289.

Sudah kesekian kalinya Jerry memperhatikan wajah teduh sang istri yang terlelap di atas lengan kekarnya. Meski kebas tak keruan ia rasakan, lelaki berlesung pipit itu sama sekali tidak protes. Jemarinya menyisir surai lembut Angel sebelum memberi kecupan selamat pagi di keningnya. Jerry benar-benar merindukan pagi indah seperti ini.

Sekali lagi ia menatap Angel seraya tangan sebelahnya menyapa buah hati di dalam perut sang istri. Setelahnya, Jerry mengangkat pelan kepala gadis itu dan menarik bantal untuk mengganti lengannya. Tubuhnya sedikit menggigil kala selimut tebal yang menutup tubuhnya segera disingkirkan. Udara dingin masih tersisa akibat hujan tadi malam.

Lelaki itu melipat tangan, menutup mata, menunduk, kemudian menyapa Sang Pencipta lewat doanya. Ia berkali-kali menyebut nama Angel, Ajen, dan calon adik si sulung. Setelah netranya terbuka, Jerry berjalan menuju kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alam dan membersihkan wajah tampannya.

Derap langkah kaki terdengar dari arah kamar mandi. Lampu tidur yang semalam Angel nyalakan sudah mati, digantikan oleh beribu partikel cahaya yang masuk melalui jendela kamar.

Jerry masih berdiri di pintu kamar kamdi, menatap istrinya yang sudah terduduk dengan selimut menutupi kakinya. Lalu, ia tersenyum dan mendekati gadis cantik itu.

“Morning, Sayang. Gimana tidurnya? Nyenyak?” Tanya Jerry setelah bergabung dengan Angel di atas kasur.

Alih-alih menjawab, yang ditanya justru memeluk erat suaminya. Gadis itu menghirup aroma tubuh Jerry yang sangat ia rindukan beberapa hari terakhir.

“Untung udah sering dapet serangan mendadak,” celetuk Jerry sembari mengusap rambut Angel.

“Aku pikir kamu masih marah sama aku,” gumam Angel dalam pelukan suaminya.

“Loh? Aku kira kamu yang marah sama aku. Kemarin nggak makan sop buatanku, terus selalu menghindar pas aku deketin kamu di ruang main Ajen,” jawab sang tuan.

“Ih enggak! Kemarin tuh si Adek lagi nggak mau sop, jadi pas mau makan mual deh. Terus aku nggak menghindar, tapi pegel kalo duduk kelamaan di ruang main Ajen.”

Jerry mengecup kening Angel cukup lama. “Salah paham ternyata,” tuturnya.

“Sorry, Mas.” Lelaki itu membiarkan napas hangat sang istri hangat menggelitik dadanya. Pun kepala gadis itu sudah bersandar sepenuhnya di tubuh sang suami.

“Maafin aku juga, ya.”

Without much room to talk, mereka saling menyapa rindu melalui peluk dan senyum masing-masing. Hanya kicau burung di balik jendela kamar yang menjadi satu-satunya distraksi.

“Mau aku ceritain sesuatu?” tanya Jerry memecah keheningan.

“Hm,” respon Angel singkat.

Beberapa hari yang lalu, Mas Aryo mengirim sesuatu ke melalui email Jerry. Lelaki itu pun langsung membuka dan membaca isinya. Baru saja ia melihat kop surat yang Mas Aryo kirim, matanya sudah membelalak sempurna. Bagaimana tidak, surat itu merupakan terusan dari pengadilan setempat.

Debar jantungnya terasa semakin cepat kala membaca isi surat tersebut. Namanya dan Mas Aryo tertulis jelas dengan font yang lebih tebal. Telunjuknya terus menggulir badan surat hingga akhir meski gelisah mendominasi.

Di daerah perkebunan memang sering terjadi masalah seperti yang kini ia hadapi, sengketa dengan warga sekitar. Perusahaan Mas Aryo sempat membangun jalan untuk lalu lintas truk pengangkut kelapa sawit, tepat di samping perumahan warga.

Ternyata, masih banyak penduduk yang tidak terima oleh pembangunan tersebut. Mereka mengaku terganggu oleh truk-truk pengangkut sawit dan debu yang terus bertebaran. Maka dari itu, pengadilan setempat mengundang Jerry sebagai Kepala Kebun dan Mas Aryo sebagai pimpinan tinggi perusahaan.

