140.
Payung biru berhias logo salah satu bank melindungi tubuh kekar Gerald. Celana panjang yang sudah dilipat sebatas lutut pun masih terguyur kubangan air hujan karena sang empunya berjalan sangat cepat.
Tok tok tok
Gadis yang Gerald duga sedang mendengarkan musik itu pun terlihat terkejut. Cahaya lampu menggambar sempurna bayangan Rhei di balik jendela mobil. Setelah menyipitkan mata untuk menelaah siapa yang mengetuk mobilnya, gadis itu perlahan membuka jendela.
“MAS GERALD NGAPAIN DI SINI?” tanya Rhei dengan volume yang lumayan keras karena hujan semakin deras.
“AYO NEDUH DI RUMAH SAYA AJA,” tawar lelaki itu.
Rhei sempat terdiam, membiarkan rintik hujan tempias dan membasahi bagian dalam mobilnya. Dia memang menyimpan rasa pada lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Namun, Rhei masih waras untuk tidak menerima ajakan suami orang.
“NGGAK USAH, MAS. SEBENTAR LAGI MAU MASUK.”
Rhei tidak mengira bahwa pernyataannya barusan memancing Gerald untuk mencondongkan kepalanya ke depan. Jarak wajah mereka kini kurang dari 20cm. “Sebentar laginya kapan, Rhei? Dari tadi saya liat kamu di sini, di dalem mobil, sendiri. Mending ke rumah saya dulu sambil nunggu hujan reda.”
Sepertinya, Rhei harus berterima kasih pada derasnya bulir hujan karena sudah menyembunyikan debar jantung gadis itu. Sayang, kulit wajahnya tidak sanggup berbohong dan langsung merona padam, membuat Gerald tersenyum geli.
“Udah, ikut saya aja. Kasihan mesin mobilnya,” putus Gerald tanpa mengindahkan penolakan Rhei.
Gadis bersurai panjang itu pun mengangguk pasrah saat tubuh Gerald kembali mundur dan mempersilakan dirinya untuk menutup jendela mobil. Dengan tangan bergetar, Rhei menyambar tote bag di kursi penumpang dan mematikan lampu mobil.
Malam ini adalah kali pertama Rhei masuk ke dalam rumah Gerald. Otaknya bekerja keras untuk memilih kalimat sapa yang tepat saat bertemu dengan istri Gerald yang mungkin disembunyikan di dalam rumah tersebut.
Bertemu dengan wanita paling beruntung menurut Rhei.
Suasana rumah Gerald sungguh berbeda jauh dengan gambaran yang selama ini melekat di kepalanya. Perabot-perabot besar dengan dominan warna cokelat kayu sangat berbanding terbalik dengan tampak depan rumah ini yang terkesan mewah. Lantai dua pun hanya diisi oleh televisi dan mainan anak.
Hanya ada tiga ruang yang Rhei tebak sebagai kamar tidur. Pintu lain di ujung ruangan ditempel sebuah sticker bertuliskan “DILARANG MASUK KECUALI GERALD”. Dia sempat terkekeh saat membaca tulisan tersebut. Dari bentuk pintunya, Rhei tahu bahwa itu adalah studio musik Gerald.
Sembari menunggu lelaki itu berganti pakaian, Rhei menjejajahi dinding rumah Gerald dengan tatapannya. Anehnya, tidak ada satu pun foto keluarga Gerald terpajang di sana. Hanya ada beberapa foto lelaki itu bersama managernya di acara penghargaan musik.
Rhei menghela napas kasar. Mungkin, belum saatnya dia mengetahui tentang istri dan keluarga Gerald. Padahal, suasana malam ini sangat mendukung untuknya bergalau ria. Meski deras hujan dan dinginnya udara malam ini tidak mengusik gadis itu, lagu Hujan di Balik Jendela milik Senandung yang diputar melalui radio membuatnya merasakan dingin udara di luar rumah.
“Minum dulu, Rhei. Nanti ganti baju aja, saya ada beberapa kaos yang belum pernah dipakai.”
Lelaki itu meletakkan dua cangkir berisi cairan berwarna ungu. Gadis itu menatap kedua cangkir yang masih mengeluarkan kepulan asap. Otaknya terus mencari referensi mengenai minuman yang memiliki warna secantik itu. Namun, semakin dia gali, semakin tidak menemukan.
