225.

Jerry dengan kemeja hitam yang sudah acak-acakan berlari tanpa melepas sepatunya. Lelaki itu menangkap sosok Brandon sedang berdiri di depan pintu kamarnya dan Ajen dalam gendongan Bibi. Tanpa pikir panjang, kedua tungkai sang tuan mendekat ke arah mereka.

Belum sempat sapanya terlontar, rengek Ajen terdengar mendahuluinya. “Papa! Ndong!” Bocah itu mengulurkan kedua tangan yang langsung disambut oleh sang ayah.

“Kenapa istri saya bisa jatuh?” Jerry menagih penjelasan pada dua manusia dewasa di hadapannya. Yang ditanya justru saling tatap dan terlihat enggan menjawab.

Lelaki itu pun menghela napas kasar. “Kalian kembali ke bawah saja. Biar saya yang jaga Angel,” putusnya sebelum telapak berurat itu bergerak untuk membuka pintu kamar.

“Ehm, Pak!” panggil Brandon dengan suara yang jauh dari kata tegas.

“Kenapa lagi?”

“I-ini punya Ibu.” Tangannya terlihat bergetar kala menyerahkan barang milik Angel yang tadi ikut jatuh bersama sang gadis. Jerry pun meraih barang tersebut dan mendorong pintu kamar hingga terlihat dinding abu-abu di dalam sana.

image

Ia memperlambat geraknya dan memberi kode pada Ajen agar tidak bersuara karena takut membangunkan Angel. Gadis itu berbaring di kamar dengan infus di tangan kirinya. Jerry memang sempat memanggil dokter untuk saat ia masih dalam perjalanan tadi.

Lelaki itu menurunkan putranya sebelum menarik kursi dari meja rias ke samping ranjang. Ia berbisik pada Ajen untuk mengecup lembut kening mamanya setelah dirinya melakukan hal yang sama. “Adek tadi ikut bantuin Bibi sama Om Beler bangunin Mama?” tanya Jerry masih dengan suara yang hampir tak terdengar.

Si kecil dalam pangkuannya mengangguk. “Tapi Mama ndak mau banun,” jawab Ajen dengan aksennya yang belum terlalu fasih. (Translate: tapi Mama nggak mau bangun)

Jerry lantas membelai surai sang anak, lalu mengecup pipi gembulnya. “It's okay, Mama cuma kecapean, Sayang. Cairan ini yang bantu kasih energi ke tubuh Mama. Sebentar lagi, Mamanya Adek pasti bangun.”

Jemari kecil putranya memainkan kancing teratas di kemeja Jerry yang sudah terlepas. Rautnya tiba-tiba bergeser menjadi sendu. “Mama tapek kejal-kejal Adek ya, Papa? Nti Adek ndak lali lagi, dandii!” (Translate: Mama capek kejar-kejar Adek ya, Papa? Nanti Adek nggak lari lagi, janji!)

Lelaki yang jauh lebih dewasa itu pun tersenyum, kemudian menggenggam telapak mungil anaknya. “Adek masih boleh lari, tapi nggak ajak Mama dulu, nggak apa-apa kan? Nanti lari-larinya sama Papa aja,” jawab Jerry yang langsung mendapat anguk lucu Ajen.

Setelah lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, rintih kecil dari gadis yang sedang terbaring di depan mereka pun terdengar. Baik Ajen maupun Jerry sama-sama bangkit dari tempat duduk dan menghampiri Angel.

Ajen kecil langsung berlari dan memanjat sisi kaki kasur agar dapat melihat mamanya dari jarak yang lebih dekat. Tangan kecilnya mengusap lengan Angel meski tak selembut usapan sang ayah.

“Mama,” panggil Ajen saat kelopak mamanya mulai terbuka.

Alis gadis itu berkerut seiring pandangannya kian terlihat jelas. Angel sempat kembali menutup matanya untuk menyesuaikan banyaknya berkas cahaya yang ditangkap korneanya. Hal pertama yang ia lihat adalah atap putih dan lampu kamar yang cukup terang. Juga suara Ajen yang terus-menerus memanggilnya mulai memenuhi gendang telinga.

