185.
Langit menggelap seiring tetangga berdatangan. Rhei bertugas untuk menyambut tamu dan menemani anak-anak bermain di halaman. Sama seperti biasanya, gadis itu selalu menyiapkan permen dan makanan ringan untuk dibagikan kepada anak-anak.
Ibadah perayaan ulang tahun pernikahan Pak Bun dan istrinya berjalan lancar. Ibu Pendeta dan beberapa pemuda gereja yang bertugas menjadi worship leader dan pemusik sedang berbincang santai dengan Rian. Dylan, Kayla, dan Lingga sibuk merapikan kursi plastik dan piring bekas kacang rebus.
“Mbak Rhei, main kembang api lagi dong!” rengek seorang anak laki-laki berkepala plontos.
“Waduh. Emang ada yang jual kembang api, ya? Kan ini bukan musim lebaran,” jawab Rhei seraya menaikkan salah satu alisnya.
Plak!
“Aishhhh! Sakit!” pekik gadis itu sembari menengok pelaku pemukulan bahunya.
Netranya menyalang tajam saat melihat Delvin berdiri di belakangnya dengan ekspresi tanpa rasa bersalah. Kemeja abu-abu dan celana panjang hitam membuat lelaki itu terlihat tampan. Namun, Rhei tetap tidak tertarik padanya.
“Lebay banget! Padahal gue mukulnya pelan,” tutur Delvin.
“Pelan? Tangan lo segede bagong, Delvin!” balas Rhei.
“Kak Rhei, ayok cari kembang api!” Kini gantian seorang gadis kecil berpipi gembul yang membujuk Rhei.
“Udah, cari aja. Coba ke deket Malioboro atau alun-alun, siapa tau ada,” saran Delvin yang membuat anak-anak di depan mereka bersorak setuju.
“Oke, oke. Siapa yang mau ikut beli kembang api?” tanya gadis itu yang tentu disambut heboh semua bocah kecil di sana.
Akhirnya, Rhei membawa enam anak di mobil Brio putihnya. Empat di belakang, dua di depan. Entah ada atau tidak penjual kembang api, yang penting Rhei sudah berhasil mencipta tawa gembira di wajah anak-anak. Dia hanya berharap tidak ada polisi yang memberhentikannya karena mobilnya sangat ramai.
Tiga puluh menit pencarian berbuah manis. Sebungkus kembang api kecil dan besar berhasil mereka bondong ke rumah Pak Bun. Sebelumnya, Rhei juga sudah meminta izin kepada Bapak pemilik kosnya itu dan orang tua anak-anak untuk mengajak mereka bermain kembang.
“Beli bisa, nyalain nggak bisa!” celetuk Dylan saat Rhei meminta tolong untuk menyalakan kembang api paling besar.
“Biar kalo kebakar, muka lo duluan yang kena,” jawab Rhei yang langsung ditabok oleh temannya itu.
“Kayla sama Lingga udah ke rumah sakit. Kale sama Gerald di dalem,” ucap Dylan.
“Wah! Kale udah di sini? Gue ajak ah!”
Belum sempat Dylan menjawab, gadis itu sudah hilang ditelan udara. Tungkainya berlari kencang memasuki rumah Pak Bun. Bukan hanya Dylan yang menganga, anak-anak yang sedang asik bermain kembang api pun ikut terdiam kala melihat Rhei berlari.
“Hai, temen-temen. Kenalin, ini Kale.”
Gadis cantik itu kembali dengan bocah kecil tampan di sampingnya. Anak-anak zaman sekarang berbeda dengan masa kecil Rhei. Dulu, Rhei akan sangat senang dan menyambut hangat teman barunya. Tetapi, anak-anak di hadapannya justru hanya menatap Kale sembari tersenyum malu.
“Hey. Masa temennya nggak disapa, sih? Ayok dong kenalan!” paksa Rhei.
“Halo, namaku Karin.” Gadis kecil yang tadi mengajak Rhei membeli kembang api pun memulai perkenalan, diikuti oleh teman-teman lainnya. Kale yang semula menundukkan kepala pun mulai berani menatap dan berbicara dengan teman-teman seusianya.
