324.
Bising trolley makanan rumah sakit dan percakapan oma-oma berbalut syal hangat tak mampu menyaingi pikiran Ajen. Dunianya seakan senyap, jiwanya terkurung dalam ruang tanpa udara. Tatap si kecil tampan itu hanya terfokus pada sang ibu yang sibuk mengusap perut buncitnya.
Sudah hampir satu setengah jam mereka berada di rumah sakit. Beberapa menit lalu, Jerry meminta bocah itu untuk duduk di dekat kasir seraya dirinya menebus obat Angel. Tidak banyak, hanya vitamin penguat kandungan dan beberapa butir penurun tekanan darah.
Kondisi gadis itu memang terlihat melemah akhir-akhir ini. Mulai dari pusing berkepanjangan, mual yang terlalu sering, serta ngilu di bagian pinggang hingga membuatnya menangis. Beruntung ia memiliki suami siaga seperti Jerry.
“Abang, kok melamun?”
Suara yang sangat Ajen kenal menggedor gendang telinga. Lelaki berkaos putih dengan jaket jeansnya baru saja berpisah dari jajaran manusia yang mengantre di depan lorong kasir. Sekantung vitamin milik sang istri sudah digenggam erat, serta dompet lipat di telapak satunya.
Jerry berlutut, menyamakan tinggi dengan putranya yang masih duduk di kursi rumah sakit. Kaki kecilnya menjuntai bebas, pun punggungnya tak sampai bersandar pada bantalan kursi. Seringai anak itu tergambar saat wajah Jerry tepat di hadapannya.
“Papa dah bi obat buat dedek kembal?” (Translate: Papa udah beli obat buat dedek kembar?)
Plastik putih berlogo rumah sakit diangkat, membuat si penanya mengangguk lucu. Ibu jari kanannya mengacung pada sang ayah.
“Mama di mana, Sayang?” tanya Jerry lagi.
Senyum di rupa mungilnya berangsur hilang. Kepalanya tiba-tiba menunduk, namun tangan kanannya mengarah pada satu sudut rumah sakit. Di sana Jerry dapat melihat Angel sedang duduk sembari menutup mata, tangannya tak henti memberi usapan pada perut buncitnya. Mungkin ia sedang menikmati interaksi si kembar yang kini sudah memasuki tujuh bulan.
“Terus? Kenapa Abang nggak samperin Mama?”
Alih-alih merespon, anaknya justru kian menunduk hingga keningnya hampir bersentuhan dengan dengkul. “Mama udah ndak main sama Abang, Papa.”
Seperti ada beban yang tiba-tiba menimpa dada Jerry kala mendengar kalimat Ajen. Ia merasa gagal menjadi orang tua karena membuat Ajen merasa kesepian.
Apakah mereka sudah tak menyayangiku? Apakah mereka akan melupakanku? Apakah aku sudah tak lagi berarti? Apakah aku akan terganti? Apakah aku masih menjadi anak kalian?
Mungkin, itu yang akan Ajen tanyakan jika saja usianya sudah lebih besar dari saat ini. Namun, mulut kecilnya kini hanya mampu bertanya apakah Mama sudah tak lagi bermain denganku?
Didahului napas panjang, Jerry ikut duduk dan memangku Ajen. Anaknya ternyata mewarisi sifat Angel. Air mata Ajen menetes hanya dengan belai lembut di punggungnya. “Nggak apa-apa, Abang nangis dulu sama Papa di sini,” tutur sang tuan yang memancing isak anaknya semakin terdengar.
Sesaat kemudian, lelaki itu membuka dompet yang masih ada di telapaknya, lalu mengeluarkan sebuah foto yang selalu ia simpan di sana. Ajen kecil yang penasaran pun langsung mengangkat kepalanya dan menengok potret di tangan ayahnya.
