310.
Siang ini, suasana rumah mereka damai seperti hari-hari sebelumnya. Jerry yang sedang menikmati jam istirahat duduk di ruang keluarga, menghidupkan alat pemutar musik, dan mengambil salah satu album kesukaannya. Bibi dan Angel sedang mencuci bekas alat makan mereka di dapur, sedangkan Ajen mengobrak-abrik keranjang mainan untuk menemukan mobil-mobilan yang akan dimainkan bersama papanya.
“Mas, Abang ke mana?” tanya Angel yang baru saja datang dari dapur.
“Masih di ruang main,” jawab lelaki itu sembari menepuk sofa di sampingnya.
“Sebentar, aku mau pup,” izin Angel, lalu memberi gerakan melingkar di perut buncitnya.
Jerry pun terkekeh kecil dan mengangguk.
Tak lama setelahnya, bunyi sandal Ajen terdengar. Langkah kecil itu mendekat ke arah sofa ruang tamu di mana papanya bersandar santai sembari mendengarkan lagu milik Frank Ocean.
“Papa! Obing Abang ndak etemu, ita men bayon ajah,” tuturnya setelah sampai di depan Jerry. (Translate: Papa! Mobil Abang nggak ketemu, kita main balon aja.)
Jerry yang sempat menutup matanya pun kembali tersadar. Ia mengerutkan dahi dan menatap netra polos anaknya. “Emang Abang punya balon? Dibeliin siapa?”
“Nemu di kamal Mama,” ucapnya seraya mengangkat sebuah benda transparan yang langsung membuat Jerry membelalak. (Translate: Nemu di kamar Mama,)
Debar jantung dan deru napas lelaki itu seakan berhenti kala Ajen menunjukkan barang pribadi miliknya. Namun, rautnya segera kembali normal agar si sulung tidak curiga. Tangannya menarik tubuh kecil itu mendekat, lalu memangku putranya di paha sebelah kiri.
“Abang, ini Abang ambil di mana, Sayang?” tanya Jerry lembut.
“Di kamal Mama!” jawabnya excited. (Translate: Di kamar Mama!)
Jerry sempat menghela napas panjang. “Abang tau nggak ini punya siapa?” tanyanya yang direspon gelengan oleh Ajen.
“Terus kenapa Abang ambil kalau Abang nggak tau ini punya siapa?”
“Abang mau men bayon cama Papa,” cicitnya seraya menautkan jemari kecilnya di depan dada. (Translate: Abang mau main balon sama Papa,)
Jerry tahu kini anaknya sedang merasa takut. Ia mengambil barang di tangan Ajen dan meletakkannya di samping.
“Papa nggak akan larang Abang kalau mau main balon sama Papa, tapi masa pake punya orang lain? Kalau orangnya nyariin, terus barangnya nggak ada di tempat, gimana? Nanti orangnya kebingungan. Ya, kan?”
Anggukkan kecil putranya terlihat. Tatap sendunya kini mengarah pada gelang rantai di pergelangan sang ayah. Ajen tidak berani membalas tatapan Jerry.
“Sayang, hey, coba liat Papa,” tutur lelaki itu sembari menangkup pipi anaknya.
“Kalau Abang mau pake barang yang bukan milik Abang, Abang harus izin dulu sama orangnya. Kalau orangnya udah izinin, baru Abang boleh pakai. Tapi, kalau orangnya nggak izinin, ya Abang jangan paksa. Got it?” tanya Jerry memastikan.
Ajen mengangguk, “Got it, Papa.”
“Nah, kalau Abang nggak tau itu punya siapa, lebih baik Abang nggak usah ambil. Gimana kalau barang itu ternyata bahaya? Ada orang yang sengaja taruh di sana biar Abang ambil, terus nanti ngelukain Abang. Abang nggak mau kayak gitu, kan?”
“No, atut.” (Translate: No, takut.)
“Tapi, di luar sana juga banyak barang-barang yang memang disediakan untuk umum. Contohnya pas Abang sama Papa ke toilet umum, pasti kita ambil tissue, kan?” Ajen mengangguk cepat. “Nah, kalau itu memang disediakan untuk para pengunjung, jadi Abang nggak perlu izin ke siapa pun. Tapi, Abang ambil secukupnya aja karena tissue itu bukan cuma buat Abang. Ya, Sayang?”
“Iya, Papa.”
Kini tangan Jerry kembali meraih barang yang tadi Ajen bawa dari kamarnya. “Sekarang Papa tanya lagi, Abang tau nggak ini punya siapa?” tanya lelaki itu yang langsung direspon gelengan.
“Ini punya Papa, Sayang. Papa nggak marah kalo Ajen mau pinjem barang Papa. Tapi, Ajen harus izin dulu biar kalau Papa mau pake nggak bingung carinya.”
“I'm colly, Papa,” jawab anak itu sembari menundukkan kepalanya. (Translate: I'm sorry, Papa.)
“Iya, Sayang. Papa maafin Abang. Tapi, next time Abang harus izin dulu, ya?”
“I will!” jawab Ajen semangat.
“Pinter banget Jagoan Papa,” Kecupan di kening mungil Ajen menyertai perkataannya.
“Ehm, Papa...” gumam bocah itu sembari telunjuk kecilnya memainkan kaos sang ayah. Kepalanya masih tertunduk, mungkin Ajen merasa bersalah karena mengambil barang tersebut tanpa izin. Namun, di sisi lain ia ingin sekali bermain balon.
“Hm?”
“So? Boyeh Abang pinjem bayonnya buat men ama Papa?” tanyanya dengan volume sangat pelan. (Translate: So? Boleh Abang pinjem balonnya buat main sama Papa?)
Kini gantian Jerry yang meneguk salivanya. Ia terdiam hingga anaknya menengadah dan menatap netra lelaki itu. “Ndak boyeh, ya?” tanya Ajen memastikan.
“Ehm, anu... Itu... Ini...”
“Apa, Papa?” Sepertinya bocah cilik itu sudah geregetan karena Papanya tiba-tiba gagu.
“Ini bukan balon buat mainan, Sayang. Ini Balon buat diisi anak kodok.”
Bibir Jerry langsung terkatup sempurnya setelah menyelesaikan kalimatnya. Ia berharap otak kecil Ajen benar-benar percaya akan pernyataannya barusan. Lagi pula, pikiran anak kecil masih abstrak. Tidak ada salahnya jika ia memberi penjelasan abstrak pada Ajen sekali-kali .
“Haeh? Anak odok?”
Tubuh kecil Ajen langsung loncat dari paha Jerry.
“MAMA!!! ADA ODOKKK!!!!!!” pekiknya dan langsung berlari ke arah Angel yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Eh? Eh? Kodok apa? Mana ada kodok di dalem rumah, Bang?” tanya gadis itu seraya membelai surai Ajen.
“Ada! Di bayonnya Papa!”
“Balon?” Dahi si cantik kini mengerut dalam, kemudian netranya beralih pada sang suami.
Jerry mengangkat kondom di tangannya dan menatap garang sang istri seakan ia siap untuk menerkam gadis itu. Sesaat kemudian, cengiran tanpa rasa bersalah tergambar di wajah Angel. Rasa malasnya membuat ia lupa membuang barang itu ke tempat sampah di luar rumah.
@guanhengai, 2022.