122.

Dua lelaki berbeda generasi sedang menatap layar televisi. Adegan seorang gadis kecil yang diasingkan oleh neneknya karena dianggap berbeda membuat raut Kale terlihat sendu. Botol berisi air mineral di tangannya pun tidak tersentuh sejak beberapa menit yang lalu.

“Nangis aja, nggak ada yang ketawain,” ucap Gerald sembari memberi sekotak tissue pada lelaki kecil di sampingnya.

“Papa nggak sedih?” tanya Kale polos.

“Enggak, udah pernah nonton,” jawabnya.

Kale hanya mengangguk dan mengambil selembar tissue yang tadi ditawarkan oleh sang ayah. Meski air matanya belum menetes, dia tetap berjaga-jaga.

Gerald tidak pernah menyombongkan kecerdasan Kale yang mirip dengannya. Namun, cara berpikir lelaki itu memang menurun pada Kale. Walaupun Gerald tidak mengasuh Kale sejak bayi, sifat keduanya pun sangatlah mirip. Tidak heran jika Delvin sering menyerah saat menghadapi mereka.

“Papa, Kale mirip sama Mirabel, ya?”

Gerald menengok, lalu mengangkat salah satu alisnya. “Kenapa?”

“Eyang nggak suka sama Kale. Mama ninggalin Kale. Dulu Papa juga nggak mau ajak Kale pindah ke sini.”

Diam. Lelaki itu hanya bisa terdiam. Dia melengos dan menelan saliva yang tiba-tiba berproduksi lebih banyak dari biasanya. Seharusnya Gerald tahu bahwa otak luar biasa Kale mampu berpikir demikian. Bocah di sampingnya bukan sekadar anak kecil berusia enam tahun yang menyerap segala hal tanpa menyaring terlebih dahulu.

“Besok jadi ketemu Mama?” tanya Gerald mengalihkan topik.

Berhasil. Kale langsung tersenyum dan mengubah raut wajahnya. “Jadi!” jawab bocah itu penuh semangat.

“Kale lebih suka di sini atau di Solo?” tanya Gerald lagi tanpa menatap anaknya.

“Sama Papa,” jawab bocah kecil itu meski responnya tidak ada dalam pilihan Gerald.

“Makasih udah bolehin Kale tinggal sama Papa,” lanjutnya sembari menatap lelaki dewasa yang sedang memeluk bantal sofa.

“Anytime,” jawab Gerald dengan netra yang masih terfokus pada layar televisi.

“Kale sayang Papa.”

Kali ini Gerald lagi-lagi hanya diam. Bahkan, untuk menatap sepasang netra teduh Kale pun dia tidak sanggup.

“Hm.” Hanya itu yang keluar dari bibirnya.

“Udah, lanjut nonton aja. Habis ini langsung tidur, udah malem,” katanya.

Kale mengangguk semangat, lalu menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Gerald. Kepala kecilnya bersandar di lengan sang ayah, sedangkan tangannya masih menggenggam erat botol air mineral.

Malam ini adalah malam yang indah baginya. Duduk di sofa yang sama dan menonton film bersama Gerald adalah hal yang paling menyenangkan bagi Kale.

image


@guanhengai, 2022.