115.

Siang sudah mulai berganti menuju sore, awan abu-abu tebal pun datang menyembunyikan mentari. Praha sedang duduk seorang diri, menunggu anaknya yang belum keluar dari kelas.

Papa muda itu hanya berharap tetes air hujan tak jatuh saat dirinya masih dalam perjalnan. Mengingat bagaimana Raga sakit membuatnya tak ingin mengalami hal serupa.

Kini beberapa pasang netra menatap lelaki yang sedang menatap kosong ayunan di depannya. Meski wajahnya terlihat datar, benak Praha tak sekalipun tenang sejak tadi.

Pertanyaan mengenai alasan 'Praha' tidak merayakan ulang tahun Raga dan Aira yang tak kunjung memberi adik untuk anaknya itu berputar di kepala. Bohong jika ia mengaku tidak penasaran.

Saat setumpuk dugaan memenuhi otaknya, suara yang sedari tadi ditunggu menyapa gendang telinga.

“Papaaa!!” Bocah kecil berambut keriwil itu berlari ke arah Praha. Tubuh mungilnya segera ditangkap oleh sang ayah sebelum menyentuh tanah.

“Hayo, mau jatuh, kan? Pelan-pelan, Sayang.” Usapan lembut mendarat di puncak surai Raga.

“Papa! Tadi Tepen celita, atanya maen ama dedek asyik lhooo.” (Translate: Papa! Tadi Steven cerita, katanya main sama adek asik loh!)

Praha terdiam sejenak. Mulut dan otaknya sama-sama kelu, tak tahu respon seperti apa yang harus ia berikan pada sang anak.

“Raga mau dedek?” tanya lelaki itu yang tentu langsung diangguki oleh Raga.

“Nanti tanya Mama dulu ya.”

“Mama unya dedek baby?” Netra bulat berkilau itu menatap ayahnya penuh harap.

“Belum punya, Sayang. Tapi nanti Mama bisa bikin dedeknya,” papar Praha yang disambut anggukkan pelan. Ia tahu anaknya tidak terlalu mengerti.

“Papa cuci tlek Laga, ya?” Akhirnya si kecil mengalihkan topik. (Translate: Papa cuci truk Raga, ya?)

Praha segera menggendong sang anak dan berjalan menuju parkiran. “Iya, ayo kita cuci truknya Raga. Berdoa sama Tuhan, semoga hujannya nggak turun, biar truknya Raga bisa kering.”

Anak polos itu lalu melakukan sesuai perintah papanya. Sepasang telapak kecilnya dikatupkan, kemudian mulutnya mengagungkan doa agar awan gelap pergi menjauh. Praha yang melihat itu pun terkekeh pelan. Raga sungguh menggemaskan.

Ah, bagaimana mungkin Praha rela meninggalkan anak ini?


@guanhengai, 2021.