“Ini teh bunga telang, Rhei. Saya kasih perasan lemon sedikit biar warnanya cantik,” tutur Gerald sembari tersenyum menatap kebingungan Rhei.
Gadis itu mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Tanpa menunggu lama, dia meraih salah satu gelas yang Gerald letakkan di atas meja, lalu menyeruput teh bunga yang tidak pernah didengar sebelumnya.
Sama seperti kebanyakan wanita yang mengekspresikan nikmatnya santapan, Rhei juga menari-nari kecil kala merasakan teh buatan Gerald mengaliri tenggorokannya. Rasa tawar seperti green tea menyambut lidahnya, diikuti sensasi asam dari lemon yang kemudian mendominasi.
“Gimana rasanya?” tanya Gerald yang kini sudah ikut duduk di samping Rhei dan meminum teh miliknya.
“Enak, seger, bikin tenggorokan hangat. Makasih, Mas,” jawab Rhei.
“My pleasure, Rhei. Saya bisa bikinin lagi kalau kamu mau.”
Gadis itu akan mengangguk semangat jika orang lain yang berkata demikian. Namun, dia tetap berusaha menjaga kesan kalem nan elegan di depan Gerald.
“Enggak usah, Mas. Ini udah lebih dari cukup kok,” ucapnya.
Tiga puluh menit setelahnya hanya diisi obrolan ringan antara keduanya. Mulai dari warung-warung bakso yang harus masuk dalam list mereka, merk ice cream favorit, genre lagu kesukaan, hingga urutan mandi yang baik dan benar. Sesekali Gerald tertawa lepas kala mendengar cerita Rhei mengenai Anabul. Kucing itu ternyata memang hobi kabur dan membawa barang pribadi Rhei.
Lagu Rindu Yang Kita Tangisi milik Elegi terlantun saat Gerald beranjak untuk memenuhi panggilan Kale.
Kita bertemu lagi akhirnya Siapa peduli cerita di baliknya
Rhei terdiam seraya suara ceklek dari radio terdengar. Itu merupakan lirik terakhir dari lagu terakhir di mixtape milik Gerald. Setelah memastikan belum ada tanda-tanda lelaki itu kembali, Rhei berjalan menuju meja tempat radio besar itu berada.
Netranya membaca satu per satu tulisan di atas tombol yang sudah mulai memudar. Kala melihat tulisan 'open', telunjuk Rhei segera menekannya.
“Tentang kamu.” Rhei bersuara pelan saat membaca tulisan di mixtape berawarna hitam tersebut.
“Asik banget sih jadi istrinya Gerald, pake dibikinin mixtape segala,” bisiknya pada diri sendiri, berharap dialah yang menempati posisi itu.
“Suka lagu-lagunya, Rhei?”
Gadis itu terkejut dan langsung menyembunyikan mixtape tersebut di balik tubuhnya meski dia tahu itu tak berguna. Jantungnya kembali dikejutkan saat melihat Kale dengan muka bantalnya menempel di dada Gerald seperti anak koala.
Akhirnya, Rhei tersenyum kaku dan mengulurkan benda tersebut ke Gerald. “Maaf lancang, Mas. Tadi lagunya mati,” ucapnya.
“Kalau suka ambil aja, Rhei.”
Kedua netranya membulat bercahaya. Bukan karena lagu di dalamnya, tetapi karena ini pemberian Gerald. Namun, kilau di matanya perlahan memudar saat mengingat istri Gerald.
“Nggak usah, Mas. Kayaknya ini dibikin khusus buat seseorang,” tuturnya sembari mengusap tulisan di mixtape tersebut dengan ibu jarinya.
“Oh, itu. Enggak kok, tapi pas saya masukin lagu-lagunya kebetulan saya inget sama kamu.”
Rhei tersedak salivanya sendiri hingga membuat Kale yang tadinya hampir terlelap kembali membuka mata. Tolong kasih petunjuk bahwa kini Rhei masih berada di dunia nyata dan belum berpindah ke alam imajinasi.
