164.
Lorong lantai tiga rumah sakit tidak seramai lantai dasar. Jajaran pintu putih berhias nama pasien selalu mengisi pemandangan Rhei setiap hari. Ruang praktiknya tidak berdekatan dengan ruang rawat, tetapi masih ada di lantai yang sama.
Bunyi pintu tertutup terdengar kala sosok berkemeja navy itu keluar dari ruangannya. Rambut panjang yang dijedai dan lengan jas rumah sakit yang digulung sebatas siku membuat Rhei terlihat lebih santai dari sebelumnya. Segelas espresso dingin di genggam kirinya menemani gadis itu mengelilingi lorong lantai tiga.
Teriknya siang ini membuat Rhei teringat cerita Kayla beberapa hari lalu. Konon katanya, kolam di balkon lantai tiga merupakan kolam pengabul permohonan. Jika seseorang melempar koin ke dalam kolam di bawha terik mentari, maka permohonannya akan terkabul.
Rhei bukan manusia yang mudah mempercayai cerita orang begitu saja. Maka dari itu, di saku jasnya sudah tersimpan tiga buah koin untuk membuktikan pernyataan Kayla.
Kolam yang hanya dihiasi air mancur itu tidak pernah terisi ikan sama sekali. Rhei sudah sering menanyakan hal tersebut pada Mbak Sri, salah satu petugas kebersihan di rumah sakit ini. Namun, jawaban Mbak Sri selalu melenceng dari ekspektasi Rhei.
“Ya mungkin ikannya ndak betah di sini, Mbak.” “Ikannya lagi mudik, Mbak.” “Ikannya goib, Mbak. Cuma bisa dilihat sama yang beriman kuat.”
Gadis itu menghela napas saat kakinya mendekati kolam tersebut. Pantulan sinar matahari di atas air membuat Rhei menyipitkan kedua matanya.
Sesampainya di pinggir kolam, Rhei meletakkan gelasnya. Dia merogoh saku untuk mengeluarkan satu koin seratus perak yang selama ini tersembunyi di laci meja kerjanya. Rhei lalu meneliti sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Beberapa saat kemudian, gadis itu menutup matanya dan mengucapkan sebuah permintaan.
Plung
Koin seratus rupiah di tangannya sudah ditangkap oleh air di dalam kolam dan sedang menuju ke dasarnya. Rhei dapat melihat pantulan dirinya sedang tersenyum puas di air yang jernih.
“Kalo Gerald bisa jadi jodoh gue, berarti ini beneran kolam ajaib,” gumamnya.
“Rhei? Lo ngapain di sana?”
Gadis itu membatu dalam posisi sedikit membungkuk. Otaknya berusaha meneliti suara yang baru saja menyapa dirinya. Perlahan Rhei menegakkan tubuh dan berbalik.
“Lingga?! Lo ngagetin gue, anjir!” protes Rhei yang sebenarnya pura-pura terkejut.
“Lagian lo kayak lagi nyembah kolam, Rhei,” jawab lelaki itu seraya berjalan mendekatinya.
Sang gadis hanya diam dan tidak merespon temannya. Kedua netra Rhei justru terfokus pada sosok kecil di samping Lingga. Pakaian dan rambut yang tertata rapi selalu membuat Kale terlihat tampan.
“Halo, Kale!” sapa Rhei saat anak itu sampai di depannya.
Alih-alih membalas sapa, bocah tampan itu justru menunjukkan raut kecewa. Rhei yang bingung pun langsung jongkok untuk menyetarakan tingginya dengan Kale.
“Loh? Kok mukanya berubah? Aku ada salah apa?” tanya Rhei lembut.
“Tante Rhei kenapa panggil saya Kale?”
Alis Rhei bergelombak seketika. Beberapa detik setelahnya, dia memamerkan senyum canggung. Rhei tidak langsung mejawab pertanyaan Kale. Diambilnya gelas yang masih berisi setengah espresso dingin, lalu digandengnya tangan bocah itu menuju tempat yang lebih sejuk.
“Kale, I'm so sorry. Papanya Kale minta aku buat nggak panggil Kale dengan nama 'Kael'. So, aku panggil Kale aja, gimana? Sama-sama ganteng kok namanya,” ucap Rhei setelah duduk di salah satu bangku panjang lantai tiga.
Kale sempat berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “It's okay. Sama-sama nama saya,” jawabnya diikuti senyum manis.
Demi Tuhan, Kale merupakan gambaran kecil Gerald. Ujung bibir, bentuk hidung, sudut alis, bahkan aura keduanya benar-benar sama persis. Rhei merinding kala memikirkan hal tersebut.
“Lo nggak ada klien, Rhei?”
Gadis itu sampai melupakan eksistensi Lingga di dekatnya.