“Jiah! Bonding, Rhei?” goda Dylan.
“Bacot!” bisik Rhei.
“Mbak Rhei! Mau nyalain yang besar!” Karin mengulurkan kembang api berbentuk tabung panjang berwarna magenta.
“Dyl! Tolong!”
“Rhei, mending lo bawa Kale ke dalem dulu deh,” ucap Dylan.
“Lah? Jahat banget nggak diajak. Udah, cepet nyalain!” titah Rhei.
Dylan pun berdiri dengan raut yang tak mampu dijelaskan, kemudian mengambil kembang api di tangan Rhei. Semua anak bersorak, kecuali kale yang memang tidak tahu benda apa yang ada di tangan Dylan.
Rhei menarik anak-anak menjauh dari Dylan. Beberapa melawan, namun berhasil ditaklukkan oleh gadis itu. Kale berada tepat di depan tubuhnya, sedangkan anak-anak lain mengelilingi tubuh Rhei.
Korek di tangan Dylan mulai membakar sumbu kembang api. Warna orange kian menjalar mendekati ujung tabung tersebut. Tangan lelaki itu sudah mengarah ke angkasa, siap meluncurkan ledakan hebat nan indah.
Duarrrr
Ledakan pertama disambut sorak semangat anak-anak. Namun, Rhei merasa seseorang mencengkram dressnya. Dia pun menunduk dan melihat Kale sudah berbalik sambil memejamkan mata.
“It's okay, Kale. Kembang apinya jauh kok, aman,” tuturnya menenangkan.
Alih-alih tenang, bocah itu justru menggeleng dan menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Ledakan kedua segera menyusul. Wajah Kale kian merona dan bibirnya memucat. Rhei yang melihat hal tersebut pun berniat mengajak Kale untuk masuk ke dalam rumah Pak Bun.
Gadis itu belum sempat berbalik karena lelaki berkemeja hitam sudah lebih dulu menarik Kale. Wajah Gerald tidak kalah pucat dengan Kale. Lengan kekarnya langsung mengangkat tubuh Kale. Setelah kepalanya bersandar di bahu sang ayah, tangisnya pecah.
Bingung dan panik menyelimuti dada Rhei. Terlebih, Gerald yang tiba-tiba berlari ke rumahnya tanpa sapa. Di tengah kebingungannya, gadis itu dihampiri oleh Delvin yang langsung menarik lengannya.
“Kenapa?!?” tanyanya.
“Kale takut kembang api gede, Rhei!” jawab Delvin seraya membawa tubuh gadis itu sedikit berlari.
“Gue bawa lo biar bisa bantu Gerald tenangin Kale,” ucap Delvin lagi setelah melihat raut bingung Rhei.
Butuh hampir satu jam untuk menenangkan Kale dan membuatnya terlelap. Napasnya sempat sesak hingga Gerald harus memberinya inhaler. Sepanjang usaha menenangkan bocah tampan itu, rasa bersalah menimpa kepala dan dada Rhei. Terlalu banyak 'seandainya' yang berputar di benaknya.
“Nggak usah dipikirin, Kale emang sering kayak gini.”
Gerald ikut duduk di samping Rhei. Kini mereka menempatkan diri di ujung trampoline yang berada di halaman belakang rumah gerald. Namun, kepala Rhei tidak pernah sederhana. Semua berbelit seperti benang tak berujung.
“Sorry, Mas. Harusnya gue nggak ajak Kale main kembang api.” Intonasi Rhei sangat berbeda dari biasanya, pelan dan sedikit bergetar.
“Nggak apa-apa. Kamu kan tadi belum tau,” jawab Gerald seraya menepuk sisi kosong di sampingnya.
Rhei melepas flatshoesnya dan merangkak ke samping Gerald. Sekarang, kedua insan itu berbaring di tengah trampoline dengan langit berhias bintang sebagai atapnya.
“Sering nanganin kasus kayak gini, Rhei?” Gerald kembali bertanya karena Rhei tidak berbicara satu kata pun.
