151.

Ketika hampir seluruh umat manusia membenci hari senin, ternyata hal tersebut tidak berlaku bagi Rhei dan Dylan. Jadwal praktik mereka hanya tiga kali dalam seminggu. Di hari lain, kedua manusia yang kini sedang berbincang dengan Rian datang ke rumah sakit sekadar untuk presensi.

“Rian mau kayak Mbak Rhei sama Mas Dylan ah, kerjanya cuma dengerin orang-orang curhat,” kata remaja yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA itu.

image

“Walah! Nek aku bisa ngulang waktu, aku nggak bakal mau jadi psikolog! Mumet, Yan! Harus interpretasi, nganalisis, bikin laporan. Apa lagi kalo harus nanganin anak kecil yang susah diajak kompromi. Modyar ndasku!” keluh Dylan.

“Padahal lebih enak nanganin anak kecil, dari pada dibilang sok tau sama orang tua. Haduh, berasa dimarahin nenek sendiri!” sahut Rhei.

“Hahaha! Mas Dylan sama Mbak Rhei ternyata bisa sambat juga, ya? Tak pikir cuma bisa senyum, ketawa, sama dengerin orang,” ucap Rian yang dibalas tawa ketiganya.

Mereka memang jarang menunjukkan kekesalan dan amarah. Namun, Rhei dan Dylan tetap manusia yang bisa merasakan emosi negatif. Hanya saja, mereka memiliki cara masing-masing untuk melampiaskannya. Dylan akan jalan-jalan sendiri dengan motornya hingga melupakan kesedihan tersebut, sedangkan Rhei memilih berdiam diri di kamar dan bercerita pada Anabul.

Emosi negatif bukanlah hal yang harus dihindari. Kita hanya perlu sadari, rasakan, terima, dan belajar mengelola agar dampaknya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

“Ayok, ayok, masuk dulu. Makanannya sudah siap.”

Suara lembut Pak Bun menyapa gendang telinga. Ketiga sosok yang sedang asik mengobrol itu pun segera beranjak dan menuju ruang makan untuk menyantap masakan Bu Asih, istri Pak Bun. Aroma lezat langsung menyambut indra penciuman mereka meski meja makan masih berjarak beberapa meter.

“Wah, harum sekali, Bu,” tutur Dylan saat sampai di meja makan.

Jajaran piring dan gelas sudah ditata sesuai jumlah mereka. Pun sepasang alat makan terpangku rapi di atas piring. Benar-benar memanjakan mata dan perut anak kos.

“Terima kasih, Mas Dylan. Mari duduk, kita sarapan sama-sama,” jawab Bu Asih.

Mereka segera menarik kursi masing-masing dan menempatinya. Tidak ada obrolan hingga Pak Bun mengajak mereka untuk berdoa bersama. Rhei selalu senang kala mendengar Pak Bun memimpin doa. Rasanya damai, seperti memiliki ayah yang begitu menyayangi dan tak lupa mendoakan dirinya.

“Amin,” ucap mereka serentak setelah membentuk tanda salib dengan tangan kanannya.

“Yok, boleh makan sampai kenyang. Kalau ndak kenyang nanti ndak boleh perpanjang kos,” tutur Pak Bun disertai kekehan khas beliau.

“Hehehe, saya jamin pasti kenyang, Pak. Apa lagi si Rhei, udah nggak makan dari minggu lalu,” jawab Dylan yang langsung mendapat tabokan dari gadis di sampingnya.

Mosok? Kayaknya babang Grab sama Shopeefood setiap hari dateng buat nganterin makanan buat Mbak Rhei tuh,” celetuk Rian.

“Hush! Wes, wes, wes, makan dulu, nanti aja ngobrolnya.”

Mereka pun mengangguk, lalu mengambil nasi serta lauk pauk secukupnya. Denting garpu dan sendok memenuhi ruang makan Pak Bun pagi ini. Bercak sinar mentari yang masuk melalui celah di atas dapur sesekali membuat Rhei tersenyum. Gadis itu selalu menikmati suasana makan bersama seperti ini.

