19.

The way to Aira's house was so long, but he didn't mind it. He smiled to himself. Finally, Airanya kembali.

Dekorasi bernuansa emas memenuhi halaman rumah sang gadis, mencolok netra Praha dengan kekaguman. Memang begitu house party seorang konglomerat, berbeda dengan pesta keluarganya yang hanya dimeriahi oleh organ tunggal.

Tamu undangan yang ramai membuat Praha berjalan sedikit menepi. Bagaimana tidak? Lelaki itu hanya berbalut jeans dan jaket murahan di antara manusia berdasi.

Mungkin ini yang dulu mama rasakan ketika bertemu keluarga papa, begitu batinnya.

Lelaki itu mendaratkan bokongnya di salah satu kursi kosong dekat jajaran makanan. Matanya terus menjelajahi tempat ini demi menemukan sosok yang sudah ia rindukan.

Beberapa kekehan kecil lolos dari mulutnya, melihat kebiasaan orang kaya yang tak jauh berbeda dengan dirinya. Mangkuk kecil di telapak kiri dengan sendok terhimpit elegan di antara ibu jari dan telunjuk kanan. Jangan lupakan logo-logo mahal yang bersarang dari ujung kepala hingga kaki.

Sebenarnya, Praha bingung dengan esensi pesta seperti ini. Apakah mereka datang pure untuk memberi selamat? Atau hanya sebagai ajang pamer harta dan jabatan?

A shake from the phone brought him back to the present. Tangannya ikut bergetar hebat kala menangkap satu nama yang tertera di layar.

Aira. Airanya menelepon.

Jarinya tremor seketika, bahkan dibutuhkan usaha lebih untuk menggeser layar ponselnya ke arah kanan. Sepersekon kemudian, benda persegi panjang itu sudah menempel di telinganya.

“Halo?” sapa Praha pada seseorang di seberang sana.

Kondisi jantung lelaki itu sudah tak keruan. Jika tidak terhalang tulang, daging, dan kulit, mungkin organ itu sudah meloncat tanpa arah.

“Aira?” sapanya lagi setelah beberapa waktu tak mendapat jawaban.

Gadis itu tetap hening. Bahkan, tak ada helaan napas terdengar dari seberang sana.

“Mas!”

Suara yang menyapa indra pendengaran sang tuan membuatnya terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya. Ternyata, bukan suara itu hal yang paling membuatnya terkejut. Sosok cantik di balik pilar teras mampu mencekat napas Praha.

“Jesus, if it's just in my dream, please wake me up!” batinnya terus meronta, meminta bukti bahwa ini adalah nyata.

Waves of her hands instantly grabbing Praha's attention while his finger turn their calls off. Gadis itu berjalan mendekati Praha. His eyes locked with Aira's as she raised her eyebrows. Keningnya sedikit mengerut saat lelakinya memberi respon tak normal.

He immediately ran towards the girl whom he’d recognized as his girlfriend. Praha pulled his girl into a big hearty hug a moment their body one inch away. Forgotten his unhealed wound, forgotten he was crying over Aira, forgotten she almost made him cry (again) between the crowd.

Ini nyata. Praha bisa merasakan hangatnya peluk Aira dan lembutnya surai gadis itu. Ini bukan mimpi.

“Aira, kamu ke mana aja? Aku kangen!” ujarnya setelah melepas pelukan erat tadi.

Sang gadis menatapnya bingung. Berkali-kali matanya berkedip hanya untuk memastikan lelaki di depannya dalam kondisi normal. “Aneh! Harusnya aku yang nanya gitu. Mama sama Papa udah mau potong kue, kamu baru dateng.”

Tatap bingung berpindah ke netra Praha. Tengkuknya digaruk pelan seraya otaknya berusaha mencerna perkataan Aira. Mama dan Papa potong kue?

Ah! Salah satu karangan bunga menjawab pertanyaan Praha. Pesta ini adalah peringatan hari ulang tahun pernikahan mertuanya. Belum sempat sepatah kata meluncur dari mulutnya, pekik anak kecil menyita perhatian dua manusia dewasa itu.

“Mama! Mau esklim!”

Sebiji anak laki-laki dengan rambut ikal mengulurkan tangannya ke arah Aira. Praha yang melihat kejadian itu hanya diam dan berperang dengan benaknya sendiri.

Itu anak Aira? Masa sih? Bukan ah! Tapi kok manggilnya mama?

“Mas?”

Panggilan aneh itu kembali terdengar. Terlalu banyak pertanyaan di otak Praha saat ini. Ia merasa dikenal banyak orang tetapi asing dengan diri sendiri. Apakah dirinya mengalami amnesia? Demi Tuhan, ini tidak lucu.

“Mas! Itu anakmu minta ice cream, anterin dulu sana!”

Hah? Anak? Anak gue? Ini anak gue? Sejak kapan?

Telapak berhias jam tangan itu langsung ditarik oleh sosok kecil yang sedari tadi menggerutu. Sembari berjalan, bocah itu masih mengomel karena sang ayah terlalu lama menuruti permintaannya.

“Kata Papa boyeh mam esklim hali ini!”

Tenda dengan jajaran mangkuk ice cream sudah terlihat jelas di depan lelaki itu, namun otaknya masih sibuk mencari benang merah dari kejadian yang baru saja ia alami.

Aira memanggilnya 'Mas'. Ada anak kecil yang mengaku sebagai anaknya.

Aneh.

“Papa! Gendong!” Mangkuk berisi ice cream cokelat sudah bertengger di telapak kecilnya saat kedua lengan itu terulur ke arah Praha.

“Papa!!” Tak kunjung mendapat balasan, si kecil keriwil itu menarik ujung kaosnya.

The mini one just kept looking at him with his pair of infamous puppy eyes that everyone would eventually fall for. Tidak tega melihatnya, Praha langsung mengambil alih mangkuk ice cream cokelat itu dan membopong si bocah.

Di luar dugaan Praha, sosok kecil itu langsung memeluk lehernya ketika sampai di pelukan. “Papa cemalem nggak puyang? Mama cali-cali loh,” tuturnya dengan nada kesal tapi imut.


@guanhengai, 2021.