197.

Perjalanan pulang dari kantor Jerry hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Dekat memang, terlalu dekat untuk duduk di bangku penumpang dengan seatbelt menghiasi dada bidangnya. Namun, ia tetap bepergian dengan mobil agar Dave tidak memakan gaji buta.

“Dave, mobilnya bawa dulu aja. Besok pagi kita pergi sebelum subuh,” tutur Jerry pada asisten sekaligus drivernya sebelum si tampan itu menutup pintu.

Pria lain di dalam mobil pun membuka jendela dan melambai pada sang tuan. Setelah mobil Land Cruiser putih itu meninggalkan halaman rumahnya, Jerry pun masuk ke dalam dan mencari keberadaan Angel.

Beruntung ia tak perlu menyapa setiap sudut rumah lantai dua itu untuk menemukan dua manusia tersayangnya. Bocah tampan dengan kaos kutang dan celana dalam sedang asik makan buah naga di ruang keluarga, sedangkan sang ibu menjaganya sembari menyelesaikan kerajinan tangan.

“Sayang,” panggil Jerry setelah berjarak satu meter di samping Angel.

“Mas, tumben pulang cepet?”

Ia mendudukkan dirinya di samping sang istri dan memeluk pinggang gadis itu. “Hm, kerjaannya enggak terlalu banyak,” jawab Jerry disertai kecupan di pipi Angel.

“Itu yang kemarin kamu ceritain? Yang dibikin sama ibu-ibu?” tanya lelaki itu sembari melihat kristik di tangan istrinya.

“Iya, tapi baru setengah nih,” jawab Angel tanpa melepas jarum dari tangan kanannya.

“Anakmu disapa dulu, nanti dia ngambe-”

Perkataan Angel terputus kala pekik si tampan cilik menggelegar. “Papa!!!” Langkah sempoyongan membawa tubuh kecil Ajen menuju kaki Jerry.

“Hey, Jagoan! Jalannya pelan-pelan aja, Sayang. Nanti Ajen jatuh, terus kakinya luka lagi,” tutur sang ayah saat bocah itu sudah hinggap di peluknya.

“Kka?” mulut kecilnya meniru ucapan Jerry.

“Iya, luka, berdarah. Sakit, kan?”

“Tittt!” Telapak kecilnya mengusap lututnya, menunjukkan titik di mana ia pernah merasakan sakit karena terjungkal di taman beberapa waktu silam.

Angel tertawa kecil dan memberi cubitan pelan di pipi gembul Ajen saat rautnya berubah menjadi sendu. Ia ingat bagaimana anak kecil itu menangis karena lututnya terluka.

Bugh

Angel yang hanya memperhatikan Jerry dan anaknya dari pinggir taman pun langsung beranjak dan berlari ke arah Ajen. Namun, langkahnya terhenti saat sang suami memberi kode untuk tak berbicara dan hanya melihat Ajen saat terjatuh.

Anak kecil itu menatap kedua orang tuanya dengan mata yang sudah berair. Jerry perlahan menurunkan posisi tubuhnya agar berhadapan dengan Ajen yang masih terduduk di aspal. Netranya memindai setiap lekuk tubuh sang anak untuk memastikan tak ada luka sedikit pun. Ternyata, kejadian tadi meninggalkan sedikit goresan di lutut kecil putranya.

“Sayang, sini,” tuturnya sembari mengulurkan tangan pada Ajen.

Setelah Jerry berbicara, bocah itu berdiri dan langsung berlari ke pelukan sang ayah. Tangisnya pecah kala tubuh mungilnya mendarat sempurna di dada Jerry. Wajah tampannya memerah karena tangis yang begitu kencang.

“Sakit, ya? Nggak apa-apa, Ajen nangis dulu. Nanti, pas sampai rumah, kita obatin bareng-bareng.” Begitu kalimat Jerry dengan telapak yang masih setia mengusap punggung Ajen.

Angel sudah berlutut di belakang suaminya, ia tersenyum dan mendaratkan tangannya di puncak surai Ajen. “Iya, nanti kita usir sakitnya bareng-bareng,” ucap gadis itu.

“Mama!!” Bocah berusia delapan belas bulan itu mengulurkan telapak kecil berisi mobil-mobilan ke sang ibu. Lalu, Angel langsung meletakkan kerjaannya di samping dan menadahkan telapaknya di depan wajah Ajen.

“Mobilnya Adek mau dikasih ke Mama?” tanya Angel lembut.

“Ngggg!” Mobil kecil di genggamannya kini tersembunyi di balik punggung, menghindari telapak Angel yang terbuka.

“Ini mobilnya Adek, Mama. Adek cuma mau pamer,” Kata Jerry mencoba mengartikan ucapan Ajen.

Angel pun mengangguk dan mencium pipi anaknya. “Oh, mobilnya Adek. Bagus ya mobilnya? Siapa sih yang beliin?”