“Soalnya beberapa minggu ini kamu jarang keliatan, saya pikir kamu udah pindah,” lanjut Gerald.
Tidak, Rhei tidak butuh penjelasan. Itu hanya akan membuat jantungnya semakin berdebar tak keruan.
“O-oh? Ya udah. Makasih, Mas. Gue nggak pindah kok.”
“Mana ada yang mau pindah kalo tetangganya sejenis lo?!” lanjutnya dalam hati.
“Hujannya masih belum reda, nginep di sini aja. Nanti kamu tidur di kamar saya, biar saya tidur sama Kale.”
“Jangan, Mas. Nggak enak sama tetangga,” jawabnya
“Loh? Emangnya kamu udah bisa masuk ke kos?”
“Belum sih. EH?! Kok Mas Gerald tau gue nggak bisa masuk kos?” Rhei melotot meminta penjelasan.
“Nebak aja. Mana ada orang yang diem di mobil selama itu kalo bukan karena kekunci?”
Rona wajah Rhei semakin padam. Berbohong memang bukan keahliannya. Maka dari itu, menghadapi klien dewasa merupakan tantangan terbesar bagi gadis itu karena terkadang harus menunjukkan senyum manis kala hatinya amat dongkol.
“Kayaknya hujannya bakal awet. Mau nunggu sampe reda? Bisa-bisa kita nggak tidur semaleman.”
Rhei sempat menengok ke arah jendela taman belakang dan menyadari bahwa hujan deras disertai angin seperti ini tidak akan reda dalam satu jam ke depan. Bahkan, trampolin dan ayunan milik Gerald sudah menampung genangan air di atasnya.
“Ya udah, Mas. Maaf banget ya, jadi ngerepotin gini,” tuturnya.
“Siapa yang bilang kamu ngerepotin?” tanya Gerald sembari berjalan menuju sofa tempat mereka duduk beberapa menit yang lalu.
“Saya mau bikin susu dulu buat Kale, boleh tolong jaga dia sebentar?”
Saat mendengar pertanyaan tersebut, ingin rasanya Rhei bertanya perihal keberadaan sang ibu. Selain tidak ada foto Gerald bersama istrinya, Rhei juga tidak melihat foto lelaki itu bersama Kale. Namun, rasanya pertanyaan itu terlalu personal dan tidak sopan untuk ditanyakan.
Rhei pun mengangguk, lalu duduk di samping lelaki kecil berbalut piyama tidur. Meski ada bercak air liur yang mengering di pipinya, Kale tetap terlihat sangat tampan. Pipinya merah dan matanya sayu akibat kantuk.
“Kita belum kenalan. Namaku Rhei,” sapa sang gadis memecah keheningan.
“Saya udah tau nama Tante,” jawab bocah itu.
Rhei sedikit menganga saat panggilan itu terlontar dari mulut Kale. Apakah wajahnya menunjukkan bahwa dirinya sudah tante-tante?
“Panggilnya 'kakak' aja, aku masih muda kok.”
“Tante kan temennya Papa.” Gadis itu tersenyum canggung. Ya, bocah di hadapannya adalah anak Gerald. Itu yang seharusnya Rhei ingat dan tanamkan dalam benaknya.
“Alright. So, what's your name?” tanya Rhei lagi sembari mengulurkan tangannya.
Lelaki kecil itu pun membalas uluran tangan sang gadis. “Oma panggil saya Kael, tapi Papa sama Om Delvin panggil saya Kale.”
Alis Rhei menggelombang seketika, lalu sebisa mungkin menetralkan kembali ekspresinya. “Terus, aku panggil kamu siapa, dong?”
Telunjuk kecil Kale menempel di dagunya, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras. Beberapa saat setelahnya, netra mungilnya menatap Rhei. “Panggil Kael aja, boleh?”
Yang ditanya justru tertawa kecil. “Loh, itu kan nama kamu, ya terserah kamu. Oke, berarti aku panggil kamu Kael, ya?”
Si tampan kecil itu mengangguk senang, lalu kembali bersandar pada sofa untuk menantikan susu hangat buatan sang ayah. Di sampingnya, senyum ramah Rhei perlahan memudar, terganti oleh rasa penasaran yang membuncah.
@guanhengai, 2022.