303.
Mentari mulai bergulir ke sisi Barat, pun awan tebal berkumpul mengitarinya. Embusan angin menyapa helai rambut Angel yang baru saja membuka pintu teras samping. Beberapa hari lalu, Jerry sempat membuatkan bantalan empuk di atas sofa kayu agar anak dan istrinya lebih nyaman menyore di sana.
Dengan gerak perlahan, gadis itu membawa tubuhnya duduk di sofa. Perut buncit berisi dua krucil yang hampir berusia tiga bulan kian menghambat aktivitas Angel. Namun, ia sama sekali tak merasa terbebani.
Kala bokongnya baru saja mendarat, suara langkah kaki dari balik tubuh Angel terdengar. Entah geraknya yang terlalu lambat atau suaminya yang terlalu cepat membersihkan diri karena seingat Angel, lelaki itu memasuki kamar mandi saat dirinya keluar kamar.
“Kok kamu cepet banget mandinya, Mas?” tanya gadis itu saat sang suami melewatinya.
“Aku nggak mandi, Sayang. Cuma bersih-bersih dikit.”
Pantas saja. Padahal, biasanya lelaki itu langsung mandi dan membasahi rambutnya setelah dinas di luar kota. Mungkin Jerry tertular rasa malam Angel.
“Si Abang belum pulang?” tanya sang suami usai mengambil satu pisang goreng yang dibalut tissue.
“Belum, kayaknya masih asik main,” jawab Angel seraya bergeser untuk menyisakan tempat bagi lelaki itu.
“Dia tuh berani banget, ya? Aku liat temen-temennya udah TK semua, cuma dia sama Marsya yang masih pake popok ke mana-mana.” Lelaki tampan berkaos putih polos memulai obrolan ringan mereka sore itu.
“Hahaha! Iya, anakmu kan emang berani banget. Kemarin aja dia marahin orang gara-gara nabrak aku di mini market.”
Raut wajah Jerry langsung dipenuhi kejut dan khawatir usai mendengar kalimat Angel. Masih dengan setengah pisang goreng panas di tangannya, ia menengok ke arah samping.
“Hah? Nabrak kamu? Nabrak gimana? Terus kamu nggak apa-apa, kan? Krucils nggak apa-apa, kan? Kok kamu nggak bilang aku, sih?!”
Yang dihujam beribu pertanyaan pun hanya bisa diam sembari netranya mengerjap. Tangan Angel meraih segelas teh hangat yang sudah ia siapkan dan mengulurkannya pada sang suami. “Habisin dulu pisang gorengnya, Mas. Terus minum,” tutur gadis itu takut suaminya tersedak.
“Hehehe, makasih. TAPI KAMU NGGAK APA-APA, KAN?”
Tatap Angel berubah datar. Suaminya memang seperti ini, selalu berlebihan.
“Nggak apa-apa, cuma kesenggol dikit. Namanya juga tempat rame.”
“Next time lebih hati-hati lagi ya, Sayang,” ujar Jerry, lalu merangkul bahu gadis itu.
“Ajen tuh sayang banget sama kamu. Sampe-sampe aku mau cium kamu aja dikira mau makan.”
Angel tertawa kala mengingat kejadian tersebut. Saat itu mereka sedang bersantai di balkon atas, menikmati langit malam yang terlihat lebih cerah dari biasanya. Jerry memang sering mencium rakus pipi Angel karena merasa gemas pada istrinya. Namun, putra mereka yang baru saja sampai di balkon menganggap Jerry akan memakan pipi mamanya. Lantas bocah kecil itu menubruk Jerry dan kakinya yang masih berlapis sandal rumah menginjak kaki papanya. Jadilah kaki kiri lelaki itu bengkak selama dua hari dan harus memakai sandal jepit ke kantor.
“Malah diketawain,” cicit Jerry sesudah memasukkan potongan pisang goreng terakhir ke mulutnya.
“Ulululuh, kasian banget sih suamiku,” cibir Angel gemas.
Sang gadis memindahkan lengan kekar Jerry, kemudian menarik tubuh lelaki itu agar kepalanya bersandar di bahunya.
