259.
Jerry memusatkan perhatiannya pada jam dinding yang tergantung di depan kasur kos, sedang Angel masih memainkan jari-jari lentiknya. Belum ada obrolan, mereka sama-sama sibuk menyusun kalimat dalam benak masing-masing.
Selimut tipis yang menutupi kaki keduanya menjadi penghantar kehangatan malam ini. Ada rona merah di pipi Jerry, kini telah menjalar hingga telinga. Darahnya terlalu cepat berdesir kala suasana hatinya tak karuan.
“Gimana atasan lo? Beneran buaya darat?” Akhirnya Jerry memutuskan untuk mengakhiri keheningan mereka.
Kening istrinya mengerut seketika. Ini sudah dua minggu berlalu, rasanya pertanyaan itu sudah terlalu basi untuk dibahas. Saat ini, Angel hanya ingin mengetahui respon Jerry atas 'perjalanan bisnis'nya dengan Alle.
“Kenapa nanyain itu?” tanya sang gadis dengan segala rasa malas.
“Kenapa? Karena masalahnya udah lama?” Pertanyaan Jerry membuat Angel menatap suaminya bingung.
“Udah lama lo nggak cerita sama gue, Angel.”
Lelaki itu tersenyum miris, kemudian membalas tatapan istrinya. Ia hanya ingin mendengar penjelasan dari mulut Angel. Tentang manusia yang kini berstatus sebagai atasannya di kantor, tentang sembilan jam yang mereka habiskan bersama setiap hari, tentang hubungan mereka di masa lalu, dan tentang rencana Angel di masa depan.
Jerry hanya suami kontrak, ia ingat itu. Namun, kini keduanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur di atas ranjang yang sama. Apa yang Angel lakukan akan mempengaruhi Jerry, terutama hatinya.
Kekehan pelan lelaki itu mengawali kalimatnya. “Terakhir kali kita ngobrol itu tentang atasan lo yang keliatan buaya darat lewat chatnya. Udah lama banget, kan?” Nada bicaranya terdengar berbeda dari biasanya, sarkasme terdengar mendominasi pertanyaan Jerry.
“Apaan sih?” Tatapan Angel menajam, bak pedang yang merobek otak suaminya guna mengetahui isinya. “Bisa to the point aja nggak?”
Ada suara gertak gigi setelah Angel menyelesaikan pertanyaannya. Jerry kembali melengos dan menatap lurus dinding kos yang mungkin sudah mulai dingin.
Respon tidak biasa suaminya membuat sang gadis bergidik ngeri. Ia belum pernah melihat Jerry marah dan mungkin hari ini ia adalah saatnya.
“Atasan lo itu cowok, Angel.”
“Sooo?”
Rahang Jerry terlihat mengeras. Tangan lelaki itu sudah mengepal sempurna, uratnya tercetak jelas di balik kulit cerahnya. Tarikan napas panjang menandakan ia sedang menahan amarah saat ini.
“Kalo gue nggak izinin, lo bakal tetep pergi?” tanya Jerry dengan nada yang sangat rendah, membuat sekujur tubuh Angel merinding.
Gadis itu menggumam setelah mendengar pertanyaan suaminya. Tiba-tiba produksi air liurnya meningkat drastis, membuat tenggorokan bergerak naik-turun untuk menelannya.
“Kenapa nggak bolek?” Pertanyaan yang lolos dari mulut Angel membuat darah di kepala Jerry mendidih seketika. Apakah pertanyaan itu benar-benar harus dijawab? Apakah Angel tidak dapat memikirkan sendiri jawabannya?
Lelaki itu menatap istrinya tak percaya. Kalau saja mereka menikah tanpa kontrak, Jerry akan langsung menembak Angel dengan tuduhan perselingkuhan. Saat ini haknya dibatasi, termasuk hak untuk merasa cemburu.
“Gue selalu berusaha buat jalanin peran sebagai suami lo. Boleh nggak kali ini gue minta lo ikut serta dalam peran itu?” Jerry melonggarkan rahangnya kala melihat tautan jemari istrinya mengerat, ia tidak ingin gadis itu merasa takut padanya.
“M-maksudnya?” Angel bertahan dengan posisinya saat ini. Tatapan dan raut wajah Jerry benar-benar tak bersahabat.
Belajar dari kejadian sebelumnya, lelaki itu akan melontarkan perkataan menyakitkan dalam keadaan seperti ini. Kalimatnya tidak ada yang salah satu pun, namun mampu membuat perasaan Angel acak-acakan.
Tatapan Jerry menghangat. Ia harus membuat Angel tenang agar apa yang disampaikannya dapat diterima gadis itu dengan baik. “Apa kata orang kalo ada cewek yang udah nikah dinas ke luar kota sama atasannya, lawan jenis, berdua, naik mobil?”
Angel melengos dan terdiam. Gadis itu memainkan ujung kukunya untuk menyalurkan rasa gugup.
“Iya, gue nggak pergi.” Andai saja Jerry tahu jantung istrinya sudah menyentuh kecepatan maksimal. Genangan di pelupuknya mungkin akan tumpah jika ia mengedipkan mata.
Lelaki itu mengangkat tangan, menempatkannya di atas telapak Angel yang kini sedingin es. “Hey, gue nggak marah, Angel. Coba liat sini dulu,” tuturnya sembari menggeser dagu Angel.
Benar saja, setetes air mata lolos dari pelupuknya. Jerry segera memerintah ibu jarinya untuk menghilangkan jejak itu. “Gue cuma nggak mau lo dicap jelek sama orang, Angel. Kemarin Atuy sama Ojon udah nanyain lo yang selalu pulang sama atasan lo.”
Gadis itu mengangguk seraya menggigit bibir bawahnya. Ia tahu tentang Atuy yang menaruh curiga padanya. Yang ia tidak tahu adalah Jerry menyembunyikan hal itu karena takut menyinggung perasaannya. Angel akan terima jika lelaki itu marah padanya, sumpah.
Kedua telapak lebar sang lelaki sudah mendarat di bahu istrinya. Tatapan Jerry seolah mengundang Angel untuk membalas. “Selama gue masih jadi suami lo, please izinin gue buat ngelarang lo pergi ke luar kota berdua sama lawan jenis.” Permintaan Jerry mendapat anggukan sang istri.
Saat mulut tak mampu berbicara, mata akan mengambil peran. Perlahan tapi pasti, tetes demi tetes dari netra sang gadis memenuhi pipi dan dagunya. Jerry harap air mata itu membawa serta rasa sesak yang Angel pendam.
Butuh beberapa menit untuk Angel menghentikan air matanya.
“By the way, kita tuh temen sekamar paling aneh. Masa nggak pernah gibah, sih? Sekali-kali ngomongin atasan lo boleh dong,” canda Jerry seraya merangkul leher Angel. Gadis itu hanya mendengus geli dan membalas pelukan suaminya. Ternyata, pelukan penuh canda seperti ini jauh lebih romantis.
Sama seperti Angel, Jerry pun merasa nyaman saat gadis itu membebankan kepala di dadanya. Momen ini akan menjadi salah satu hal terbaik yang akan terpatri dalam ingatan Jerry.
Jika boleh, ia tak ingin ada pelukan lain untuk gadisnya. Hanya boleh dada dan lengannya yang mendekap Angel seperti ini.
Egois? Ya, manusia butuh egois untuk mempertahankan sesuatu yang mereka inginkan. Dan mulai sekarang, Jerry ingin Angel.
@guanhengai, 2021.