120.
Terangnya langit berubah menjadi gelap, empat pemuda dengan benda di masing-masing tangan sedang duduk melingkar di bawah pohon besar. Sudut tersunyi sengaja Jesco pilih agar obrolan mereka tak terdengar pengunjung lain.
Lingkaran hitam di bawah mata mereka adalah pertanda semakin sibuk kegiatan sehari-hari. Jesco yang kelimpungan mengurus cafe sembari bekerja, Nash yang harus menyiapkan banyak hal untuk bos besarnya, Garen yang selalu duduk di balik meja kasir toko bangunan, serta Praha yang bersahabat dengan terik sang surya untuk mengirim barang-barang customer.
Kebulan asap dari mulut tiga di antara mereka mewakili segala pergumulan dalam diri masing-masing. Berbeda dengan teman-temannya, Praha hanya menyeruput minuman beralkohol tanpa menyentuh rokok sedikit pun.
Belum juga pertanyaan siang tadi terjawab, kini masalah baru sudah datang pada dirinya dan Aira. Setidaknya, ia sudah menemukan sedikit clue tentang istrinya yang begitu sensitif saat membahas adik untuk Raga. Lelaki itu baru sadar bahwa kondisi ekonomi sangat mempengaruhinya sekarang.
“Suram amat tu muka, Pak?” Nash yang duduk di samping kanan Praha mencolek lengan sahabatnya.
“Biasa, masalah anak,” jawab lelaki berkaos hitam itu.
“Berat banget ya?” Kini giliran Garen yang melontarkan pertanyaan.
Helaan napas panjang dan anggukkan Praha mengawali jawabannya. “Pokoknya kalian kalo mau nikah harus mikir mateng-mateng dulu deh, jangan bayangin enaknya doang. Ternyata, lebih banyak capeknya.”
“Tuh, Ren! Kalo maen pake kondom!” Ledek Nash.
“Gue selalu pake, eek!” Tepis Garen.
“Anjing! Ya jangan kawin sebelum nikah lah!” Sembur Jesco.
“Hm. Lebih baik lo jaga-jaga, Ren.” Praha kini mulai menghidupkan mode serius yang memancing tiga temannya ikut mengubah air wajah mereka.
“Ya kalo terlanjur jadi tapi belum siap tinggal kuret,” celetuk Garen yang langsung dihadiahkan tatapan tajam.
“Crazy! Mending tanggung jawab terus mati-matian hidupin keluarga lo dari pada harus aborsi. Trust me, itu lebih menyiksa dari pada married.”
Nash melihat netra Praha yang mulai berair. Rasa sakit tergambar jelas di balik tatapnya. Tanpa komando, telapak lelaki itu langsung hinggap di bahu Praha dan menepuknya dua kali.
“Yang paling aman ya gak usah maen sampe nikah,” ujar Jesco yang lansung diangguki semuanya.
Untung salah satu temannya masih ada yang waras. Hubungan Jesco dan kekasihnya memang diakui paling sehat di antara mereka, kecuali Nash yang masih betah dengan kesendiriannya.
“By the way, tadi Raga cerita ke gue. Katanya lo mau rayain ulang tahun dia? Emang bener?” Garen kembali mengangkat kepalanya. Pertanyaan barusan juga mengundang tatap kedua teman lain yang menunggu respon Praha.
“He'em,” jawab lelaki yang kini menyandarkan punggungnya ke kursi.
Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari kantung jaketnya, kemudian meletakkan di atas meja. “Nih, dateng ya. Raga yang ngundang kalian,” ucapnya lagi.
Jesco, Nash, dan Garen langsung berebut untuk melihat kertas berbalut plastik yang didominasi warna biru. Tulisan Raga is turning 4 menyambut netra mereka. Ilustrasi kartun kucing berkalung lonceng emas memenuhi undangan ulang tahun itu.
“Ini serius?” tanya Jesco seraya membolak-balik undangan yang baru saja Praha berikan.
“Serius lah.”
“Woah!!! Akhirnya, Raga bisa ngerayain ulang tahun!” pekik Garen heboh.
“Anjir, kenapa jadi gue yang terharu?” lanjut lelaki itu sembari menengadah untuk menahan air matanya.
“Yeu! Lebay banget lo!” Nash langsung menabok bahu temannya.
“Anying! Beneran terharu nih!” Setetes air mata yang lolos dari pelupuk Garen membuat ketiga temannya tertawa. Ia memang selalu begitu.
Meski tengah diselimuti gundah, Praha tak ingin melewatkan momen berharga bersama sahabat-sahabatnya. Waktu seperti ini akan langka terjadi jika sudah menikah. Buktinya, ia baru sempat berkumpul dengan mereka setelah terjebak hampir tiga minggu di dunia ini.
Dua setengah jam selanjutnya diisi dengan obrolan ngalor-ngidul. Beberapa kali tawa lepas Garen dan Jesco terdengar. Sepiring kentang goreng, tiga bungkus rokok, dan empat botol minuman pun sudah kosong.
