17.
Gelap. Satu kata yang mendeskripsikan tempat Bianca bersembunyi.
Dia memeluk tas kecil miliknya tanpa melonggarkan pendengaran. Kedua kaki Bianca mulai kebas karena berjongkok hampir lima menit. Jantungnya masih gempar akibat notifikasi yang tiba-tiba menghiasi layar ponselnya.
“Kayaknya udah nggak ada orang,” bisik Bianca pada dirinya sendiri.
Setelah mengaduh karena kram, dia berusaha merangkak keluar dari kolong meja.
Sial! Prediksi Bianca meleset jauh. Laki-laki yang dia hindari ternyata masih ada di sana. Yang paling mengejutkan adalah tubuh Bara menjulang tepat di hadapannya.
“Pegel kan sembunyi di bawah meja?”
Saliva Bianca meluncur bebas melewati tenggorokan. Dadanya semakin menggebu-gebu, perutnya seketika bergejolak hebat. Dia merasakan panas di sekujur wajah dan lehernya.
Belum reda rasa terkejutnya, telapak Bara tiba-tiba melingkar di lengannya dan membantu Bianca berdiri. Gadis itu sempat oleng karena kakinya terasa ngilu saat digerakkan. Dengan gesit, Bara menggendong tubuh 57 kg itu di bahu kanannya.
“KAK BARA! TURUNIN GUE!”
“Loh? Katanya nggak kenal gue?” Bara mempererat cengkraman di betis Bianca.
“KAK BARA! MALU!”
Sesampainya di bangku panjang, laki-laki itu menurunkan perlahan tubuh Bianca. Bara menarik kedua kaki gadis itu agar kramnya reda. “Dasar, Bocil! Ngapain sih ngumpet di kolong meja? Badan lo udah nggak sekecil dulu.”
Bianca terdiam karena telapak Bara berpindah ke puncak kepalanya. Jemari Bara mengacak rambut Bianca yang semula tertata rapi. Saat mereka masih kecil, Bara sering melakukan hal tersebut. Tetapi, rasanya sangat berbeda setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
Terakhir kali Bianca melihat Bara adalah enam tahun silam, saat dia berusia 14 tahun dan Bara 18 tahun.
Dari kecil, keduanya tumbuh di lingkungan yang sama karena hubungan bisnis orang tua mereka. Papa Bianca memiliki beberapa hotel dan pusat perbelanjaan, sedangkan papa Bara merupakan pemilik perusahaan fashion terbesar di Asia. Meski perbedaan usia mereka cukup jauh, Bianca tidak pernah segan untuk mengajak Bara bermain bersama.
Akan tetapi, semua berubah sejak Bara lulus SD. Mereka sudah tidak pernah berangkat dan pulang sekolah bersama. Bara yang semakin sibuk juga tidak pernah bermain atau belajar bersama di rumah Bianca.
Bara masuk SMP ketika Bianca baru naik ke kelas 3 SD. Saat Bianca masuk SMP, Bara sudah duduk di kelas 2 SMA. Saat Bianca masuk SMA, Bara sudah kuliah di Australia. Dulu Bianca sangat iri pada teman-teman sekelas Bara yang bisa bertemu dengannya setiap hari. Sedangkan, dia hanya bisa bertemu Bara setiap Sabtu atau saat orang tua mereka bertemu.
Papa Bara meninggal saat laki-laki itu berusia 21 tahun. Bara yang baru saja lulus kuliah langsung mengambil alih perusahaan yang saat itu sedang melebarkan sayap ke benua Eropa. Beralasan mengembangkan perusahaan, Bara kembali menempuh pendidikan di City of Love. Mereka semakin terpisah jauh.
