179.

Suasana dapur rumah Angel sungguh tak terkendali. Bercak kuning dari kuah opor sudah berceceran di atas lantai, pun asap kompor membatasi jarak pandang mereka. Meski gadis itu selalu bermusuhan dengan alat-alat penggorengan, kali ini ia ingin ikut serta dalam mempersiapkan hidangan untuk ulang tahun anaknya.

“Waduh, lo mau masak apa mau praktikun kimia, Ngel?” tanya Atuy sembari mengisi gelas kosongnya dengan air dingin.

Pletak!

“Awh, sakit bangsat!” Pekik lelaki itu saat sentilan Jerry mendarat sempurna di dahinya.

“Saaaaa saaaa saaaa mbluurr.”

Bocah tampan dalam gendongan Jerry mengikuti perkataan Atuy barusan. Tangannya melambai-lambai seakan berusaha meraih sang ibu yang berjarak beberapa meter. Lantas netra Angel dan Jerry membelalak sempurna. Atuy kembali mengaduh karena lengannya digeplak oleh Jerry.

“Jangan swearing di depan anak gue, Bego!” hardik lelaki berlesung pipit itu.

“Gogogogogo, papapapa gogogogo.”

Lagi-lagi suara mungil Ajen terdengar. Namun, setelahnya pekik Angel memenuhi dapur yang cukup luas tersebut. “Kamu sama aja, Mas! Yang bener kalo ngomong di depan Ajen!”

Tawa Mba Laras dan beberapa asisten rumah tangga di sana pun menggelegar. Sang tuan yang menjadi sasaran tatap hanya meringis, kemudian berlari kecil ke arah ruang tamu.

“JANGAN BAWA AJEN LARI-LARI, MAS!” Teriakan Angel kian teredam tembok karena lelaki yang membawa kabur anaknya sudah tertelan lorong rumah.

image


“Papa, Yogi boleh main sama dedek Ajen?” bocah tampan berusia delapan tahun yang sangat mirip dengan Mas Aryo memamerkan raut memohon sembari tangannya memainkan jemari kecil Ajen.

“Coba tanya ke Uncle Jerry, boleh nggak dedeknya diajak main?” jawab Mas Aryo.

Kemudian, Yogi langsung mengalihkan tatapnya pada Jerry. Kedua telapaknya menyatu di depan wajah seakan memohon restu. Sepersekon kemudian, senyum lebar langsung menghiasi wajah tampannya karena sang paman memberi anggukkan setuju.

“Mainnya di sekitar sini aja ya,” titah Jerry sembari mengoper anaknya ke lengan Yogi.

Setelah itu, dua anak kecil yang tadinya bergabung dengan pria dewasa berpindah ke karpet depan TV.

“Belajar ngurus adek tuh, Mas,” ucap Jerry ke Mas Aryo yang hanya ditanggapi kekehan kecil oleh sang lawan bicara.

Makanan ringan dan kopi di masing-masing gelas mereka perlahan berpindah ke lambung masing-masing. Kicau burung dari teras depan masih mendominasi sebelum salah satu dari mereka angkat suara.

“Lo beda banget sekarang, Jer!” Hargi memulai obrolan pagi mereka.

“Hm, auranya kayak lebih mantep gitu!” timpal Gavin.

“Masa sih? Kayaknya sama aja deh,” jawab si tampan seraya menyisir rambutnya demi menutup rasa malu.

“Heleh, heleh, heleh, kupingnya sampe merah gitu, Jer!” ejek Atuy.

Ojon, Marcell, dan Mas Aryo hanya meramaikan dengan tawa. Acara ejek-mengejek sang pemeran utama pun berlangsung hingga Bibi menyajikan kue yang baru saja dikeluarkan dari oven.

Aroma pandan bercampur cokelat terkuar begitu sepiring bolu mendarat di meja ruang tamu. Setelah Bibi kembali ke dapur, tangan Atuy dan Hargi berebut mengambil bagian paling besar.

