172.
Lelah. Satu kata yang menggambarkan air wajah Jerry saat memasuki kamar kosnya. Tumpukan pakaian kotor dan bungkus makanan ringan membuat lelaki berusia 27 tahun itu menghela napas kasar. Diambilnya satu per satu plastik yang tercecer di lantai sembari menyingkirkan remahan snack yang tertinggal.
Berbeda dengan seorang gadis berbalut piyama merah muda yang sudah terkapar dengan posisi tengkurap. Laptop di hadapannya masih menayangkan sebuah serial drama Korea yang ia tonton tadi. Bantal guling yang diapit pipi dan lengannya mulai basah karena air liur. Perlahan tapi pasti, kedua sudut bibir Jerry terangkat.
Entah sudah berapa kali Jerry merasa kesal pada Angel karena malas membuang bungkus makanannya. Namun, lelaki itu tetap luluh ketika menatap wajah damai istrinya. Bokongnya mendarat pelan di samping Angel agar tidak membangunkan gadis itu.
Merasakan pergerakan di dekatnya, kening sang gadis mulai mengerut. Otaknya kembali bekerja dan memaksa kedua netranya terbuka. Angel menatap sayu suaminya. Rasa laparnya tadi sudah dikalahkan oleh kantuk yang tiba-tiba menyerang.
“Eunghhh ....” Angel mulai meregangkan tubuhnya dan berusaha untuk duduk.
“Kalo ngantuk tidur lagi aja,” tutur Jerry sembari mengusap lengan istrinya.
Gadis itu menggeleng saat melihat bungkusan di tangan Jerry. “Laper,” ucapnya lirih.
“Nih, tapi udah nggak terlalu panas.” Suara Jerry terdengar khawatir.
Angel segera merampas sebungkus sate ayam pesanannya dari tangan sang suami. Aroma saus kacang bercampur kecap sudah menggelitik indera penciumannya.
“Ugh!” Angel tiba-tiba menjepit hidungnya.
“Eh? Kenapa?” tanya Jerry spontan.
“Lo bau asap!” pekik gadis itu sembari menjauhkan diri dari Jerry.
Bukannya merasa tersinggung, lelaki itu malah tertawa keras. Matanya menghilang jadi segaris selaras dengan lesung pipit yang semakin terlihat jelas. Tawa renyah sekidit husky itu sangat memanjakan telinga Angel.
“Sorry sorry, gue kan belum mandi.” Jerry bangkit dan menjauhkan diri dari sang istri.
“Ya udah, lo makan dulu, gue mandi sebentar,” lanjutnya sembari mengusap rambut Angel.
“Ish!! Tangan lo juga bau, Jer!” tepis gadis itu yang mengundang gelak tawa Jerry.
Setelah menghabiskan waktu selama 10 menit di kamar mandi, lelaki itu keluar dengan handuk putih melingkar di pinggangnya. Kegiatan makan Angel sempat terhenti karena ekor matanya menangkap pemandangan menakjubkan. Rambut basah dan perut seksi Jerry sengaja diumbar begitu saja.
“Nggak bisa pake baju di kamar mandi, ya?” protes Angel tanpa mengalihkan perhatiannya dari sate ayam yang tersisa dua tusuk.
“Kenapa? Takut kepancing?” goda Jerry dengan senyum jahilnya.
Lelaki itu berjalan melewati Angel, menarik asal kaos serta boxer dari lemari pakaiannya.
“Dih? Nggak nafsu!” tampik sang gadis.
“Ah, masa? Padahal waktu itu yang nyerang dulu-”
“STOP! Nggak usah dibahas!” Teriakan Angel menghentikan ucapan Jerry. Sepersekon kemudian, tawa keras kembali memenuhi kamar kos mereka.
Setelah selesai dengan tubuhnya, ia bergabung dengan Angel yang sedang duduk beralas karpet.
“Kayaknya gue nggak pesen sate pedes deh, tapi kok mukanya merah gitu?” Jerry masih berusaha menggoda istrinya.
“Jer, udah ah.”
“Hahaha! Lo lucu kalo lagi salting gini.” Kali ini bukan gombal, tapi fakta.
“Nggak lucu!” ketus Angel sembari melepas daging terakhir dari tusuknya.
Gadis itu segera merapikan alat makannya dan membuang bungkus sate ke tempat sampah, sebelum jerry melontarkan omelan. Ia kemudian beranjak untuk mencuci tangan, kaki, dan gosok gigi. Sedangkan, Jerry merapikan laptop beserta kabel sudah tidak diperlukan.
Suasana setelahnya sedikit berbeda dari malam sebelumnya. Angel yang biasanya membuka salah satu e-commerce untuk menghabiskan energi, kini malah bergabung dengan Jerry menatap plafon kamar mereka. Hal itu tentu mengundang perhatian sang suami.