Telunjuk Ajen menunjuk wajah Jerry, “Papa!”

Lantas sang ayah memasukkan telunjuk mini itu ke dalam mulutnya. Si kecil yang kaget pun berteriak dan mencoba melepaskan diri dari perangkap. Saat jarinya sudah berhasil keluar, ia membuang mobil di telapak sebelahnya dan mengurung telunjuknya agar tidak dimakan lagi oleh Jerry.

Tawa sepasang suami istri yang melihat tingkah anak mereka pun memenuhi ruang keluarga di sore yang hangat itu.


Malamnya, mereka sudah menyelesaikan kegiatan di meja makan. Lenting piring kosong berpadu sendok dan garpu kotor masih terdengar karena Angel sedang sibuk merapikan bekas alat makan mereka.

“Sayang, sini aku aja,” tawar Jerry pada sang istrinya yang sudah siap mengangkat piring dari meja.

“Nggak usah, Mas. Kamu ajak si Adek ke balkon aja, biar dia cepet ngantuk,” saran Angel yang kemudian diangguki sang suami.

“Ya udah, aku duluan sama Ajen, ya?” Kini lelaki itu mendekatkan diri pada Angel dan mengecup keningnya.

Tak perlu jawaban dari sang gadis, Jerry langsung melepas belt Ajen dan mengangkatnya dari baby chair. Anak kecil itu kemudian meronta minta diturunkan dari gendongan.

“Oh, Adek mau jalan sendiri?” tanya Jerry yang tak direspon Ajen.

Setelah tubuhnya lepas dari lengan kekar sang ayah, bayi itu langsung berlari ke arah tangga yang melingkar menuju lantai dua.

Ajen sudah tahu tujuan ayahnya karena Jerry sering mengajaknya ke balkon setelah makan malam. Di lantai satu hanya ada dapur, ruang tamu, ruang keluarga, dan beberapa kamar asisten rumah tangga. Sedangkan, kamar utama dan ruang kerja Jerry berada di lantai atas.

Lelaki itu setia menggenggam tangan putranya sembari menunggu kaki kecilnya melangkah satu demi satu anak tangga. Jika Jerry memiliki kesabaran terbatas, ia akan langsung menarik Ajen ke dalam gendongan dan membawa bocah itu menuju lantai atas. Namun, Jerry adalah lelaki dengan kesabaran cukup panjang. Ia dengan setia menemani dan menunggu anaknya melewati berpuluh anak tangga.

“Ngggg!” gumam si kecil sembari mengulurkan kedua tangannya.

“Adek capek? Mau Papa gendong atau istirahat dulu?” tanya Jerry setelah berhenti dan berjongkok di hadapan Ajen.

“Yong!” jawabnya seraya memeluk leher Jerry.

“Oke! Ayok Papa gendong.”

Lengan kekar lelaki itu pun mengangkat anaknya dan menahan bokong Ajen agar tidak merosot. Langkahnya kemudian bersambung untuk menghabiskan anak tangga setelahnya. Kala sampai di lantai atas, Jerry sempat berhenti dan menatap anak dalam gendongannya.

“Adek mau tetep Papa gendong atau jalan sendiri?” tanya lelaki itu.

Tangan kecil Ajen semakin mempererat pelukannya di leher sang ayah, pertanda ia tidak mau turun dari sana. Sepertinya, si Adek sudah lelah karena melewati begitu banyak anak tangga.

Dinding berisi foto-foto Ajen sejak bayi mengiringi langkah keduanya. Mereka baru saja melewati kamar Jerry-Angel yang terhubung dengan kamar Ajen. Lima langkah setelahnya, mereka disambut oleh pintu gelap dengan tirai berwarna cream. Siapa pun yang masuk ke dalam sana tak akan mendengar keributan di luar, begitu pula sebaliknya. Itu adalah ruang musik berisi drum, keyboard, gitar, dan beberapa mic.

Meski tak terlalu pandai, Angel dan Jerry sering menggunakan fasilitas tersebut. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu setelah Ajen tertidur di sana. Tak jarang keduanya menggunakan ruang musik untuk renungan malam, disusul melantunkan lagu rohani.

Beberapa meter di depan terlihat pintu kayu bertuliskan nama Jerry. Itu adalah ruang kerja sang tuan yang digunakan saat menerima dokumen penting di luar kantor. Dari semua ruang di rumah ini, ruang tersebut yang paling jarang tersentuh. Bahkan, gudang di ujung rumah mereka lebih sering dikunjungi dari pada ruang kerja Jerry.

“Kalau aku di rumah, waktuku sepenuhnya buat kamu sama Ajen. Aku bakal ke ruang kerja kalau bener-bener urgent dan nggak bisa ditunda,” tutur lelaki itu saat ditanya perihal ruang kerjanya.