“Eh? Enggak. Kayaknya klien gue kabur semua deh,” jawabnya asal.
Tawa kecil Kale mengundang perhatian Rhei. Pasalnya, ini adalah kali pertama gadis itu mendengar tawanya. Kedua sudut bibir Rhei terangkat, telapaknya membelai lembut surai Kale.
“By the way, kok kalian bisa bareng?” tanya Rhei.
“Tadi Dylan nitip Kale ke gue, kebetulan udah nggak ada pasien,” jawab Lingga.
“Gerald sama Delvin ke mana?”
“Delvin lagi jemput Gerald, tadi Kale belum selesai konseling. Oh ya, tadi kita beli jajan di depan, mau?” Lingga memamerkan beberapa tusuk telur gulung di tangannya.
Rhei mengerutkan dahinya. “Emang Kale boleh makan jajanan kayak gitu?”
“Boleh kok, Tante. Papa nggak pernah ngelarang saya buat makan apa aja.”
“Tuh! Kenapa jadi lo yang posesif, sih? Udah kayak emaknya aja!” celetuk Lingga yang langsung mendapat cubitan keras di pinggangnya.
Kale hanya memperhatikan mereka dengan tatapan bingung.
Tiga puluh menit mereka habiskan untuk membicarakan banyak hal. Mulai dari burung yang singgah di tiang listrik, klakson kendaraan yang saling bersautan di bawah sana, awan-awan yang saling mengejar, hingga cerita di balik pembuatan movie Disney. Tentu semua topik berasal dari rasa penasaran Kale.
Rhei memang senang menangani klien kecil seusia Kale. Namun, sejujurnya dia belum siap mendapat pertanyaan-pertanyaan random seperti ini. Biasanya, dialah yang memberi pertanyaan pada klien-kliennya.
“Om Lingga sama Tante Rhei sukanya nonton apa?”
“Om Lingga suka nonton apa aja, asal bukan film setan.”
Rhei tertawa mendengar respon Lingga. Tubuh dan nyali Lingga memang memiliki korelasi negatif. Lelaki ini bisa menjerit paling histeris ketika menonton film horor.
“Kale juga takut film setan,” gumam si kecil. “Kalo Tante Rhei?” lanjutnya.
“Aku suka nonton drama sama anime,” tutur Rhei merespon pertanyaan Kale.
“Anime apa, Tante?”
“Aku paling suka Ponyo sama Wolf Children. Kale udah pernah nonton atau belum?”
“Belum. Kale sukanya nonton Disney. Tapi, Kale mau nonton itu!” ucapnya semangat.
“Boleh, nanti aku ajak Kale nonton. Kale suka menghitung sama baca buku, kan? Gimana kalo kita belajar bareng, terus nanti diselingi nonton film deh,” tawar Rhei yang direspon pekik riang anak itu.
“Tante Rhei ke rumah Kale?”
“Engga, Sayang. Nanti kita video call aja. Ya, sekali-kali boleh deh aku ke rumah Kale.”
Rhei tersenyum bahagia. Jika tidak tahu malu, Rhei akan menganggap ini sebuah langkah awal untuk menarik perhatian Kale. Setelah langkah ini terlewati dengan mulus, dia akan menarik perhatian Gerald. Tetapi, Rhei masih sadar posisi dan porsinya. Dia tahu Gerald bukan lagi impiannya. Gerald sudah dimiliki wanita lain.
“Emangnya, film Disney kesukaan Kale apa?” tanya Lingga penasaran.
“Encanto. I like Encanto so much,” jawabnya.
“Why?” Rhei gantian bertanya.
“Karena Kale nonton itu sama Papa. Kale seneng bisa nonton sama Papa. Papa pangku sama peluk Kale, hangat,” ucapnya yang membuat dua manusia dewasa di sana terdiam.
“Aku juga bisa peluk Kale, mau?” tawar Rhei yang langsung ditatap oleh sang bocah.
“B-boleh?” tanya Kale.
“Of course, sini.” Rhei membuka kedua lengannya agar Kale bisa memeluknya terlebih dahulu.
Hap
Tubuh kecil itu langsung menubruk Rhei dan membuat gadis bersurai panjang itu tertawa geli. Dia kemudian mengusap dan menepuk-nepuk punggung Kale.
“Ternyata kamu juga suka dipeluk kayak anak-anak lain, ya?” tanya Rhei.
“Emangnya orang gede nggak suka dipeluk, Tante?” Kale kembali bertanya sembari melepas pelukannya.
Lingga dan Rhei saling tatap, lalu tersenyum canggung.
“Ada yang suka, ada yang nggak suka,” jawab Lingga asal.
“Kalo Om Lingga? Suka dipeluk atau enggak?”
“Ehmmm, tergantung orangnya. Kalo dipeluk Kale suka kok,” jawab lelaki itu.
