191.

Brakkk

Pintu kamar yang semula terkunci kini sudah terbuka sempurna dengan sosok cantik berdiri di depannya. Wajahnya penuh dengan rona merah, hidung dan matanya sudah terlalu sembab karena menangis.

Berjam-jam lamanya gadis itu merenungi pikirannya yang kacau. Fakta yang baru saja ia ketahui sangat memporak-porandakan perasaannya. Tidak, ia tidak benar-benar membenci anaknya. Ia hanya merasa sesak karena buah hatinya hadir di saat yang tidak tepat.

Angel masih membiarkan air matanya mengalir deras. Rentetan pesan dari Jerry membuat perasaannya semakin kacau. Mengapa rasanya begitu sakit?

Gadis itu melihat punggung suaminya bergetar di atas sofa. Ponsel yang masih menyala sudah tergeletak begitu saja di lantai. Isaknya semakin terdengar saat kaki sang gadis mendekat.

Jerry menangis. Lelaki yang selalu menguatkannya kini berurai air mata. Segitu kejamnya kah perkataan Angel tadi? Hahaha, pertanyaan macam apa itu? Tentu sangat kejam, kelewat kejam.

Bughh

Kedua tangan mungil Angel berusaha mengungkung Jerry dalam dekapannya. Ia merasa bahu suaminya semakin bergetar. Pergelangannya di depan sana sudah mulai basah karena tetesan air mata.

“Jer, maaf,” tutur Angel dengan susah payah.

Kini dirinya juga sedang berusaha menahan tangis. Ia meringis saat Jerry dengan jelas menyuarakan isakannya. Terdengar sangat pilu dan menyakitkan.

“Jer, maafin gue.”

Tak mendapat jawaban untuk kedua kalinya, Angel memilih untuk diam dan tetap memeluk suaminya. Ini hal yang ia pelajari dari Jerry, menenangkan tanpa kata. Nyatanya, pelukan hangat dan kehadiran seseorang adalah hal yang dirinya butuhkan. Kini ia tahu Jerry sama sepertinya, act of service is their love language.

Cukup lama mereka berada dalam posisi tersebut. Sama-sama merapikan sesuatu yang sempat tercecer.

Menelan sisa emosinya, Jerry perlahan menetralkan napas dan menenangkan pikiran. Telapak Angel yang masih berusaha menyatu di depan dadanya digenggam erat. Ibu jarinya mengusap punggung tangan sang istri. Jerry tahu Angel juga butuh kekuatan. Mereka sama-sama kalut.

Lelaki itu menghela napas dan berbalik perlahan. Wajah kacau istrinya adalah pemandangan pertama yang ia dapatkan di sana. Entah seberapa buruk keadaan Angel tadi. Jerry menyayangkan dirinya yang ikut terbawa emosi dan tidak menenangkan gadis itu.

“Makasih,” gumam Jerry.

Angel yang kembali mendengar suara suaminya pun kembali dalam kesadaran. Air matanya mengalir deras kala Jerry menatapnya lembut.

“Kenapa lo nggak marah sama gue sih, Jer?” batinnya berteriak. Tatapan Jerry yang seperti itu justru membuatnya semakin merasa bersalah.

“Maafff ....” Akhirnya gadis itu berhambur dalam pelukan sang suami.

“Gue juga minta maaf kalo kata-kata gue nyakitin lo.” Suara rendah namun halus itu memenuhi pendengaran Angel. Sang gadis menggeleng cepat. Tidak. Jerry tidak menyakitinya.

Ingin rasanya berkata terima kasih karena Jerry membuat hatinya sedikit terbuka untuk anak mereka. Namun, tangisnya tiba-tiba tak terkontrol dan membuat tenggorokan gadis itu tercekat.

“Jangan pernah tanya alesan dia ada di sini lagi ya,” tutur Jerry sembari membelai surai Angel penuh kasih.

“Kita yang bikin dia ada di sini, Angel,” lanjutnya.

Lelaki itu mendorong pelan bahu sang istri. Hamparan lampu ibu kota di belakang Angel membuat lelaki itu merasa tengah berbincang dengan seorang malaikat di singgasananya.

“Angel, coba liat gue dulu.” Jerry memaksa istrinya membalas tatapnya.

“Gue nggak janji semua bakal mulus. Nggak ada proses tanpa sakit dan pengorbanan. Tapi, gue janji bakal selalu ada buat lo. Mau kan berproses bareng gue? Sama dedek bayi juga.” Jerry menghaluskan nada bicaranya dan menyibak anak rambut Angel ke belakang telinganya.

Lelaki itu sadar posisinya sebagai kepala rumah tangga. Ia harus menjadi nakhoda untuk Angel saat ini. Jerry harus mempertahankan anaknya, tentu dengan persetujuan sang istri.

Angel hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Sejujurnya, fokus gadis itu sudah buyar saat Jerry menatapnya. Lelaki itu tetap terlihat tampan meski bekas air mata masih memenuhi rupanya. Ah, bahkan ia terlihat sempurna dengan telinganya yang memerah.

“Angel? Kok diem?” Panggilan Jerry menarik paksa kesadarannya.

“Ck, lo curang!” rajuk Angel.

“Hah? Kenapa?” tanya jerry penuh kebingungan.

“Masa habis nangis tetep ganteng? Gue kayak badut! Huaaaa ....” Tangisan Angel kembali berkoar. Kini lebih terdengar seperti rengekan anak kecil yang tidak diberi permen.

“Eh eh eh? Kok nangis lagi?”

Jerry mengangkat tubuh Angel agar duduk menyamping di pangkuannya. Posisi mereka saat ini benar-benar seperti seorang kakak yang sedang membujuk adik kecilnya.

Pasangan aneh.


@guanhengai, 2021