Pandangannya kemudian bergeser ke samping kanan, bagian ranjang tempat anaknya duduk sembari memamerkan raut khawatir. “I'm okay, Boy,” tutur Angel dengan suara serak seraya mengulurkan tangannya.

Ajen pun masuk ke peluk sang ibu, lalu membebankan tubuhnya di dada Angel. Lengan kecilnya mengungkung leher gadis itu seakan tak rela melepas barang sedetik. Namun, tiba-tiba tubuhnya melayang dan kaitan di leher Angel terlepas begitu saja.

“Nggg! Papa! Adek macih peyuk Mama!” protes Ajen saat mengetahui kelakuan papanya. (Translate: Papa! Adek masih peluk Mama!)

“Gantian, Dek,” jawab Jerry setelah meletakkan anaknya di samping tubuh Angel. Lelaki itu kemudian berganti memeluk istrinya yang masih berbaring, lalu mengecup pipi Angel.

“I love you,” bisik Jerry seraya membelai lembut perut Angel.

“M-mas?” Lelaki itu merasakan suara Angel bergetar.

“Kamu mau Ajen tetep di sini?” tanya Jerry masih dengan berbisik. Angel pun menggeleng pelan, ia ingin menangis tanpa dilihat putranya.

Jerry kemudian bangkit lagi dan menatap bocah kecil yang duduk di samping Angel. Lengan kekarnya terulur dan disambut baik oleh Ajen. “Adek, kalau Adek sekarang main sama Bibi sama Om Beler dulu, mau nggak?” bisik Jerry, berusaha agar tidak terdengar mengusir.

“You wanna tell Mama a seclet, light?” Si kecil bertanya dengan wajah jahilnya. (Translate: you wanna tell Mama a secret, right?)

“Yah, ketauan deh,” jawab Jerry memasang wajah kecewa.

“Hahaha! Is ote, Papa. Adek maen cama Bibi cama Om Belel duyu. Nti mayem Adek bobok cama Mama!” (Translate: It's okay, Papa. Adek main sama Bibi sama On Beler dulu. Nanti malem Adek bobok sama Mama!)

Untuk kali ini, Jerry mengangguk dan mengizinkan anaknya tidur bersama mereka. Ia tahu Ajen juga khawatir dengan kondisi Angel yang tiba-tiba ngedrop. Lagi pula, momen kebersamaan nanti malam merupakan kesempatan bagi keduanya menjelaskan pada Ajen situasi yang sebenarnya terjadi.

Kaki kecil putra sulung mereka melangkah pasti menuju pintu kamar. Telapaknya berusaha meraih gagang pintu yang jauh berada di atas kepalanya. Beruntung Ajen sudah sering mondar-mandir kamar mereka, sehingga ia tidak terlalu kesulitan untuk membuka pintunya.

“Paipai!!!” tutur Ajen sembari melongok dari celah pintu yang sebentar lagi tertutup dan melambaikan tangannya. Sepasang suami istri di dalam kamar itu pun tersenyum dan membalas lambaian tangan Ajen.

Setelah bunyi ceklek pintu terdengar, Jerry mengitari ranjang dan mengisi tempat yang tadi Ajen gunakan. Kemeja, celana bahan, serta kaos kaki masih menempel di tubuh kekar sang tuan. Namun, tekstil-tekstil itu berhasil diabaikan karena kini isak Angel terdengar memenuhi dada bidangnya.

“It's okay, nangis aja. Adek udah di bawah kok,” kata Jerry seraya mengusap punggung Angel.

“A-aku takut banget, M-mass...” Tangis sang istri terdengar seperti anak kecil yang tak diberi ice cream oleh orang tuanya.

“Iya, iya... Ngak apa-apa, kamu pasti kaget banget, ya? Sampe pingsan gini.” jemarinya mulai menyingkirkan helai demi helai rambut yang menutupi wajah cantik Angel, lalu mengusap air mata gadisnya yang masih mengalir deras.

“Tapi dia u-udah di sini, Mas,” tutur Angel lagi. Peluknya semakin erat mengungkung tubuh sang tuan.

