140.
Acara ulang tahun Raga terlaksana dengan baik. Beberapa tamu undangan sudah mulai meninggalkan venue karena hari mulai sore, namun beberapa lainnya masih berada di ruang tamu.
Si kecil pemilik acara baru saja menuntaskan hasrat buang air kecilnya, tentu ditemani sang ayah. Praha menggenggam erat telapak mungil Raga. Meski masih terasa basah, si kecil berbalut kemeja dan jeans mini itu tak menunjukkan ekspresi risih sama sekali.
Rautnya justru menyiratkan sedikit khawatir pada sang ayah. Sedangkan, lelaki tampan lengkap dengan kemeja hitam itu sedang susah payah menahan tangis yang mungin akan berderai jika dirinya diajak bicara.
Raga menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dekorasi serba biru dan putih yang menghiasi ruang tamu seakan tak lagi menarik bagi bocah yang hari ini berusia empat tahun.
“Papa!” panggil anak itu sembari menarik tangan ayahnya.
“Hm?” Hanya itu respon yang mampu Praha berikan. Tak ada kata, tak ada tatap, tak ada pergerakan. Ia kaku.
“Papa, nggak sopan ngoblol tapi nggak liat mata,” tutur si kecil lagi. (Translate: Papa, nggak sopan kalau ngobrol tapi nggak lihat mata.)
Terpaksa lelaki itu menunduk dan menjatuhkan dengkulnya di lantai. Beruntung para tamu masih sibuk bercengkrama di bawah, sehingga ia tak perlu khawatir jika nanti pelupuknya terpaksa mengeluarkan air.
“Kenapa, Sayang?”
“Papa napa? Papa sakit? Laga ambil obat buat Papa, ya?” (Translate: Papa kenapa? Papa sakit? Raga ambilin obat buat Papa, ya?)
Tolong, jangan tanyakan itu pada seseorang yang sedang tidak baik-baik saja. Alih-alih menenangkan, pertanyaan itu justru memanggil seluruh memori di balik tangisnya. Alhasil, air mata yang sedari tadi ditahan tumpah begitu saja.
Hari ini Praha menangis di hadapan anaknya. Anak yang bahkan belum mengerti letak sakitnya. Iya, Praha memang sedang sakit. Namun, tak ada obat yang mampu menyembuhkannya.
“Papa seneng hari ini Raga tambah besar.” Telapaknya menyusuri surai sang anak meski tetes demi tetes air membasahi pipinya.
“Sayang, kamu harus inget satu hal,” ucap lelaki itu yang langsung ditatap serius oleh anaknya.
“Papa selalu sayang sama Raga. Walaupun Papa pulang malem karena kerja, walaupun papa nggak jemput Raga pas sekolah, walaupun Papa nggak beliin Raga mainan baru, Papa selalu sayang sama Raga.”
Sudah, cukup. Mulutnya tak mampu berkata lebih banyak. Emosi dan air mata sudah mendominasi diri Praha. Ia tak ingin berjanji lebih banyak, takut 'Praha' asli tidak sanggup memenuhinya.
Kala netranya sedang tertutup rapat, lelaki itu merasakan dua tangan mungil melingkari lehernya. Wangi khas anak kecil memenuhi indra penciumannya. Raga sedang memeluk ayahnya yang terlihat sangat rapuh saat ini.
“Laga juga seneng kalo cepet besal, bial nanti bisa peyuk punggung Papa. Sekalang peyuk lehel, ya?” Cengiran imut bocah itu mengakhiri pertanyaannya. (Translate: Raga juga seneng kalau cepet besar, biar nanti bisa peluk punggung Papa. Sekarang peluk leher dulu, ya?)
Praha hanya mengangguk. Ia membebankan kepalanya di bahu kecil Raga, menikmati menit-menit terakhir bersama anaknya. Dari awal acara, lelaki itu tak sedetik pun melepas pandangannya dari Raga. Jika bisa mengucap pamit, mungkin akan ia lakukan saat ini. Namun, anaknya belum memahami situasi yang ia alami.
“Raga, setelah ini Papa harus pergi sebentar. Besok pagi Papa balik lagi. Nggak apa-apa, kan?” tanya Praha setelah menyelesaikan isaknya.
Kedua bibir Raga langsung mengerucut. “Nggak boyeh,” katanya.
“Hei, Boy, denger Papa.” Praha menggenggam kedua bahu Raga, kemudian memberinya usapan lembuat sebagai penenang.
