314.
Duduk di teras kos tanpa alas seperti ini sudah sering ia lakukan. Aroma khas selepas hujan membuat pikirannya sedikit tenang. Pelangi yang malu-malu menampakkan diri pun membuat sang gadis tersenyum kecil.
Sisa tetesan air hujan jatuh ke tanah tempat Angel meletakkan kakinya bersamaan dengan perutnya yang kembali terasa diaduk. Ternyata semangkuk sop hangat buatan Jerry tidak cukup menangkan anaknya di dalam sana.
“Kamu kenapa, sih? Dedek bayi mau apa?” tanya gadis itu sembari mengusap lembut perut yang mulai membuncit.
Ada satu nyawa yang bergantung padanya. Fakta itu membuat Angel merasa bahagia. Setidaknya, ia tetap memiliki seseorang di sampingnya, meski seluruh dunia meninggalkannya.
“Kamu cewek atau cowok ya, Dek?” tanya gadis itu walau tahu tak akan ada jawaban.
“Aku mau jadi cowok aja, Mama ....”
Gadis itu terkejut saat suara lelaki dewasa merespon pertanyaannya. Ia menengok dan mendapati Atuy lengkap dengan seragam kerjanya. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Angel. Gelas berisi cairan putih di tangannya langsung menyita perhatian sang gadis.
“Itu apaan, Tuy?” tanya Angel dengan kening mengerut.
Atuy mengangkat gelasnya, “ini? Susu hamil lo, ketinggalan di dapur.”
Angel segera meringis dan mengulurkan tangannya sembari berucap terima kasih. Ternyata pikiran kacaunya berdampak pada aktivitas hari ini. Tadi pagi gadis itu sudah menjatuhkan parfumnya yang berakhir di tempat sampah. Ia juga hampir menjatuhkan mangkuk seusai mencucinya.
Beberapa teguk susu berhasil masuk ke tenggorokan, sebelum Angel kembari merasa mual. Pagi ini tidak terlalu banyak nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya, padahal ia membutuhkan energi ekstra.
“Lo liat foto kecil Jerry yang gue post di twitter nggak?” Atuy tiba-tiba bertanya.
Gadis itu mengangguk dan mengingat betapa lucunya Jerry kecil di foto tersebut. Bahkan, saat itu ia berharap anak yang ada di dalam kandungannya berkelamin laki-laki. Sepertinya lucu juga ada Jerry versi kecil di dunia.
“Gue ketemu Jerry pas tu bocah segitu, masih imut-imut. Kalo sekarang mah udah amit-amit,” tutur Atuy disertai candaan.
Lelaki yang kini menatap warung sembako di depan kos mereka kemudian menghela napas panjang. Ia sama sekali tidak menatap Angel saat memulai dongengnya.
“Jerry lebih muda dari gue secara umur, tapi lo pasti setuju kalo gue bilang pikiran dan tindakannya jauh lebih dewasa dari gue.” Begitu Atuy mengawali ceritanya.
Pertemuannya dengan Jerry di taman panti adalah hal pertama yang ia beberkan. Pria kecil yang saat itu menangis kencang karena ditinggal orang tuanya melihat salah satu anak sedang memainkan balon tiup sendiri.
Jerry kecil melihat anak seusianya berderai air mata di samping ibu panti. Hal tersebut sudah biasa ditemui, terlebih bagi seseorang yang tinggal di tempat itu sejak bayi.
Dengan langkah kecil tapi pasti, anak lelaki bertubuh gembul itu menghampiri teman barunya. Bukan uluran tangan kanan yang ia beri, namun sebuah gagang dengan lubang bulat di ujungnya.
“Mau main balon sama Jerry?” tuturnya pada anak lelaki yang belum ia ketahui namanya.
Atuy yang sebelumnya tenggelam dalam air mata seketika menghentikan tangis dan berusaha mengatur napasnya. Masih dengan sesegukan, tetapi ia mampu menjawab ajakan Jerry. “Mau, Atuy mau!” Dari sana Jerry mengetahui nama Atuy.
Ibu panti yang mengantar anak malang itu pun tersenyum bangga. Setelahnya, mereka berdua berkeliling taman sembari menyemburkan balon ke semua sudut. Tak ada tanaman yang tidak terkena balon-balon mereka.
Atuy yang awalnya datang dengan segudang air mata, seakan melupakan kesedihannya. Ia sudah tidak lagi mengingat mamanya yang tega meninggalkan dirinya di taman hiburan. Jerry mengganti semua dengan tawa lepas dan lari-larian hingga senja menjeput.
“Gue inget banget, waktu itu Jerry bilang nangis tuh kayak balon yang kita tiup. Dia muncul, tapi nanti bakal hilang. Dan kesedihan akan terus ada sampai waktu kita habis.” Atuy berpaling dan melihat Angel terlalu menikmati ceritanya.
Netra gadis itu menyiratkan kesedihan kala mendengar cerita Atuy. Memori mengenai dirinya yang pernah merasa ditinggal dan kehilangan pun menyeruak. Bedanya, saat itu Atuy punya Jerry. Sedangkan, Angel hanya memiliki dirinya sendiri yang memeluk tubuhnya di dalam selimut.
“You love him?” tanya Atuy yang membuat Angel spontan meliriknya.
Gadis itu diam. Jika Atuy mengharapkan jawaban, maka ia tidak akan mendapatkannya. Pertanyaan yang sama pun selalu menggema di benak sang gadis. Apakah dia mencintai Jerry? Bahkan, ia sudah lupa bagaimana rasanya mencintai.
Hatinya sudah terlalu lama tertutup untuk orang yang sama, orang yang pernah meninggalkannya dulu. Namun, kini orang itu sudah kembali. Apakah masih ada kemungkinan Jerry menembus hatinya saat orang yang ia tunggu juga ada di sini?
Sadar tak mendapat jawaban, Atuy angkat bicara lagi. “Okay, gue ganti pertanyaannya. Does he loves you?”
Atuy kemudian tersenyum melihat respon Angel. Rautnya datar, namun rona merah memenuhi wajah cantiknya. Lelaki itu tahu temannya sedang salah tingkah. Ia juga tahu jawaban yang ada dalam benak sang gadis.
“Lo, gue, bahkan semua orang yang ngeliat kalian berdua pasti tau jawabannya, Ngel. Orang yang bener-bener sayang sama kita nggak pernah bikin kita bingung sama perasaannya.”
Ya, Atuy benar. Angel tak perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan lelaki itu dengan anggukan. Sorot tulus Jerry saat menenangkan Angel, hangat telapaknya saat menggenggam, tatap kecewanya saat gadis itu izin pergi dengan sang mantan, semua adalah bukti perasaan Jerry.
Bodohnya, Angel baru menyadari sekarang.
“Dalam hidup, kita pasti akan kehilangan dan itu emang nyakitin. Nggak semua orang bisa memilih untuk kehilangan apa dan siapa, Ngel.” Itu adalah pernyataan sebelum Atuy bangkit dan berjalan ke arah motornya.
Angel berpikir dalam diam. Apa maksudnya? Semua manusia sama, kehilangan tanpa pilihan. Jika bisa memilih, ia lebih baik tidak kehilangan siapa pun.
Ah, persetan dengan itu semua. Hari ini Angel harus menyelesaikan semuanya. Map merah yang sedari tadi bersembunyi di balik tubuhnya sudah berpindah ke pangkuan. Ia membuka lagi dan membaca isinya.
“Cukup, Ngel. Capek kan kayak gini? Ayo, lo pasti bisa!” Kepalan tangan menyemangati dirinya.
@guanhengai, 2021.