Berbeda dengan Bara yang menjalani kehidupan perkuliahan di luar negeri, Bianca memilih untuk menetap di Indonesia. Dia mengambil jurusan Sastra Inggris di salah satu kampus swasta di Jakarta. Alasannya sederhana, dia tidak suka berhitung dan menghapal. Tapi, ternyata pilihannya justru membawa Bianca pada jurang yang paling dia hindari. Bukan hanya menghapal dan menghitung, dia juga harus menganalisis banyak sekali karya sastra. Mata kuliah Linguistik dan Kajian Budaya yang paling menguras otak udang Bianca.
“Mikirin apa, sih? Serius banget, Bi.” Bara menyenggol bahu Bianca, memecah keheningan.
Bianca berdeham. Dia mendorong tubuh Bara agar menjauh darinya. Jika tidak, laki-laki itu mungkin bisa mendengar debar jantung.
“Ngapain lo balik ke Indonesia, Kak?”
“I'll get married soon.”
Jawaban Bara berhasil membuat tubuh Bianca membeku. Dada dan kepalanya terasa ditusuk hingga tubuhnya terpecah menjadi beratus-ratus bagian. Dia ingin cemburu, tapi dia sadar tidak memiliki hak. Mungkin Bianca harus menyembunyikan perasaannya, sama seperti 13 tahun terakhir.
Gadis itu sudah menyimpan rasa suka sejak awal pertemuan mereka. Lagi pula, siapa yang tidak jatuh hati pada Bara? Meski saat itu mereka masih anak-anak, Bianca mampu merasakan aura tampan laki-laki itu. Terlebih, Bara selalu berpenampilan rapi. Rambutnya ditata ke atas, terkadang kacamata bersandar di hidung mancungnya. Bara benar-benar mencerminkan sosok anak tunggal kaya raya.
“Nikah sama siapa?” tanya Bianca tanpa dia sadari. Suaranya sangat pelan, hampir tidak terdengar.
Jika dipikir-pikir, pertanyaan barusan sungguh tidak layak untuk ditanyakan. Tentu Bara akan menikah dengan kekasihnya, Brigitta Caroline atau sering dikenal dengan nama Olin. Gadis cantik yang berprofesi sebagai model internasional itu sudah menjadi kekasih Bara sejak mereka duduk di bangku SMA.
Mereka mulai dekat saat menjabat sebagai ketua dan wakil ketua OSIS. Di tengah periode jabatan, mereka mengumumkan status barunya. Bianca yang saat itu baru masuk SMP pun hanya mampu tersenyum dan mengucapkan selamat ke Bara.
Untuk pertama kalinya, Bianca merasakan patah hati.
Tahun-tahun setelahnya, dia semakin terpuruk. Bara dan Olin terlihat semakin dekat. Bahkan, mereka memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama. Kabar tentang Olin dan Bara masih sering berkeliaran di televisi dan media sosial. Bianca tentu tahu bahwa mereka sama-sama menetap di Paris.
Setelah berkali-kali denial, malam ini Bianca harus memutus harapannya. Penantian tiga belas tahunnya sudah berakhir. Dia harus melepaskan Bara meski mustahil.
“Nikah sama lo.”
“HAH?!”
Mulut Bianca terbuka lebar. Matanya terbelalak, rambut halus di sekujur tubuhnya menegang sempurna.
“Kalau lo mau, sih.”
Bianca mengerjap berkali-kali. Dia yakin wajahnya sudah semerah tomat. Tapi dia tidak peduli. Kata-kata Bara sungguh mengacak-acak perasaannya. Tekad move on yang sudah terbangun sempurna langsung runtuh begitu saja.
“Kenapa sama gue?”
Bara tidak langsung menjawab. Dia justru menatap kedua netra bulat Bianca. Laki-laki itu mengangkat salah satu sudut bibirnya kala menangkap binar di mata gadis itu.
Bara merindukan gadis kecil yang selalu mengikutinya ke mana-mana. Dia rindu suara cempreng Bianca saat meminta cokelat kepadanya. Dia rindu memarahi Bianca saat belajar Matematika. Bara rindu.
@guanhengai, 2022