“Besok Papa pulang.” Tiga kata yang ternyata menyesakkan si pelontar. Tak ada kebohongan dalam kalimatnya tadi. Papanya memang akan pulang, Papanya Raga, tentu bukan dirinya.
“Janji?” tanya Raga menyodorkan kelingking kecilnya.
Praha mengambil tangan anaknya, menciumnya selama beberapa detik, lalu menyelipkan kelingking besarnya di sana. “Janji.”
“Laga cali Papa kalo Papa nggak puyang lagi,” tutur si keriwil. (Translate: Raga cari Papa kalau Papa nggak pulang lagi.)
“Lagi? Hahaha, emang kapan Papa nggak pulang, Sayang?”
“Pas itu, abis Laga tanya Papa mau minta apa cama Tuhan.” (Translate: Pas itu, habis Raga tanya Papa mau minta apa sama Tuhan.)
Bola mata sang tuan membulat. Setelahnya, berputar ke atas mencari jawaban.
“Ohhhh pas party di sini juga?” tanya Praha yang lansgung diangguki oleh Raga.
Hari itu. Hari di mana ia masuk ke dunia ini dan 'Praha' keluar. Hari di mana ia memulai kebohongannya. Hari di mana ia menginginkan hidup menjadi dirinya versi lain. Hari di mana ia menyesali keputusannya dulu.
“Papa pasti pulang, Sayang.” Itu adalah janji Praha.
“Kalo nggak puyang, Laga cali Papa.” Itu janji Raga. (Translate: Kalo nggak pulang, Raga yang cari Papa.)
Anggukkan Praha mengakhiri obrolan singkat mereka. Obrolan? Hahaha, bolehkah Praha katakan ini sebagai salam perpisahannya dengan si kecil?
Tangga demi tangga ia lewati sembari menggendong Raga. Beberapa tamu menatap kemesraan anak dan ayah yang memiliki wajah serupa. Berbeda dengan gadis cantik berbalut gaun biru di samping kue ulang tahun anaknya.
Terlihat jelas jejak kemerahan di hidung dan mata Aira. Praha tidak tahu pasti apa yang membuat gadis itu menangis. Entah karena tak sabar menunggu suaminya kembali atau karena tak rela mepelas kepergian lelaki yang saat ini berjalan ke arahnya.
Sepertinya, opsi pertama lebih masuk akal.
“Titip Raga, ya,” bisik lelaki itu setelah membebankan anaknya ke lengan Aira.
Anggukkan kecil adalah respon atas titahnya. Sepersekon kemudian, telapaknya hinggap di puncak surai Aira. Ibu jari Praha mengusap kening gadis itu seraya netranya menyelami milik sang puan.
“Praha sayang banget sama lo, Ra. Dia tau semua tentang lo tanpa lo ceritain,” tuturnya menutup pembicaraan.
Praha tidak ingin mendengar balasan Aira. Maka dari itu, tubuhnya segera berbalik dan menjauh dari gadis itu. Terdengar sedikit rengekan Raga dari sana, namun ia tak memiliki keberanian untuk berbalik sedikit pun. Praha takut goyah.
“Mau kemana, Bang?” Suara Leo menyapa pendengaran Praha sebelum tubuhnya melintasi pintu depan.
“Keluar bentar, Le. Titip Aira sama Raga, ya.”
Leo mengangguk, tak ada perasaan aneh sedikit pun.
Setelah lepas dari pandangan Leo, Praha langsung berjalan menuju pangkalan ojek. Ia harus mengambil motornya dan mengulang kejadian di hari itu. Kecelakaan.
“Woi! Mau ke mana lo?” Shit! Itu suara Nash.
“Eh, anu ... Itu, gue mau ... ” Otak Praha seketika membeku. Jika ia berkata ingin keluar sebentar, Nash pasti menawarkan kunci mobilnya.
“Ayo, gue anter,” tutur lelaki bertubuh ramping itu.
“Nggak usah, gue cuma keluar bentar.”
“Bentar? Hahaha! Lo mau keluar dari dunia ini, kan? Mau balik ke dimensi lo?”
Netra Praha membulat sempurna sekarang.
“Nggak usah sok kaget gitu! Lo sendiri yang bilang kalo lo bukan dari dunia ini. Ya udah, ayok gue anter. Lo mau ke mana emang?”
