115.
Empat manusia dengan perut keroncongan menatap tajam ke arah Rhei. Yang ditatap hanya meringis sembari berlari seperti bocah TK. Lengannya menggendong kucing gembul yang sudah meronta meminta dilepas.
Sesampainya di meja makan, Rhei duduk di samping Dylan, lalu memindahkan beberapa potong lontong dan tiga tusuk sate ke piring yang disediakan untuknya.
“Mbul main sendiri ya, jangan ke mana-mana,” ucapnya setelah melepas kucing belang tersebut dari gendongannya.
“Enak ya, dateng-dateng langsung ambil makanan,” sindir Dylan.
“Rhei pimpin doa!” titah Bang Raden yang langsung diangguki gadis itu.
Butuh sekitar tiga menit untuk mereka merapalkan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa atas berkat malam ini. Meski sate ayam berbalur bumbu kacang di depan mereka sudah tak lagi hangat, rasanya tetap nikmat. Terlebih, dua bungkus sambal yang tadi ditumpahkan Bang Raden. Sungguh menggugah selera.
“Selamat makan,” ucap mereka serentak.
Setelahnya, ruang makan kos diisi oleh obrolan bersambut denting sendok dan garpu. Sesekali mereka beranjak untuk mengambil minum di dapur atau sekadar berdiri saat bokong mulai kram.
Momen makan malam bersama penghuni kos adalah waktu yang paling Rhei suka. Obrolan ringan mengenai beberapa bagian sate yang dibakar terlalu lama kian mendalam seiring suara jangkrik menemani mereka.
Kini Bang Raden sedang mengungkapkan keresahannya sebagai pengguna ojek pangkalan yang sering mendapat perlakuan tidak baik.
“Edan banget! Gue pake celana pendek aja langsung diliatin anjir! Emang kenapa, sih? Iya, tau kok paha gue semulus pipi bayi. Tapi nggak gitu juga kali,” tuturnya kesal.
“Karena budaya berpakaian di sini sama di Jakarta beda, Bang,” respon Rhei setelah menelan potongan sate terakhirnya.
“Excuse me? Kayaknya celana gue masih tergolong sopan kok,” sanggah Bang Raden lagi.
“Tapi, orang-orang di sini kan nggak terbiasa liat cowok pake hot pants, Bang.” Kini giliran Kayla yang menanggapi.
Bang Raden meletakkan tangannya di atas meja, lalu menopang kepalanya dengan telapak. “Ck! Clothes has no gender, tau!”
Empat kepala lainnya mengangguk serentak, tanda setuju terhadap pernyataan Bang Raden.
Banyak orang berkata bahwa berbincang dengan lelaki berusia 29 tahun itu membutuhkan pengetahuan yang luas dan terbuka. Berdiskusi dengan Bang Raden berarti sudah siap dihantam berbagai pernyataan yang mampu menggoyahkan prinsip.
Kala Rhei dan Dylan masih sibuk mengangguk, Lingga sudah mengumpulkan piring mereka menjadi satu tumpukan tinggi dan membawanya ke dapur. Kayla pun mengikuti lelaki itu dari belakang.
“Thank you, Ling!” pekik Dylan.
“My pleasure!” jawab Lingga setelah suara kran air terdengar.
Obrolan terhenti sejenak. Bang Raden beranjak untuk mencuci tangan, Dylan mengambil minuman dingin di kulkas, sendangkan Rhei menghampiri Anabul yang terlelap nyaman di salah satu rak sepatu milik penghuni kos.
Kos Pak Bun terdiri atas dua lantai berisi 24 kamar dan satu lantai tambahan untuk menjemur pakaian. Rhei, Dylan, Kayla, dan Lingga tinggal di lantai atas. Sedangkan, Bang Raden dan sebelas penghuni lainnya menempati lantai satu.
Rhei memilih kamar lantai atas karena memiliki balkon yang nyaman untuk bersantai di malam hari. Bintang-bintang di langit pun jelas terlihat dari jendela kamarnya meski lebih sering tertutup awan.
Menjadi sesepuh kos Pak Bun adalah prestasi yang sering mereka banggakan. Pasalnya, banyak rekan kerja mereka di rumah sakit yang menginginkan tempat ini. Namun, kamarnya selalu terisi penuh setiap awal semester perkuliahan. Hanya mereka berlima yang bertahan lebih dari empat tahun di sini.
“Guys! Ke pantai asik kali, ya?” tanya Kayla sembari mengibas telapaknya yang masih basah.
“Basah, Kay!” pekik Dylan.
“Sorry,” decit gadis itu.
“Mantai di mana?” sahut Bang Raden menanggapi pertanyaan Kayla.
“GunKid asik kali, biar ketemu pasir putih,” usul Rhei.
“Nice! Ayo! Minggu depan kosong nih,” ucap Bang Raden.
“Ayok ayok aja,” tutur Lingga setelah duduk di samping Kayla.
“Sabiiii!” Dylan mengacungkan ibu jarinya.
Percakapan selanjutnya diisi dengan rencana liburan singkat mereka ke salah satu pantai di daerah Gunung Kidul. Layar ponsel Kayla penuh dengan hal-hal mengenai rencana tersebut. Mulai dari kendaraan, waktu berangkat, bekal, barang yang akan mereka bawa, hingga rencana menitipkan Anabul ke rumah Pak Bun.
Kucing kesayangan Rhei yang sedang menjadi topik perbincangan hanya duduk diam di pangkuan Bang Raden, seakan ikut menyimak percakapan lima manusia di meja oval tersebut. Perut buncitnya terumbar, kedua kakinya terbuka lebar, netranya menatap kosong ke arah Rhei.
“Nanti makan malemnya cari di jalan pulang aja.”
Usulan Lingga langsung mendapat empat persetujuan. Kayla pun menekan ikon di ujung kanan atas untuk menyimpan catatannya. Dia lalu menangkap tampilan layar dan membagikannya ke ruang obrolan mereka.
“Udah gue kirim screenshotnya ke grup, sama ke Bang Raden,” ucap gadis itu.
“Thank you, Kay,” tutur Bang Raden.
“Sama-sama, Bang.”
Saat mereka sibuk membaca catatan yang ditulis Kayla, Rhei menggumam pelan. Netranya bergerak gelisah seraya kuku ibu jarinya menggaruk telunjuk.
“Kenapa, Rhei?” tanya Dylan bingung.
“Ehm, kayaknya gue nggak ikut deh,” decitnya.
“Loh? Kenapa?” Alis Bang Raden bergelombang.
“Minggu depan gue harus kumpulin hasil asesmen, takut capek. Mau tidur seharian pas weekend,” jawabnya.
“Ehm, iya sih. Lo bilang pertengahan April harus dikumpul,” sahut Kayla sembari menggaruk dagunya dengan telunjuk.
“Ya udah, nanti kalo nggak capek ikut aja. Tapi, kalo capek ya istirahat di kos,” ujar Lingga.
“Alright! Liat nanti ya, guys,” kata Rhei yang langsung disetujui oleh teman-teman kosnya.
Acara makan malam ditutup dengan kehebohan yang diciptakan oleh Anabul. Kucing belang itu mengejar cicak kecil yang melintas di hadapannya hingga membuat salah satu pot bunga Pak Bun jatuh dan tanahnya berserakan. Mau tidak mau, mereka harus merapikannya sebelum beranjak ke kamar masing-masing.
Anabul memang hobi mencipta masalah.
@guanhengai, 2022.