“Ck, gue duluan!” protes Hargi ketika Atuy mengambil potongan yang ia incar.

“Dih? Buktinya, ini ada di tangan gue!” balas Atuy yang langsung melahap bolu tersebut.

Setelahnya, tawa Marcell terdengar karena Atuy terus-menerus meronta kepanasan. Mata rabun saja tahu jika bolu tadi masih panas, tetapi ia tetap memasukkannya ke mulut tanpa ditiup terlebih dahulu. Dasar Atuy!

“So, gimana Borneo? Asik, Jer?” tanya Ojon memulai obrolan yang lebih serius.

“Ya, not bad lah. Di sana nggak sepanas yang gue pikir, kok. Angel sama Ajen juga keliatannya enjoy-enjoy aja,” jawab jerry sembari memasukkan kacang bawang ke mulutnya.

“Makanan di sana gimana, Jer?” Kini Marcell pun ikut penasaran.

“Enak kok, enak banget malah! Gue paling suka nasi kuning Banjar. For real, beda banget sama nasi kuning di Jawa. Sambelnya tuh, ah nggak bisa dijelasin deh. Ikan di sana juga gede-gede banget, favorit gue sih Ikan Lais. Lo pada harus coba!”

Ketika seseorang bercerita banyak tanpa diminta, berarti hal tersebut benar-benar membekas untuknya. Begitu juga dengan Jerry. Belum ada setengah tahun dirinya tinggal di Kalimantan, namun sudah banyak makanan yang membuatnya jatuh cinta.

“Ah, ya! Ikan Lais emang enak banget sih, gue juga jarang nemuin di daerah lain.” Mas Aryo setuju dengan pendapat adik iparnya.

“Yang kemaren lo kasih gue juga delisioso mantapo, Jer!” Kini giliran Atuy yang bergabung dalam pembicaraan.

“Amplang?” tanya Gavin memastikan.

“Hooh,” jawab Atuy lagi sembari menikmati sisa bolu di atas piring.

“Terus, belum ada rencana tambah momongan, Jer?” Itu adalah pertanyaan Hargi. Sepertinya ia benar-benar kangen bermain dengan anak bayi.

“Hahaha, kok jadi ke momongan, sih? Tapi, nanti dulu deh. Punya anak bukan cuma bikin, ngelahirin, sama ngerayain ulang tahun. Liat tuh Mas Aryo, si Yogi aja baru dikasih adek pas umur delapan tahun.”

Pria yang merasa namanya disebut pun angkat kepala dan menggaruk tengkuknya. “Ya, gimana ya jelasinnya? Kalo jaraknya terlalu deket takut perhatiannya kebagi,” jawabnya.

Jerry langsung mengangguki perkataan Mas Aryo. “Anak di bawah umur lima tahun tuh masih lengket-lengketnya sama orang tua. Nanti, kalo mereka udah mulai bersosialisasi sama temen-temennya di luar keluarga, baru deh dikasih adek.”

Netra Gavin dan Hargi sudah berkaca-kaca mendengar perkataan Jerry yang lebih pantas menjadi pembuka seminar mengasuh anak.

“Ya, tapi di usia berapa pun, jangan sampe mereka ngerasa dibedain sih.” Ojon menepuk bahu Jerry dua kali.

image

“Hm, pasti,” jawab lelaki itu disertai senyuman manis.

“Hahaha, kita udah kayak bapak-bapak siaga banget, ya? Kalo kalian gimana? Belum mau join ke perusahaan gue?” tanya Mas Aryo pada kelima teman Jerry.

Yang ditanya justru saling melempar tatap dan melirik Marcell untuk mewakili jawaban mereka. “Pengen sih, Mas. Tapi tunggu tugas di kantor selesai deh.”