“Mas, ini kita beneran dipanggil pengadilan?” tanya Jerry saat ia bertemu dengan kakak iparnya.

“Iya, Jer. Hal-hal kayak gini bakal sering lo hadapi. Gue sama anak-anak juga pernah dipenjara sebulan gara-gara masalah ginian,” jawab Mas Aryo santai sembari menepuk pundak Jerry.

“Hah? Dipenjara beneran? Gara-gara didemo warga?”

“Iya lah, beneran. Tenang, sebenernya ini cuma formalitas. Biar warga puas aja karena kita udah 'dihukum'.” Telunjuk dan jari tengah Mas Aryo memberi kode kutip pada kata terakhir.

Mulut Jerry masih terbuka karena tidak menyangka ia akan melalui hal seperti ini. Meski bukan karena tindak kriminal, tetap saja ia akan tidur beberapa hari di penjara. Beruntung ada Mas Aryo yang menemaninya.

“Terus? Gue kasih tau Angel gimana?”

“Aduh, kalo itu terserah lo deh. Kalo gue, dulu langsung jujur ke Laras. Ya gue bilang aja harus nginep beberapa hari karena mau diperiksa Polisi.”

Secara tidak langsung, Mas Aryo menyarankan adik iparnya untuk jujur pada sang istri. Wajar, lelaki itu belum tahu kalau adiknya dalam keadaan mengandung. Akan tetapi, Jerry yang tahu kondisi Angel memilih untuk berbohong sedikit agar istrinya tidak khawatir.

Tanpa Jerry ketahui, kebohongannya justru menimbulkan masalah hingga mereka bertengkar dan perang dingin selama beberapa hari terakhir.

“JADI?! KEMARIN KAMU DIPENJARA, MAS?” Lelaki di sampingnya terkejut kala wajah Angel tiba-tiba berubah serius dan memerah.

Jerry meletakkan telapaknya di depan wajah gadis itu dan memberi kode agar istrinya tenang. “Iya, Sayang. Tapi nggak apa-apa kok, kan sekarang aku udah balik lagi.”

“Nggak apa-apa gimana? Kamu dipenjara, Mas! PEN-JA-RA.”

“Hey, hey, hey. Sayang, penjaranya nggak kayak yang di film-film kok. Ada kasur, ada kamar mandi, makanannya juga enak. Aku juga kan sama Mas Aryo di sana.”

“Ck, lagian apaan sih warga! Jalan itu juga mereka yang pake kok, protes mulu kayak mahasiswa!” gerutu Angel kesal.

“Jangan gitu, Sayang. Kalo dipikir-pikir lagi, aku juga kesel sih kalo jadi mereka. Kamu tau kan, debu jalanan itu setebel apa? Ya, pasti rumah mereka jadi kotor walaupun udah di sapu tiap menit. Belum lagi kalo mereka punya anak kecil, kasian kan bisa batuk-batuk?.”

“Hm, iya sih. Suara truk juga kadang berisik. Truk sampah yang lewat aja bikin Ajen nggak bisa tidur siang.”

“Tuh, kan. Kemarin aku juga kesel pas tau aku sama Mas Aryo bakal nginep di penjara. Tapi, setelah denger yang hakim bilang, ya aku setuju juga. Jalanan itu memang mengganggu warga.”

Angel tersenyum dan menatap kagum suaminya. Kini ia merasa sangat bersalah karena menuduh Jerry melakukan sesuatu yang menjijikan. Jika kemarin Jerry memberi tahu kondisi yang sesungguhnya, Angel mungkin akan melakukan sesuatu yang dapat melukai dirinya dan anak di dalam kandungannya. Dasar Angel bodoh, berkali-kali batinnya berucap demikian.

“Kamu emang manusia hebat, Mas,” tutur Angel pelan, kemudian memeluk suaminya lagi.

Seconds turned into minutes and minutes lapsed into hour as the two listened to each other's heartbeat. Hingga jam kayu di lantai bawah berdengung, mereka tetap pada posisi awal.

“Eh! Udah jam delapan, Mas.”

“I don't care. Hari ini aku mau bolos kerja, mau seharian sama istriku yang gemesin,” jawab Jerry sembari mempererat pelukannya dan mengecup pipi Angel berkali-kali.

“Mhhh! Inget, ada anakmu, Mas!”

“Astaga! Ya ampun, maaf maaf maaf.”