Jerry dan travel sizenya akan segera sampai di tempat tujuan. Ruang keluarga dengan sofa, karpet berbulu, dan playmate Ajen adalah sudut terakhir yang akan mereka lewati. Jerry dan Angel memang sengaja tidak meletakkan televisi di ruang keluarga. Mereka ingin membiasakan Ajen untuk membaca buku atau mendengarkan lagu anak-anak di waktu senggang. Sesekali Angel menayangkan tontonan bayi, namun sepertinya Ajen tidak tertarik dengan acara tersebut.

Wushhh

Baru saja tangan Jerry menggeser satu pintu, udara dingin sudah terasa menusuk kulit. Ternyata, angin malam ini lebih kencang dari biasanya. Kain tebal yang terlipat di atas sofa segera diraihnya, kemudian digunakan untuk melilit tubuh Ajen tanpa membuatnya sesak.

“Adek pake ini ya, biar nanti nggak kedinginan. Kayak gini udah nyaman?” tanya Jerry yang hanya direspon tatap imut anaknya. Setelah itu, ia segera membawa Ajen ke balkon lantai dua.

Jika kerlap-kerlip lampu dan lalu lalang kendaraan yang kalian harapkan, maka jangan kecewa karena mereka hanya dapat melihat kolam berenang di halaman belakang dan perkebunan kelapa sawit di luar pagar rumah.

Tempat tinggal Jerry merupakan rumah paling ujung dan yang terbesar di komplek perusahaan ini. Sebenarnya, ukuran rumah ini tidak berbeda jauh dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, kala ia masih menjabat sebagai Kepala Tata Usaha. Hanya ruang musik dan alat-alat gym yang membedakannya. Mas Aryo memang memberi fasilitas tambahan sebagai rasa terima kasih karena Jerry bersedia menjadi Kepala Kebun.

Ya, lelaki itu kini memegang kendali atas beberapa perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hal tersebut juga yang membuatnya lebih jarang di rumah dan menitipkan anak-istrinya ke Beler aka Brandon. Diskusi Jerry dan Angel cukup panjang sebelumnya, hingga mereka sempat perang dingin selama beberapa hari. Namun, keduanya sadar bukan hanya mereka yang berada di dalam rumah dan keluarga ini. Ada Ajen yang seharusnya menjadi fokus Jerry dan Angel saat ini.

“Adek liatin apa?” tanya lelaki itu saat mendapati anaknya melamun.

Si kecil yang diberi pertanyaan justru menjatuhkan kepalanya di dada sang ayah. Sama seperti Angel, Ajen pun memilih dada Jerry sebagai termpat favorit.

“Gelap ya, Nak?” tanya Jerry lagi.

Penerangan di balkon memang lebih minim dibandingkan spot lain yang berada dalam jarak pandang mereka. Hanya ada dua lampu warm white di tiang kanan dan kiri. Bahkan, lampu kolam yang sedang tidak digunakan saja mampu menyinari daun yang gugur dari pohon dan mengapung di atasnya.

“Ini malam, Sayang. Makanya gelap. Besok pagi, pas ada matahari, pasti terang lagi.” Lelaki itu menjelaskan seakan-akan Ajen mengerti kalimatnya.

“Hidup kita juga kayak siang dan malam, Nak. Gelap sama terang selalu berdampingan. Kalo hari ini Ajen sakit, besok sembuh. Kalo hari ini Ajen bahagia, bisa jadi besok ada sedih.” Ia tetap melanjutkan kalimatnya meski putranya tidak merespon.

“Kadang, pas Ajen lagi bahagia, bisa aja rasa cemas juga ikut mampir. Sama kayak mendung di siang hari. Begitu juga pas Ajen lagi sedih, bisa jadi ada sedikit tawa yang singgah. Sama kayak kilat di malam hari.”

“Tapi, Ajen harus inget kalo Ajen punya rumah. Entah itu malam, siang, lagi hujan, atau lagi terik, Ajen bebas buat mampir. Rumah Ajen itu Mama sama Papa. Nanti, kalau Ajen udah besar dan punya pasangan, rumah Ajen bertambah satu deh.”

Setelah Jerry menyelesaikan kalimatnya, terlihat sedikit cahaya dari langit. Sepertinya hujan akan segera turun. Lelaki itu pun mengusap kepala sang putra yang masih bersandar di dadanya. Ia melihat jemari Ajen yang lolos dari kain tebal sedang meremas kaos bagian lengannya.

“Adek udah kedinginan? Kita masuk sekarang, ya? Nanti Mama nyariin.”

Lelaki itu pun membawa bocah kecil dalam gendongannya kembali ke dalam rumah. Meski kini anaknya belum mengerti kalimat yang baru saja ia ucapkan, Jerry berharap perkataannya tetap terekam di otak Ajen.

Jerry ingin anaknya tahu bahwa ia dan Angel selalu ada untuk Ajen. Meski nanti hujan dan kilat menghampiri, Ajen tetap punya peluk untuk kembali.


@guanhengai, 2022.