Mas Aryo hanya mengangguk-angguk, lalu berpindah menatap Gavin. “Kalo lo gimana, Vin? Masih betah ngurus perusa-”

Pertanyaan Mas Aryo terpotong karena ada tangan kecil yang hinggap di betisnya. Kala lelaki itu menunduk, ia mendapati Ajen sedang menatapnya lucu.

image

“Ajen mau apa? Hm?” tanya Mas Aryo pada bocah tampan yang hari ini berusia satu tahun. Tangannya terulur untuk mengangkat bocah tersebut, namun ditolak mentah-mentah oleh Ajen.

“Papapapa!” jawabnya tanpa melepas pelukan di betis Mas Aryo.

“Loh? Itu papanya Ajen,” pria berambut hitam legam itu menunjuk Jerry yang sedang mengerutkan dahinya.

“Hahaha! Anjir, masa sama papanya sendiri lupa?!” Tawa Atuy, Hargi, dan Gavin memenuhi sebagian besar ruang tamu.

“Uncle Jerry, Ajen pupup!” Yogi berjalan santai di belakang Ajen sembari menjepit hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.

“Hmm, udah gue duga. Kalo panggil-panggil gue pasti dia pup.”

Lelaki itu langsung beranjak dan mengambil Ajen. Wajahnya didekatkan pada celana Ajen dan rautnya berubah seketika.

“Ternyata anak Papa pupup, ya? Ayok ganti dulu, nanti main lagi sama Mas Yogi, ya?” tanya Jerry yang kemudian pamit pada teman-temannya dan membawa Ajen ke dalam kamar.


Dekorasi bernuansa putih-emas memenuhi ruang tamu rumah Angel. Ibu dan Mba Laras menempati tempat duduk di samping kue ulang tahun Ajen, sedangkan Anne dan Juan yang baru saja sampai dari Jakarta masih bersiap di kamar.

Saat semua sudah berkumpul, Hargi dan Atuy yang menawarkan diri sebagai MC pun memulai acara. Untung saja mereka masih mampu menempatkan diri, sehingga wibawa yang selama ini tertutup sedikit terlihat.

image

Detik berganti menjadi menit, pun menit bergulir menjadi jam. Seluruh rangkaian acara mulai dari doa pembuka, sambutan dari Jerry, dan ibadah pemberkatan ulang tahun sudah dilakukan. Kini saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Hargi dan Atuy, acara tiup lilin dan potong kue.

Netra bulat Ajen menatap bingung orang-orang yang sedang bernyanyi dan bertepuk tangan. Bocah itu tidak terlihat takut karena sudah biasa berada di keramaian. Setiap hari Jumat, Jerry selalu membawa Ajen ke kantor untuk melihat karyawan senam pagi. Mungkin si kecil menganggap acara hari ini sama dengan kegiatan papanya di kantor itu.

Saat lagu berhenti, Jerry mengarahkan wajah anaknya ke depan kue ulang tahun. Alih-alih meniup, justru tangan kecilnya hinggap di atas kue dan meninggalkan jejak di sana. Untung lilin yang masih menyala tidak mengenai telapak kecil itu.

“Eh, bukan gitu, Sayang. Nih, gini nih.” Angel mencontohkan cara meniup lilin pada Ajen.

Anak pintar itu langsung mengikuti instruksi Angel. Namun, api di atas lilin sama sekali tidak berberak karena yang Ajen keluarkan bukan udara, melainkan air liur.

Tawa gemas dari sanak saudara yang hadir pun terdengar seketika. Akhirnya, Jerry dan Angel yang meniup lilin pertama Ajen. Manusia mini dalam gendongan sang ayah itu ikut bertepuk tangan saat semua orang melakukannya.

“Eh, eh, eh... Punya Adek bukan yang ini, Sayang. Ada di belakang ya, nanti minta tolong Mama ambilin,” tutur Jerry saat tangan putranya hampir menyentuh kue yang sedang Angel potong.

“Sabar ya, Dek. Nanti Mama ambilin punya Adek,” timpal Angel seraya mencium kening anaknya. image


@guanhengai, 2022.