Lelaki itu kemudian bergeser sedikit, lalu merubuhkan dirinya di samping Angel. Kepalanya kini berhadapan langsung dengan perut sang istri.

Tanpa izin dan permisi, tangannya langsung menyingkap piyama Angel. Istrinya pun refleks menabok lengan Jerry, namun hanya dibalas cengir dan kekehan sang tuan.

“Hai Adek, anaknya Papa yang paling imut karena masih keciill.” Lelaki itu memulai obrolannya dengan makhluk di dalam sana.

Hari ini sudah hampir dua minggu sejak mereka mengetahui keberadaan dedek bayi. Namun, perut Angel sudah terlihat seperti mengandung bayi dua bulan. “Kamu cewek atau cowok, Dek? Tapi kayaknya cowok deh, soalnya perut Mama udah keliatan gede banget,” lanjutnya seakan ada jawaban dari sang buah hati.

“Kalo kamu cowok...”

Jerry menjeda kalimatnya hingga membuat gadis yang memperhatikan kegiatannya sedari tadi ikut penasaran.

“Jangan ikut-ikutan abang kamu, ngerebut Mama dari Papa,” bisiknya di depan perut buncit Angel.

Plak!

“Kamu nih! Kalo ngomong sama anak tuh yang bener-bener aja dong, Mas. Mana ada anak yang ngerebut orang tuanya sendiri?” tanya Angel dibumbui nada kesal.

“Ada. Anakmu yang gede tuh.”

“Mana pernah?”

“Sering. Dia selalu ngusir aku kalo lagi sama kamu.”

“Itu karena kamu jahil, Mas. Coba kamu diem, pasti Ajen bolehin kamu duduk di sampingku.”

“Halah, itu cuma akal-akalannya aj-”

Kegiatan protes Jerry pun terhenti oleh pekik imut dari arah pintu kamar mereka. Keduanya lantas menengok dan melihat sosok kecil yang menjadi tersangka pengganggu pagi romantis tersebut.

“Tuh kan, baru dibilangin,” gerutu Jerry seraya memeluk pinggang Angel.

Ajen yang melihat papanya menempel pada tubuh sang Mama pun langsung berlari dan menubruk punggung Jerry.

“Papa! Wash! Wash!” (Translate: Papa! Awas! Awas!)

“Ih, apaan sih? Kan Papa duluan yang di sini,” jawab Jerry tak mau kalah.

“Kalang antian Abang peyuk Mama!” (Translate: Sekarang gantian Abang yang peluk Mama!)

“Tuh! Gantian, Mas.” Kini Angel ikut membela anaknya dan membuat sang suami merajuk.

“Ck, malah dibelain. Semoga si Adek cewek, biar Papa juga punya temen!”

Jerry pun bergeser dan membiarkan Ajen menempati tempatnya. Masih dengan tatap kesal, ia memberhatikan bagaimana si sulung berinteraksi dengan perut buncit Angel. Namun, kalimat Ajen setelahnya membuat lelaki itu melotot sempurna.

“Adek janan temen Papa ya, Papa gayak yohhh!” (Translate: Adek jangan temenin Papa ya, Papa galak loh!)

Yang diejek langsung menarik tubuh kecil itu dan mengangkat tinggi. Alih-alih menangis, Ajen justru tertawa lepas karena perutnya dikelitik oleh hidung sang ayah. Kata 'ampun' berkali-kali berlontar dari mulut mungilnya.

“Bilang Papa galak lagi coba,” tutur Jerry masih dengan mengangkat Ajen.

“No, no, no! Ampun, Papa!” pekik Ajen.

“Mas, udah ah. Kasian tuh, mukanya si Abang udah merah banget,” ujar Angel menghentikan suaminya.

“Dasar bocil!” sembur Jerry setelah menurunkan tubuh Ajen di samping mamanya.

Gadis yang masih duduk bersandar kepala kasur itu pun tersenyum melihat interaksi kedua manusia tampan di depannya.

Sungguh hubungan yang aneh menurut Angel. Mereka akan bercerita layaknya sahabat di sore hari, lalu Jerry akan menasehati Ajen layaknya seorang ayah saat malam menjelang, dan bertengkar seperti adik-kakak sepanjang waktu.

Namun, Angel bersyukur atas itu. Setidaknya, Ajen memiliki ayah yang luar biasa seperti suaminya.


@guanhengai, 2022.