“Hm? Kasus apa, Mas?”
“Anak tantrum,” jawab Gerald seraya mengalihkan pandangannya ke wajah Rhei.
“Lumayan,” jawab gadis itu membalas tatap Gerald.
Jantung Rhei bekerja lebih keras dari biasanya selama beberapa detik, hingga dia sengaja memutus tatap mereka demi kesehatan benak dan batinnya. Kekeh pelan Gerald terdengar dari samping, namun gadis itu tidak berani menengok lagi.
“Ini salah satu alasan saya bawa Kale ke Psikolog, Rhei. Bukan cuma kembang api, Kale juga takut sama suara-suara keras lainnya. Petir, balon pecah, kaca pecah, bahkan barang jatuh pun kadang bikin dia nangis karena kaget. Itu juga yang bikin Kale susah sekolah. Jadi, saya terima kasih banget karena kamu mau ajak Kale belajar. At least dia ngerasain gimana rasanya belajar sama orang lain.”
Rhei tidak langsung menjawab. Netranya terfokus pada dua bintang yang bercahaya lebih terang dari bintang-bintang lainnya. Telinganya mendengar embus napas Gerald yang langsung terbawa angin malam. Tangannya bertaut di atas perut sebagai pelampiasan rasa grogi.
“Emang, Kale takut sama suara keras sejak kapan, Mas?” tanya gadis itu tanpa mengalihkan netranya.
“Sejak kecil. Waktu itu, Mama dan Omanya ajak dia ke pasar malam. Tiba-tiba, ada balon pecah di deket Kale. Dia langsung nangis kenceng banget sampe susah ditenangin.”
“Kalo karena kaget, harusnya enggak segitunya, Mas.”
“Iya, kayaknya dia emang phobia suara keras.”
Rhei menggeser fokus matanya dan menatap Gerald yang masih asik melihat bintang-bintang di langit. “Phobia itu selalu ada sebabnya, Mas.”
Gerald terdiam sejenak, lalu membalas tatapan Rhei. “Apa dugaan kamu, Rhei?”
“Kalo Kale kayak gitu sejak kecil, mungkin dia pernah atau sering denger suara keras pas bayi. Atau, suara itu udah dia denger sejak di dalem kandungnyan mamanya.”
Lima detik Gerald membeku sebelum melengos dan menghindari tatapan Rhei. Dia menghela napas panjang dan memejamkan matanya. “Semakin dingin, Rhei. Mau masuk ke dalem aja?” tanya lelaki itu.
Rhei mengangguk, lalu mengikuti Gerald menuju ruang tamu.
Cara Gerald menghindari tatapan dan langsung mengganti topik membuat Rhei sampai pada satu kesimpulan. Kale kecil sering mendengar keributan. Yang Rhei tidak tahu, apakah keributan itu bermula saat Kale sudah lahir ke dunia, atau bahkan sejak dia masih di dalam kandungan.
Pasalnya, Rhei pernah menangani klien yang mengaku phobia balon dan petir, hampir sama seperti Kale. Sebut saja Mawar. Mawar bercerita bahwa dadanya terasa sangat sesak kala mendengar suara keras. Usut punya usut, ketakutan itu sudah tertanam dalam dirinya sejak masih di dalam kandungan.
Pertengkaran orang tua Mawar menyebabkan ayahnya sering membentak, memaki, dan bersikap kasar kepada sang ibu. Hal tersebut tentu didengar oleh Mawar yang saat itu masih di dalam kandungan. Rasa takut yang dirasakan sang ibu juga dapat dirasakan oleh Mawar. Alhasil, rasa takut akan suara keras tertinggal di dalam diri Mawar.
Ini adalah salah satu alasan mengapa Rhei tetap menerima klien dewasa. Tidak banyak orang yang paham dan siap menjadi orang tua. Mereka pikir, kehidupan seorang anak dimulai saat mereka lahir. Padahal, mereka sudah dapat menyerap apa yang mereka alami sejak berada di dalam kandungan.
@guanhengai, 2022.