mendekati pinggir kolam, hingga hewan itu berenang sendiri menuju daratan.

Saat Alle berusaha kembali ke pinggir, ia terlihat meremas pakaian bagian depannya. Alle memukul dadanya berkali-kali. Hal tersebut membuat Alle kehilangan keseimbangan dan tubuhnya tenggelam di tengah kolam berenang.

Begitulah lelaki itu meninggalkan dunia. Jika ada satu orang yang melewati kawan tersebut, pasti Alle masih ada di sana.

“Fuck! Gue belum sempet minta maaf sama dia, Mas.” Suara Marcell terdengar bergetar meski dari kejauhan. Jerry yakin perasaan lelaki itu tidak berbeda jauh dengan Hargi.

“Dia nggak pernah benci sama lo,” jawab Mas Aryo menenangkan.

“Gue ngerasa bersalah banget sama dia, Mas.”

“Kenapa? Karena sekongkol sama Gavin buat mata-matain Angel? Atau karena nyimpen perasaan sama pacarnya bertahun-tahun?”

Jantung Jerry seakan berdebar lebih cepat dari biasanya. Desir darahnya pun terasa hingga ujung kepalanya kala mendengar pertanyaan Mas Aryo.

Marcell pernah suka sama Angel? batin lelaki itu.

“Udah cukup, Cell. Udah saatnya lo cari bahagia lo sendiri. Gue makasih banget karena lo udah jagain adek gue selama ini. Sekarang, dia udah punya penjaganya sendiri. Cukup dukung dia sebagai sahabat. Gue tau ini bukan hal mudah, maaf karena gue gak bisa bikin lo selalu ada di samping Angel.”

Jerry benar-benar tidak sanggup mendengar percakapan mereka lebih jauh. Ia takut apa yang didengar akan mempengaruhi pandangannya terhadap Mas Aryo dan Marcell.

Ajen seperti mendukung papanya. Anak kecil itu mulai menendang udara dan berusaha meraih angin yang lewat di depannya. Rengekan dari mulut mungil itu keluar seiring Jerry menjauh dari Mas Aryo dan Marcell.

“Iya, iya... Ayo cari Mama,” tuturnya pada Ajen.

Setelah menjelajahi beberapa lorong panti, akhirnya sosok yang mereka cari muncul. Angel dengan daster pemberian Ojon-Atuy dan rambut yang digulung ke atas selalu membuat Jerry tersenyum.

“Tuh Mama tuh, ketemu kan?” tunjuk Jerry pada gadis yang sedang memandangi lemari berisi foto anak-anak panti.

Angel yang mendengar tangis Ajen pun sedikit tersentak, lalu mengalihkan tatapnya pada dua lelaki berbeda generasi yang sedang menuju tempatnya berdiri. Ajen terlihat lebih tenang dari sebelumnya saat mata kecil itu menangkap sosok sang ibu.

“Sayangnya Mama kok nangis? Adek udah laper, ya?” tanya Angel sembari meraih Ajen dari gendongan papanya. Mangkuk kecil yang ia bawa pun berpindah ke tangan Jerry.

“Kamu lagi liatin apa, Sayang?” tanya Jerry seraya menyuap sesendok bubur pada anaknya.

“Ini, foto-foto kecil kamu.” Alis gadis itu terangkat ke arah lemari di sampingnya.

“Emang kamu tau aku yang mana?”

“Tau lah. Muka kamu dari dulu nggak berubah, Mas.”

Jerry pun terkekeh mendengar pernyataan Angel. Jika dilihat lagi, wajahnya memang tidak berbeda jauh dengan potret dua puluh tahun silam. Namun, tetap saja lebih tampan yang sekarang.

“Oh ya, Mas. Kamu dulu sekolah di SMAN 127?” tanya Angel lagi dengan raut penasaran.

Jerry menggeleng cepat. Sembari tangannya membersihkan sisa bubur di sekitar mulut Ajen, ia bertanya, “Emangnya kenapa, Sayang?”

Angel bergumam sebentar. “Tadi aku liat ada foto team basket SMAN 127 sama team basket sekolahku.”

“Oh, Neo Culture, ya? Mas Adil yang sekolah di SMAN 127. Dulu Mas Adil kapten basket, kebetulan sering tanding sama sekolahmu. Kamu nggak pernah nonton, ya?”

Angel membatu di tempat. “M-mas Adil? Kapten basket?”

Jerry mengangguk. “Walaupun keliatannya jahat, Mas Adil hidup sesuai nama yang dikasih Ibu. Dia selalu adil.”

Lelaki itu tersenyum sejenak dan meladeni ocehan Ajen di dekapan Angel. Tangannya sempat mengulurkan minum pada sang anak sebelum melanjutkan ceritanya.