Jerry sedikit mengangkat kepala istrinya dan menyelipkan lengannya di bawah leher Angel, menjadi pengganti bantal yang sudah basah terkena air mata. Kini posisi keduanya jauh lebih menempel dari sebelumnya. Wajah Angel benar-benar tenggelam di dada Jerry, sedang dagu sang tuan bertumpu di puncak surai sang gadis.

“Janjiku masih sama kayak tiga tahun lalu, Angel. Aku nggak bisa janji semua bakal lancar tanpa kendala, but I promise I always be here, by your side. Kita jalanin ini bareng-bareng. Aku, kamu, Ajen, sama dedek bayi.”

image

Kepala Angel terangkat setelah suaminya menyelesaikan kalimat tersebut. Senyum manis Jerry adalah pemandangan pertama yang ia dapat. Sungguh, sepertinya ia benar-benar menikahi seorang malaikat. Rasanya Angel ingin mengunjungi penulis lirik 'terkadang malaikat tak rupawan'. Nyatanya, ia bertemu Jerry yang hanya satu milimeter di bawah titik kesempurnaan.

“Kok malah melamun?” tanya sang tuan.

Rona merah di wajah Angel langsung terlihat karena dirinya tertangkap basah sedang memperhatikan pahatan Tuhan paling indah di muka bumi ini. Kepalanya kembali mendusel dada Jerry demi meredam rasa malu.

“Hahaha! Dasar, kamu selalu gemesin gini deh kalo lagi hamil,” kata Jerry jujur.

“Diem, Mas!” bentak Angel yang sedikit teredam.

Tubuh suaminya pun bergetar karena tawanya semakin kencang. Gelayar panas masih mendominasi wajah Angel meski sudah bersembunyi di peluk Jerry. Namun, ia sama sekali tak merasa sesak karena aroma tubuh suaminya selalu memabukkan.

“By the way, dia ada di perut kamu sejak kapan ya, Sayang? Pas habis pernikahan Marcell? Atau seminggu setelah kita pulang? Atau minggu lalu? Kalo dia hasil cetakan pas pernikahan Marcell, kasihan banget dong selama ini aku main kas-”

Cerocos lelaki itu berhenti saat telapak Angel menabok mulutnya. Meski pelan, ia tetap mengaduh karena terkejut. “Jangan bahas itu, malu sama dedek bayi!” geram Angel.

“Hehehe, kan aku penasaran. Emang kamu tau dia udah berapa lama di sini?” tanya Jerry seraya tubuhnya menjauh agar telapaknya dapat mengusap perut Angel.

“Kayaknya sih udah hampir sebulan, Mas. Soalnya perutku udah agak nonjol, terus tadi garis di testpack udah jelas banget,” jawab Angel.

“Besok mau ke dokter?” tawar suaminya.

Angel menggeleng pelan, lalu memajukan tubuhnya untuk kembali bersembunyi di dada Jerry. “Aku masih belum siap,” tuturnya pelan, sangat pelan hingga Jerry hampir tak mendengarnya.

“Okay, nggak apa-apa. Aku tunggu kamu siap,” jawab lelaki itu tanpa ragu.

“Maaf ya, Mas...” gumam Angel yang langsung diangguki oleh Jerry.

Ia mengingat kejadian tiga tahun silam, saat Angel menemukan dua garis di testpack miliknya. Jerry juga tidak akan lupa bagaimana keduanya berbagi tangis di ruang tamu apartemen. Saat itu, mereka sama-sama hancur. Angel yang hancur karena rencana nikah kontrak berantakan, sedang Jerry hancur karena melihat istrinya menolak kehadiran buah hati mereka.

Di banding saat itu, kini Angel jauh lebih tenang. Jerry tahu gadisnya masih belum menerima sepenuhnya karena kehamilan kali ini sungguh di luar rencana mereka. Ia tidak akan memaksa, itu adalah hak Angel untuk merasa demikian. Kewajibannya adalah mendampingi istrinya dan mempertahankan anak kedua mereka.

“I always be here for you, Angel.”

Lengannya semakin mengungkung tubuh gadisnya. Di balik punggung Angel, Jerry tersenyum dan menatap testpack dengan garis dua yang tadi diberi oleh Brandon.


@guanhengai, 2022.