Drrtt drrtt
Praha merasakan getaran dari saku jaketnya. Ia tahu persis nama siapa yang akan muncul di layar ponselnya jika nanti dinyalakan. Siapa lagi kalau bukan istrinya?
Masih ingin menikmati waktu bersama ketiga rekannya, ia pun mengabaikan pesan Aira. Beberapa getaran dari ponselnya masih terasa hingga beberapa menit kemudian. Biarkan Praha mengumpulkan tenaga untuk menghadapi istrinya nanti.
Setelah saling berdebat mengenai konspirasi parallel universe, keempat pemuda itu saling mengucap selamat tinggal. Garen yang sudah dipengaruhi alkohol memutuskan untuk bermalam di cafe Jesco. Sedangkan, Nash yang hanya meneguk sedikit minuman masih mampu mengantar Praha kembali ke kos.
“Hati-hati, Nash! Lo bawa suami orang,” ujar Jesco seraya merangkul sahabat mungilnya.
“Yoi. Lo juga hati-hati bawa si kurcaci,” jawab Nash.
Setelah Jesco menjauh dari hadapannya, ia menatap Praha yang mulai mabuk. “Tunggu di sini bentar. Gue gak mungkin pulangin lo kayak gini,” ujarnya.
Praha hanya mengangguk-angguk dan mulai mengumpulkan kesadarannya. Bisa-bisa ia berakhir tidur di luar jika Aira tahu dirinya mabuk.
“Tuhan ngapain lo sih? Sampe bisa berubah gini,” gumam Nash sembari menatap undangan ulang tahun Raga di tangannya.
Jam digital pada layar ponselnya sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, namun suaminya belum juga menampakkan batang hidung.
Aira dengan cardigan putih duduk beralas anak tangga, menunggu Praha kembali. Lengannya masih kebas karena menidurkan Raga yang sempat rewel tadi. Pasalnya, sang ayah sudah berjanji untuk membacakan dongeng sebelum ia tidur.
“Ck, mana sih Mas Praha? Katanya sebentar, tapi sampe jam segini belum pulang.”
Gadis itu kembali menatap layar ponselnya, berharap ada notifikasi dari sang suami. Nyatanya, hanya ada foto keluarga kecilnya yang terpampang jelas di sana.
Senyum ceria Raga di atas trolley dengan dirinya dan Praha di kedua sisi anak itu membuat dada Aira berdesir. Rasa sesal mengerubungi dirinya karena sempat membentak anaknya tadi siang.
“Maafin Mama, Raga.” Usapan kasar langsung membasuh air matanya yang kembali menetes.
Beberapa saat kemudian, deru mesin mobil membuat gadis itu menengok. Toyota CHR putih berhenti tepat di depan gerbang kosnya. Ia tahu itu adalah kendaraan Nash, yang berarti suaminya sudah kembali.
Sengaja Aira tidak beranjak dari tempatnya, berniat untuk memberi kejutan pada sang suami. Ia juga ingin meminta maaf atas perkataannya tadi siang. Aira sudah menyakiti perasaan Praha. Mungkin, itu adalah alasan suaminya pulang larut.
“Thank you, Nash.” Suara Praha terdengar setelah menutup pintu mobil.
Aira melihat Nash membuka kaca jendela bagian depan dan menganggukkan kepala pada suaminya. “Jangan lupa baikan sama Aira!” pekiknya dari dalam mobil.
Ah, ternyata Praha menceritakan masalah mereka pada Nash. Tak apa, pria juga butuh cerita. Decitan rem sudah terdengar, berarti Nash akan hengkang sebentar lagi. Aira siap-siap beranjak untuk menyambut suaminya.
Namun, saat mobil itu hendak melaju, Praha mengetuk kaca mobil dan kembali memanggil sahabatnya.
“Kenapa?” Nash kembali menarik rem tangan.
“Ehm, soal obrolan kita tadi ...” Suara Praha hampir tidak terdengar oleh sang gadis.
“Obrolan yang mana?” tanya lelaki di balik kemudi itu.
“Tentang parallel universe. Lo percaya?”
Aira mulai menajamkan pendengarannya.
“Hm, fifty fifty sih. Kenapa?”
“Kalo... Gue yang lo liat sekarang dari universe lain, lo percaya?”
Gadis di balik tangga membekap mulutnya sendiri.
“Hah? Ngaco! Udah sana masuk, lo udah mabok berat kayaknya!” perintah Nash, lalu menggelengkan kepala.
“Ya udah, lupain aja.” Praha kemudian bergerak mundur dan membiarkan sahabatnya melajukan mobil. Lambaian tangan keduanya menjadi penutup perjumpaan malam ini.
“Akhirnya lo ngaku juga ke gue,” tutur Nash sembari menaikkan kaca mobilnya dan menjauh dari kos Praha.
@guanhengai, 2021.