“Dulu, pas Mas Adil SMA, dia nggak naik kelas dua kali. Bukan karena bodoh, tapi karena mau memperjuangkan keadilan. Team basket 127 pernah dicurangin sama team basket sekol-”

Jerry menutup rapat mulutnya, sadar jika kalimatnya barusan bisa saja menyinggung Angel. Ia kemudian menunduk dan mengaduk-aduk bubur di mangkuk kecil yang sudah ditunggu oleh penikmatnya.

“Aku tau. Team sekolahku emang pernah curang pas sparing sama team 127.”

Kepala Jerry kembali terangkat dan menatap Angel penuh rasa bersalah.

“Pas itu kaptennya Alle, Mas.”

Kini mulut Jerry terbuka hingga membentuk huruf O. Tangannya berhenti di udara, menyisakan jeda beberapa saat. Hingga suara Ajen memecah keheningan antara kedua orang tuanya, barulah Jerry melanjutkan suapan ke mulut kecil anaknya.

“Hah? Alle kapten basket? Pas team Mas Adil dicurangin?”

Angel mengangguk pelan. Kedua matanya berputar dan menatap langit-langit panti. Beberapa detik kemudian, kelopaknya terbuka lebar dan jemarinya meremat pergelangan Jerry.

“MAS!”

Bocah kecil di gendongannya tersentak karena suara Angel cukup keras. Rengekan Ajen kemudian terdengar, namun berhasil diredam oleh bubur.

“Sayang, si Adek sampe kaget tuh!” tegur Jerry pelan yang hanya dibalas ringisan oleh sang istri.

“Berarti, yang pas itu ngobrol sama Alle... Kamu?” tanya Angel menggebu-gebu.

“Hah? Ngobrol apa? Aku ngobrol sama Alle cuma sekali, pas kamu di rumah sakit.”

Angel langsung menggeleng cepat. “No, no, no! Alle pernah bilang kal-”

Kini gantian sang gadis yang menutup mulutnya rapat-rapat. “Maaf, aku jadi bahas Alle.”

Jerry tersenyum dan membelai lengan Angel. “Nggak apa-apa, kan ngomongin Mas Adil juga. Ayo lanjutin, Alle pernah bilang apa?”

“Alle bilang dia sempet ngobrol sama adeknya Mas Adil. Di lapangan basket, habis Mas Adil berantem sama kapten basket sekolahku!”

Kening Jerry berkerut lebih dalam dari sebelumnya. Netranya memicing dan menatap Angel penuh kebingungan. Istrinya yakin kini otak suaminya sibuk mencari potongan-potongan memori yang hilang. Sesaat setelahnya, mata Jerry membelalak.

“Sayang! Aku inget! Cowok yang tinggi kurus, bukan?”

Anggukkan Angel semakin membuat jantung Jerry berdebar kencang. “Wow, aku merinding,” tutur lelaki itu.

“Eh, tapi, seingetku namanya bukan Alle deh,” lanjutnya lagi.

“Sandro?” tanya Angel.

“Nah! Itu!”

“Iya, dulu dia dipanggil Sandro di sekolah.”

Lagi-lagi Jerry menggeleng tak percaya. Ia juga tidak ingat wajah Alle saat bertemu dengannya dulu. Alle sangat berbeda jauh.

“Papapapapa!”

Mereka tidak sadar masih ada makhluk lain di antara keduanya. Jerry dan Angel sama-sama menatap ke arah Ajen yang sedang mencoba meraih mangkuk di tangan Jerry.

“Hah? Tadi Adek ngomong apa?” tanya Jerry lagi sembari menundukkan kepalanya.

“Papapapapa!!” jemari mungil Ajen bolak-balik terbuka dan tertutup, masih berusaha merampas makanannya.

“Sayang...” Kini tatap Jerry beralih ke Angel.

“Aku juga denger, Mas.” Ada nada kesal di dalam kalimat Angel barusan.

“Dia panggil aku Papa!!!” seru Jerry yang langsung meletakkan mangkuk Ajen di meja dan merampas anaknya dari gendongan Angel.

image

Wajah, leher, dan perut Ajen berkali-kali menjadi sasaran kecup papanya. Tawa mungilnya menggelegar, memenuhi ruang tengah di pukul sembilan pagi.

Angel yang melihat interaksi keduanya pun tersenyum bangga. Hari ini Ajen memanggil Jerry dengan sebutan Papa, meski belum benar sepenuhnya.

Entah ini terlalu cepat atau justru terlambat, Angel tidak pernah membandingkan anaknya dengan bayi lain di luar sana. Selama Ajen tidak terlalu jauh melenceng dari milestone, Angel tidak akan memaksanya.


@guanhengai, 2022.