Lima belas menit berlalu, satu per satu manusia di meja makan itu sudah menghabiskan makanan yang mereka pindahkan ke piring masing-masing. Bu Asih baru saja meletakkan sepiring bolu pandan yang masih panas. Aroma manis dari potongan bolu berbentuk segitiga itu kembali membuat cacing-cacing di perut Rhei berteriak antusias. Bolu pandan Bu Asih mendapat sertifikat sebagai bolu pandan terbaik dari Rhei.

“Ambil saja, Mbak. Ini Ibu siapkan khusus untuk kalian kok,” ujar Bu Asih.

“Terima kasih, Bu. Rhei ambil satu, ya?” izin gadis itu.

“Ambil banyak yo rapopo, Mbak. Tolong ambilin plastik ya, Bu. Biar anak-anak bawa ke kamarnya,” ucap Pak Bun.

“Waduh! Ndak usah, Pak. Jadi enak,” jawab Dylan mengundang tawa Pak Bun, Bu Asih, dan Rian.

image

Nyatanya, plastik tersebut tidak berguna karena sepiring bolu pandan buatan Bu Asih langsung ludes sebelum dingin. Rasa manis yang pas, aroma pandan yang lezat, lembutnya bagian atas bolu, serta beberapa bagian bawah yang mengering membuat lidah Rhei menari saat menyambutnya.

“Wah, ternyata bolu buatan Ibu laris,” goda Pak Bun pada Dylan dan Rhei yang masih mengunyah potongan terakhir bolu mereka.

“Hehehe. Bolu Ibu memang yang paling enak, Pak,” jawab Rhei.

“Iya, Pak. Uenak tenan!” sahut Dylan.

“Mas Dylan katanya mau dibikinin tiap hari, Bu!” celetuk Rian.

“Weh! Ngawur! Nggak, Bu. Saya nggak bilang gitu. Tapi, kalo Ibu maksa, saya terima dengan senang hari,” ujarnya yang langsung mendapat cubitan dari Rhei.

Setelahnya, gadis itu ikut membantu Bu Asih merapikan meja makan dan mencuci piring. Meski rumah Pak Bun terbilang cukup besar, mereka memilih untuk membersihkannya sendiri alih-alih membayar asisten rumah tangga. Lagi pula, dua anak mereka sudah tinggal di rumah masing-masing. Hanya tersisa Rian, si bungsu yang sebentar lagi ikut merantau.

“Mbak Rhei sama Mas Dylan minggu depan ada acara ndak?” tanya Pak Bun saat mereka sudah kembali berkumpul di ruang makan.

Yang ditanya justru saling tatap, berdiskusi melalui telepati mengenai jadwal mereka minggu depan. Dylan terlihat menggeleng pelan, lalu direspon angguk oleh Rhei.

“Sepertinya nggak ada kegiatan, Pak. Paling cuma praktek sama presensi ke rumah sakit,” jawab Rhei mewakili temannya.

“Wah, berarti bisa dong ikut memeriahkan acara syukuran ulang tahun pernikahan Bapak sama Ibu yang ke 25?”

Dylan langsung melebarnya netranya. “Bisa banget, Pak! Nggak terasa ya, sudah 25 tahun aja. Dulu pas saya pindah ke sini, kayaknya baru ulang tahun ke 19,” ujarnya disertai tawa pelan.

“Selamat, Bapak, Ibu. Rhei doain yang terbaik buat Bapak, Ibu, Mbak Adhis, Tommy, dan Rian.”

“Amin, amin. Terima kasih, ya. Nanti tolong ajak temen-temen kos lain juga ya, Mbak Rhei. Sama tetangga kita, sopo jenenge, Pak?” tanya Bu Asih pada Pak Bun.

“Mas Gerald, Bu.” Rian yang menjawab pertanyaan ibunya.

“Oh, iya, Mas Gerald!”

“Nah, kalo urusan Gerald emang tugasnya Rhei, Bu,” goda Dylan.

Tatap gadis itu langsung menajam hingga terasa menusuk dada Dylan. Namun, temannya hanya terkekeh pelan. Rian pun ikut tertawa saat melihat wajah Rhei yang perlahan merona.

“Wajar lah nek Mbak Rhei suka, wong ganteng ngono yo, Mbak?” timpal Pak Bun.

Kini tidak ada jalan keluar bagi Rhei kecuali tersenyum dan mengangguk. Demi Tuhan, dia akan langsung meninju Dylan setelah acara makan pagi ini berakhir.

image


@guanhengai, 2022.