286.
It was cloudy and the walk to his house was long. But, he didn't mind cause his son yang berusia dua setengah tahun menemani dirinya menyusuri jalan dari kantor menuju rumah. Telapak lebar lelaki itu menggandeng tangan mungil putranya menuju rumah.
Hari ini adalah Jumat, Jerry memutuskan tidak membawa mobil karena ingin menikmati waktunya bersama Ajen. Bocah kecil berbalut kaos lengan panjang itu memang selalu ikut ke kantor sang ayah setiap akhir pekan. Entah hanya bermain di ruangan Jerry, atau berkeliling menyapa karyawan di sana.
“Abang, ini kaosnya digulung dulu, biar nggak kena ice cream.” Jerry berjongkok di depan bocah itu, kemudian melipat ujung kaos bagian tangan Ajen sebatas siku.
“Maacih, Papa.” Jerry tersenyum dan mengangguk.
Setelah memastikan kaos putranya aman dari tetesan ice cream, ia kembali bangkit dan meneruskan perjalanan mereka.
“Papa!” panggil Ajen seraya menengadah.
“Iya, Sayang?”
“Why Papa bobok cama Abang teyus? Papa agi angly-angly cama Mama?” tutur Ajen sembari terus menjilat ice cream di tangannya. (Translate: Why Papa bobok sama Abang terus? Papa lagi angry-angry sama Mama?)
Jerry tidak langsung menjawab pertanyaan putranya. Lelaki itu membawa Ajen untuk duduk di bangku yang tersedia di tepi jalan. Ia mengambil selembar tissue kering di tas kerjanya dan membersihkan jemari mungil Ajen dari tetesan ice cream.
Sempat ada jeda setelah keduanya mendaratkan bokong di bangku panjang tersebut. Deru angin dan gelapnya langit mendukung suasana sendu yang mendominasi dada lelaki berbalut kemeja putih.
Perlahan tangannya menggenggam jemari kecil Ajen dan memusatkan tatapnya pada si sulung. “Kenapa Abang tanya gitu?” tanya Jerry yang langsung mendapat tatapan imut dari lawan bicaranya.
Kedua bahu kecilnya terangkat meski lidahnya terus menyapu lelehan ice cream di cone. “Mama cama Papa ndak bobok baleng, ndak maen baleng, ndak tawa-tawa. Kaya Abang cama Masya alo agi angly.” (Translate: Mama sama Papa nggak bobok bareng, nggak main bareng, nggak ketawa-ketawa. Kayak Abang sama Marsya kalau lagi angry.)
Tolong ingatkan Jerry bahwa anaknya terlahir cerdas. Ajen mampu memahami situasi sekitar tanpa harus diceritakan oleh orang dewasa. Lelaki itu benar-benar dibuat kikuk oleh anaknya sendiri.
Akhirnya, ia mengangguk sembari tersenyum kecil. Telinganya memerah karena merasa malu.
“Capa yang naal?” tanya Ajen meniru nada Jerry saat bertanya padanya. (Translate: Siapa yang nakal?)
“Papa yang ngelakuin kesalahan, Sayang.”
“Teyus? Papa didn't say solli to Mama?” tanya bocah itu lagi. Kini sebelah tangannya sudah berpindah ke pinggang, benar-benar meniru kala Jerry menegurnya. (Translate: Terus? Papa didn't say sorry to Mama?)
Gelengan sang ayah pun mengundang ceramah dari mulut mungil Ajen. “Papa caid alo calah halus minta maap. Napa Papa ndak minta maap?” (Translate: Papa said, kalau salah harus minta maaf. Kenapa Papa nggak minta maaf?)
Memang seperti itu seharusnya. Jika manusia melakukan kesalahan, harus segera menyadari, lalu meminta maaf. Namun, berbeda dengan orang dewasa yang sudah mengenal gengsi. Rasanya kata maaf sangat sulit terucap. Bahkan, banyak dari mereka memilih untuk melupakan begitu saja kesalahannya dan perlahan menjauh dari orang yang bersitegang dengan mereka.
Sama seperti apa yang Jerry dan Angel lakukan saat ini.
“Nanti Papa say sorry ke Mama,” jawab Jerry.
“Tuhan ndak cuka kayo kita belantem, Papa.” Telunjuk kecil Ajen bergoyang di depan wajah Jerry. (Translate: Tuhan nggak suka kalau kita berantem, Papa.)
Lelaki itu mengambil alih ice cream Ajen yang sudah tak berbentuk dan membawa putranya ke dalam pelukan. Ia membelai lembut punggung kecil anaknya.
“Abang ugha ndak cuka Papa cama Mama belantem,” tutur Ajen di ceruk leher sang ayah. (Translate: Abang juga nggak suka Papa sama Mama berantem,)
Debar jantung Jerry semakin tak beraturan setelah mendengar kalimat Ajen. Lelaki itu tidak mengira bahwa putra kecilnya menyadari perang dingin mereka. Jerry lupa bahwa apa yang Angel dan dirinya lakukan akan selalu berdampak pada anak mereka.
“Maafin Papa ya, Sayang.”
@guanhengai, 2022.