Jerry memiringkan tubuhnya, berusaha membaca raut wajah Angel. “Lagi mikirin apa?” tanya lelaki itu.
“Hari ini gue ngelakuin dosa besar,” tutur Angel pelan, hingga teredam oleh suara decakan cicak di atas mereka.
“Dosa apa?”
Gadis itu menghela napas panjang, lalu menatap suaminya serius. “Gue tadi jalan-jalan ke mall, terus makan sama main di sana.”
Jerry tak mengerti maksud perkataan Angel. Apakah itu yang disebut dosa besar? Apakah kini makan dan main sudah tergolong dosa? Jika iya, dosa seperti apa?
“Makan sama main kan nggak dosa, Angel.”
Angel terdiam sejenak, lalu menatap wajah Jerry. “Dosa, Jer. Soalnya gue habisin hampir dua juta.”
Kedua netra Jerry yang tadinya menatap lembut Angel seketika membelalak. “What?! Lo beli apa aja? Banyak banget.”
“Iya kan, makanya gue bilang dosa besar. Gue juga bingung, kenapa gue beli makanan banyak banget ya?”
“Itu makanannya lo habisin semua?” tanya Jerry kaget. Namun, lebih mengagetkan karena Angel meresponnya dengan anggukan.
Lelaki itu kembali menutup mulutnya yang sempat terbuka lebar. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan berapa jumlah kalori yang sudah masuk ke tubuh Angel hari ini.
“Kalo lo dari mana aja? Beberapa hari ini selalu pulang malem.” Angel akhirnya menyuarakan pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Sebenarnya gengsi untuk menanyakan hal ini, tetapi waktunya sangat tepat.
“Udah dapet kerja ya?” tebak Angel.
Suaminya menggeleng pasrah. Lelaki itu menunduk sembari memainkan tali pengikat sarung bantal di hadapannya. Bibirnya mengerucut lucu. Jika Angel dalam mode tidak waras, ia pasti sudah memangsanya. Ah, tapi kali ini Angel masih sadar.
“Gue ngojek. Lumayan, hasilnya bisa buat beli bahan makanan sama sate tiap hari,” jawab Jerry pelan disertai candaan.
Beberapa detik tak mendapat jawaban, Jerry kembali menegakkan kepalanya. Kini netra cokelatnya menangkap ekspresi datar Angel.
“Kenapa? Lo malu?” tanya Jerry yang langsung mendapat gelengan dari Angel.
Gadis itu sersenyum kecil. “Lo keren, bisa kerja jadi apa pun.”
Kekehan Jerry terdengar setelah Angel menyelesaikan pujiannya. Tidak peduli pekerjaan apa yang harus lelaki itu lakukan, yang penting keringatnya menghasilkan pundi-pundi rupiah. Bahkan, ia rela menjadi suami kontrak hanya untuk mengisi saldo di rekeningnya.
“Gue pengen kerja lagi,” lirih Angel.
“Kemarin udah masukin beberapa lamaran, kan?” tanya Jerry memastikan.
Angel mengangguk. Ia juga bercerita mengenai lowongan sekretaris manajer di sebuah perusahaan besar yang tadi ditemukannya di salah satu web. Rasa tidak percaya diri menyerang sang gadis kala melihat posisi tersebut. Meski memiliki pengalaman menjadi sekretaris, rasanya tidak pantas menduduki posisi tersebut detelah ditendang dari perusahaan sebelumnya.
“Coba aja, Angel. Siapa tau Tuhan emang taruh lo di sana,” ujar sang suami.
“Tapi gue takut. Ini sekretaris manajer, Jer,” gerutu Angel dengan memberi penekanan pada kata manajer di kalimatnya.
Tangan Jerry meraih bahu istrinya, netranya mencoba untuk menyelami pikiran Angel. “Nggak ada salahnya nyoba, kan?” tanya lelaki itu dengan nada terlampau lembut.
Angel mengangguk samar. “Besok gue pikir-pikir lagi deh,” ucapnya sembari membalas tatap Jerry.
Keheningan kini menyelimuti keduanya, masih dengan netra yang saling beradu. Lampu kamar menyala terang, memudahkan Jerry dan Angel menyapa setiap pori wajah masing-masing. Senyum manis sang lelaki menarik Angel kembali pada titik sadarnya.
“Ekhem, gue mau tidur,” deham Angel sembari memiringkan tubuhnya membelakangi Jerry.
Jangan tanyakan bagaimana bentuk wajah gadis itu saat ini. Tentu semburat merah padam menguasai segala penjuru rupanya. Jerry terkekeh pelan melihat tingkah Angel. Ia kemudian beranjak dan mematikan sumber penerangan kamar itu.
Doa malam pengantar tidur adalah hal terakhir yang selalu mereka lakukan. Setidaknya, at the end of the day, mereka akan berakhir di amin yang sama.
@guanhengai, 2021