“Kalo dipeluk Tante Rhei? Tante Rhei hangat loh,” ucap Kale seakan-akan menjual gadis di sebelahnya.
Lingga kemudian beranjak, lalu duduk di samping Rhei. Dia melingkarkan lengannya di bahu sang gadis tanpa aba-aba dan membuat Rhei kembali terkejut. “Kalo Om Lingga sama Tante Rhei pelukannya kayak gini, soalnya kita temenan,” ujarnya disertai senyum mempesona.
“Emangnya ada pelukan apa aja, Om?” tanya Kale dengan tatap penuh rasa penasaran.
“Nggak ada! Om Lingga nih aneh-aneh aja!” Rhei menjawab seraya menepis tangan temannya.
“Oh, soalnya Mama sama Papa pelukan juga kayak Om Lingga sama Tante Rhei tadi. Kale kira semua orang gede pelukannya kayak gitu,” ujar Kale dengan volume yang sangat pelan.
Berbeda dengan Lingga yang hanya mengangguk, Rhei seketika terdiam setelah mendengar kalimat Kale. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam otaknya, namun dia masih punya akal untuk tidak menanyakan hal tersebut.
“Aku nggak pernah liat mamanya Kale.”
Rhei menatap Lingga dan ekspresi polosnya. Dia menahan diri untuk tidak berkata demikian, tetapi temannya justru berkata tanpa beban.
“Soalnya Mama udah di surga, Om.”
“Uhuk!”
Gelas di tangannya menjauh dari mulut, pun cairan kehitaman yang belum sempat mengaliri tenggorokan Rhei kembali tersembur. Untung saja Kale dan Lingga sudah menjauh, sehingga tidak terkena hujan lokal Rhei.
“RHEI! KEBIASAAN DEH!” pekik Lingga kaget.
“Sorry, sorry,” jawab Rhei seraya membasuh wajahnya dengan tissue.
“I'm sorry to hear that, Kale. Maaf udah bahas-bahas itu,” tutur Lingga dengan penuh rasa bersalah.
“Nggak apa-apa, Om. Dulu sih Kale sedih, tapi sekarang udah enggak terlalu.”
Meski berkata demikian, bibir Kale bergetar. Netranya terlihat berlari menghindar kontak tatap dengan Rhei dan Lingga. Rhei tahu dia sedih. Kale masih sedih. Gadis itu segera merangkul bocah tampan di sampingnya dan mengusap lembut lengan Kale.
“Kalo masih sedih juga enggak apa-apa, Kale. Sedih itu wajar,” ucap Rhei.
“Om Dylan juga bilang kayak gitu setiap Kale cerita tentang Mama.”
Rhei hanya mengangguk setuju dengan pernyataan Kale. Teka-teki di otaknya mulai terisi satu per satu. Entah apa yang membuat wanita itu pergi meninggalkan suami dan anaknya, Rhei tidak ingin menggali hal tersebut. Yang terpenting, Rhei sudah tahu alasan mengapa mamanya Kale tidak pernah terlihat.
“Kale!!!”
Ketiga manusia yang sedang larut dalam hening itu sama-sama menengok ke arah sumber suara. Delvin dengan kaos hitam dan kacamata kebanggaannya sedang berjalan menuju tempat mereka duduk.
“Maaf, tadi macet banget jalanannya,” ucap Delvin sembari mengulurkan tangannya.
“Iya, nggak apa-apa. Kale juga seneng ngobrol bareng Tante Rhei sama Om Lingga,” jawab Kale meraih telapak Delvin.
“Thank you udah jagain Kale,.” Delvin membuka kacamata hitamnya dan memamerkan senyum manis.
“No problem,” jawab Lingga.
“Nggak ada yang gratis!” celetuk Rhei.
“Gue bayar pake dosa!” respon Delvin sebelum beranjak meninggalkan Lingga dan Rhei.
Tangan kecil Kale terus melambai ke arah mereka hingga pintu lift tertutup. Senyum di wajahnya pun tidak pudar hingga raganya tertelan benda kotak yang membawanya ke lantai dasar.
“Udah nggak penasaran soal istrinya Gerald lagi, kan?” tanya Lingga tiba-tiba.
“Ck! Harusnya lo nggak usah nanya gitu. Kasian Kale.”
“Terima kasih dulu kek.”
“Makasih, Lingga ganteng!” pekik Rhei di samping telinga temannya.
“RHEI! Suara lo bikin telinga budeg!” protesnya kesal.
“Bodo amat! Gue mau gangguin Dylan dulu. Byeeee!!!”
Lingga hanya bisa menggeleng kala melihat Rhei berlari ke arah ruang kerja Dylan. Untung saja klien Dylan sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu. Jika tidak, mungkin lelaki itu akan memarahi Rhei sepanjang hari.
@guanhengai, 2022.