“Nah, kalo gini kan enak, nggak ada yang ganggu,” tutur Jerry.
Angel hanya menggeleng pelan saat suaminya memeluk pinggang dan mencium rahangnya. Biarkan Jerry menikmati saat-saat manja tanpa diganggu anak sulung mereka.
“Kamu kok nggak bilang sih kalo Atuy, Hargi, sama Marcell ke sini?” Angel bertanya sembari jemarinya menyisir surai tebal Jerry. Kini ia menyadari rambut Ajen sama persis dengan milik papanya.
“Aku juga nggak tau, mereka tiba-tiba telfon terus nanya aku di mana,” jawab lelaki itu seraya menutup matanya. Peluk Angel sungguh memberi kehangatan di tengah sejuknya sore.
“Terus? Habis ketemu kamu, mereka langsung balik?”
“Enggak, mereka keliling Banjarmasin dulu.”
“Mereka nggak mampir ke sini,” lirih sang gadis yang membuat suaminya kembali membuka mata dan menengadah.
“Mereka cuma tiga hari di Kalimantan, Sayang. Nanti balik ke Jakartanya juga lewat Banjarmasin, kasihan dong kalo harus ke sini dulu? Lagian, nanti kita bisa ketemu mereka kok. Jangan sedih, ya?” bujuk Jerry sembari membelai lengan Angel. Sepersekon kemudian, anggukkan sang istri membuat senyum manis di wajahnya kembali terurai.
Obrolan berlanjut mengenai perjalanan darat Jerry selama hampir tiga belas jam, tentang Ponco si anjing kecil penghuni baru rumah mereka, tentang kondisi si kembar di rahim Angel, dan diakhiri dengan rencana sekolah Ajen. Gesekan daun kelapa dan bayangnya yang terlihat lebih panjang menemani alur cerita yang terlontar dari mulut dua insan tersebut. Sesekali pukulan di lengan Jerry dan tawa receh lelaki itu menggema di teras.
“Sebentar lagi, kalo Abang belum pulang, kita masuk aj-”
Cit cit cit cit
Suara decit dari sandal putra mereka menjeda kalimat Jerry.
“Baru mau ditinggal, anaknya dateng,” tutur lelaki itu saat sosok kecil berbalut setelan rumah berjalan cepat ke arah mereka. Bibi mengikuti Ajen dari belakang, membawa mangkuk dan botol minum yang tadi terisi penuh.
“Sayang, jalannya pelan-pelan aja!” tegur Jerry pada putranya yang berlari di atas jalan berbatu.
“Papa! Papa! Papa!!!” Tangan mungilnya sudah terulur meski jarak mereka masih terlampau jauh.
“Dari kemarin dia nanyain kapan kamu pulang, Mas,” tutur Angel yang masih membiarkan kepala Jerry bertumpu di bahunya.
Saat si kecil sudah sampai di depan mereka, Jerry pun bangkit dan membalas uluran tangan Ajen. Alih-alih berpelukan, anak kecil itu justru melengos dan naik ke sofa. Ia menempati space kosong yang tadi Jerry berikan secara tidak sengaja.
“Abang mau peyuk Mama!” pekiknya sembari memeluk leher Angel karena tubuh kecilnya sama tinggi dengan sang ibu saat gadis itu terduduk di sofa. Lidah kecilnya menjulur ke arah Jerry karena merasa berhasil mengelabuhi lelaki dewasa itu. (Translate: Abang mau peluk Mama!)
“Dasar bocil! Bisa-bisanya bohongin papanya sendiri!” gerutu Jerry.
Angel pun terkekeh melihat aksi jahil anaknya. Gadis itu membalas peluk Ajen sebelum menyadari sandal kecil berlapis tanah ikut naik ke atas sofa.
“Abang, kok sendalnya belum dilepas?” tanya Angel seraya menabok pelan pantat Ajen.
“Hehe, yupa Mama. Cekalang Abang copot!” (Translate: Hehe, lupa Mama. Sekarang Abang copot!)
Bocah berusia dua setengah tahun itu turun dari sofa dan berusaha melepas sandal cit-citnya sendiri, tentu dengan membelakangi Angel.