Nash memang satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya. Lelaki ini memang selalu memberinya bogem mentah saat ia mulai tersesat. Namun, Nash segera menggandeng Praha dan menemaninya mencari jalan keluar.
“Thank you, Nash. Lo emang sahabat terbaik gue!” Tak apa jika laki-laki berpelukan di tengah jalan, kan?
“Ish jijay bajay! Jauh-jauh lo dari gue, Alien!”
Kekehan receh dari mulut keduanya menutup drama singkat tadi. Setelah itu, Nash benar-benar mengantar Praha ke kos dan mengambil motornya.
Dibukanya sebentar pintu kos yang menjadi tempatnya berteduh selama tiga minggu. Kasur di mana ia dan Aira tidur bersama, kamar mandi di mana ia dan Aira berbagi pasta gigi, lemari di mana bajunya dan Aira saling bertumpuk.
Ini adalah cita-citanya dulu, sebelum memutuskan aborsi.
“Hidup di sini sama di sana sama-sama punya struggle, kan?” tanya Nash yang entah sejak kapan berada di sampingnya.
“Hm,” respon Praha.
“Lo mau kabur ke mana pun, pasti ada aja masalahnya. Yang harus lo lakuin cuma terima dan maafin masa lalu. Maafin orang lain aja susah, apa lagi diri sendiri. Tapi, susah bukan berarti nggak bisa, kan?”
Wow. Praha sampai tak percaya bahwa Nash dapat berkata demikian.
“Thanks sekali lagi, Nash. Gue titip Aira sama Raga ya,” pinta Praha.
“Buset? Susah amat permintaan lo! Kan nanti ada Pra- Ehm, maksud gue another Praha.”
Sang lawan bicara hanya terkekeh pelan.
“By the way, di dunia lo, gue udah ada gandengan belum?”
Pertanyaan random Nash justru mengundang gelak tawa Praha. Jika ia tahu di sana dirinya adalah asisten Praha, mungkin Nash akan mengomel sepanjang hari.
“Cuma lo yang nggak berubah di mana pun, Nash!” canda Praha.
“Anying! EMang takdir gue jadi jomblo sejati. Terus, gimana caranya lo balik ke sana?”
Praha berpikir sejenak sembari memainkan kunci motor di tangannya. “Nabrakin diri.”
“What? Nabrakin diri? Segampang itu? Anjir!”
“Sama keinginan.”
“Hah?”
Tarikan napas panjang mengawali penjelasan singkatnya pada Nash.
“Apa yang ada di dunia ini adalah keinginan yang nggak bakal terwujud di dunia gue, mungkin itu juga yang another Praha rasain. Ada sesuatu yang dia mau, tapi nggak terjadi di sini. Pas kita sama-sama dapet kejutan, I mean, kecelakaan, ya kita tuker tempat.”
“Anjay guranjay! Keren abis! Ckckckck.”
Tak ingin berlama-lama, Praha segera berjalan menuju motornya dan bersiap menjalankan rencana yang tadi sudah ia pikirkan.
Seperti yang sudah Praha katakan, kecelakaan tidak akan membuat jiwanya kembali ke dimensi asalnya. Niat dan keinginan yang besar adalah kunci dari keberhasilannya. Maka dari itu, ia sekuat tenaga menginginkan hidup kembali di dunia asalnya.
“Gue pengen balik, biar nggak nyakitin Aira,” itu tekadnya.
“Praha!” panggil Nash lagi.
“Ya?”
“Di mana pun lo berada, gue bakal selalu jadi sahabat lo, kan?”
Senyum dan anggukkan Praha langsung terlihat tanpa ada ragu sedikit pun.
Setelah Nash masuk ke dalam mobil, Praha pun melajukan motornya. Ia akan kembali ke jalanan di mana dirinya terbangun pertama kali di sini. Sebelum itu, izinkan Praha melewati rumah Aira sekali lagi.
Tak ada siapa pun di halaman, hanya beberapa satpam dan supir yang mengantar majikan mereka.
Oh! Praha melihat Jesco dan Garen dari balik kaca helmnya. Sudah. Ia sudah tak perlu pamitan dengan siapa pun di sini. Praha tidak ingin mengacaukan tekadnya lagi. Ia harus kembali ke dunianya agar another Praha dapat membali ke sini.
“See you,” tuturnya sebelum memperlaju gas motor.
@guanhengai, 2021.