Kesempatan brilian itu digunakan Jerry untuk bergeser dan kembali mengungkung istrinya. Angel sudah memberi kode pada sang tuan agar tidak melakukan hal tersebut. Namun, Jerry tidak bergerak barang seinci karena itulah tujuannya. Memancing omelan lucu anaknya.
Setelah menunggu beberapa menit, Ajen bangkit dan berbalik. Jangan tanyakan ekspresi bocah kecil itu. Wajahnya sudah memerah, alisnya menukik tajam, pun mata sipitnya semakin menghilang karena menatap kesal pada sang ayah. Yang ditatap justru menjulurkan lidah, sama seperti apa yang tadi Ajen lakukan.
Kedua lengan Jerry semakin memeluk erat perut Angel dan membuat si sulung dilanda rasa iri. Bocah itu kemudian mencoba melepas pelukan papanya dengan sekuat tenaga. Tentu Jerry sama sekali tak bergerak karena tenaga Ajen tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.
Sadar tidak ada kemungkinan menang, anak itu berhenti berusaha dan menatap papanya. Angel sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Benar saja, Ajen menangis dan terduduk di lantai. Kakinya menendang udara, melampiaskan rasa kesal. Entah kesal pada Jerry karena mengambil posisinya atau kesal karena lelaki itu terlalu lama meninggalkannya untuk dinas di luar kota.
“Ck, nangis kan!” decak Angel yang kemudian berusaha melepaskan diri dari Jerry.
“Biar aku aja. Dia tuh sebenernya kangen sama aku, tapi gengsinya tinggi banget,” jawab sang suami yang langsung bangkit dari posisinya.
“Anak Papa kok nangis?” tanya Jerry setelah bergabung dengan Ajen, duduk di lantai teras.
Bukannya semakin reda, isaknya justru kian menggelegar. Wajahnya sudah semerah tomat dan bulir mata semakin deras membasahi pipi gembulnya. Lelaki itu hanya melihat anaknya menangis dan sesekali tersenyum.
Ajen yang merasa diabaikan pun sempat membuka matanya sebentar, lalu menatap Jerry yang tidak berusaha menghiburnya. “Kenapa Abang nangis?” tanya lelaki itu yang mengundang tangis anaknya semakin memilukan.
“Mas, cepetan gendong!” Angel yang tidak tega pun memaksa Jerry.
“Uluh uluh, jagoan Papa.”
“Abang kenapa, hm?” tanya Jerry lagi usai berhasil duduk di samping Angel sembari memangku anaknya. Ibu tarinya mengusap tetesan air mata yang masih mengalir dari netra Ajen.
“Sini sini, anak Papa yang paling hebat. Abang nggak kangen sama Papa?” tanya lelaki itu setelah memeluk tubuh mungil Ajen dan mencium pipinya.
Ia merasakan ada lengan kecil yang melingkari lehernya, kemudian sesuatu membasahi kaosnya. “Anen Papa,” ucap Ajen di tengah isaknya. Kepala kecil itu bersandar nyaman di bahu Jerry dan jemari mungilnya bermain di balik punggung sang ayah.
“Kalo Abang kangen harusnya peluk dong, kenapa tadi malah ngejekin Papa?” tanya Jerry yang tidak dijawab oleh putranya.
“Kayak Mama aja, kalo kangen cari perkara.”
PLAK!!
Ajen ikut terkejut kala pukulan Angel hinggap di lengan Jerry.
“Mama ndak boyeh naalin Papa Abang!” pekik Ajen refleks. (Translate: Mama nggak boleh nakalin Papa Abang!)
“Papaaa!!!” Ia kembali menangis sambil memeluk erat papanya.
“Shh shh shh, enggak kok. Tadi Mama cuma becanda, Sayang. Tangannya Papa nggak sakit kok,” tutur Jerry berusaha menenangkan anaknya meski gelayar panas mengalir di lengannya.
Angel yang mendapat tatapan tajam dari putra sulungnya hanya mengacungkan jari telunjung dan tengah membentuk pose 'peace'.
@guanhengai, 2022.