Distraksi sekitar mulai mengerubungi kepala Ajen. Bising yang tadi lenyap kini kembali tertangkap saraf pendengarannya. Meski pipinya masih berlapis air mata, senyum kembali terbit di bibir mungilnya.
“Ajen,” ucapnya saat melihat foto bayi di dalam sana. Telunjuknya menyentuh gambaran kecil dirinya yang sedang terlelap di antara Jerry dan dan Angel. Ayahnya mengangguk seraya kembali mengungkung si kecil dalam dekapan
Setelah puas memperhatikan foto tersebut, Jerry kembali mengambil lembaran berikutnya. Kini tidak ada sosok Ajen di sana, hanya ada sang ayah yang memakai kaos putih dan Angel dengan dress bunga-bunga. Jerry terlihat berbeda di foto itu, tubuhnya jauh lebih kurus.
“Papa, Mama,” tutur Ajen lagi, sembari tangannya menunjuk satu per satu wajah di dalam foto.
Saat telunjuknya bergerak ke arah perut Angel, kepalanya kembali tertunduk lemas. “Dedek kembal,” gumam Ajen dengan suara bergetar.
Namun, sebelum air mata kembali menetes, Jerry segera menggeleng dan mengungkung telapak kecil anaknya. “Itu bukan dedek kembar, Sayang. Itu Ajen.”
Netra yang sudah berlinang pun menatap ayahnya dengan sirat penasaran. “Ajen? Mana, Papa?”
Jery kembali melirik potret dirinya dan Angel yang diambil sesaat setelah pesta pernikahan Anne. “Ini, di dalem perut Mama.”
Anaknya masih belum berkutik, mungkin si kecil tidak mengerti apa maksud Jerry. Sebelum melanjutkan perkataannya, lelaki itu meletakkan semua barang yang ia genggam ke atas kursi rumah sakit.
“Dulu Ajen juga ada di perut Mama, sama kayak dedek kembar.”
“Abang pernah lihat Mama muntah-muntah pas pagi?” tanya lelaki itu yang diangguki anaknya.
“Abang pernah liat Mama pijet-pijet pinggang pas habis nemenin Abang main?” Lagi-lagi Ajen mengangguk.
“Abang, kalau perempuan lagi bawa dedek bayi, badannya pasti cepet capek. Nah, sama kayak Mama sekarang. Abang liat Mama deh...”
Kepala Ajen bergerak, tatapnya mengungkung Angel yang sedang bersandar pada tembok seraya menutup matanya. Raut gadis itu datar, namun sirat lelah dan rintih pedih menghiasi wajah cantiknya.
“Mama bobok?” tanya Ajen.
“Mama nggak bobok, Sayang. Dedek bayinya habis ngajak main di dalem perut Mama.”
“Mama capek, Papa?”
Jerry mengangguk pelan. Selama ini, ia dan istrinya selalu terlihat kuat dan mengikuti apa mau Ajen. Namun, sepertinya cara itu sedikit keliru. Anaknya harus tahu bahwa mengandung bukanlah hal mudah. Dengan begitu, kelak ia akan menghargai Angel dan wanita lain di luar sana.
“Tubuh Mama memang diciptakan buat bawa dedek bayi, sama kayak pas Abang masih kecil dulu. Nah, Mama juga bisa ngerasa capek karena bawa dedek bayi ke mana-mana. Kayak kalau Abang habis main bola sama Papa, capek kan?”
“Apek, aus!” jawab bocah kecil itu. (Translate: Capek, haus!)”
“Tapi, Mama sama Papa bahagia karena Ajen sama dedek kembar sehat-sehat di perut Mama. Sama kayak Abang. Walaupun capek main bola, Abang tetep seneng kan kalo Papa ajak main bola lagi?” Ajen mengangguk cepat setelah Jerry bertanya demikian.
“Nah, sekarang Mama lagi capek, Bang. Kalo Abang lagi capek, Abang ngapain?”
“Abang bobok ciang ama Mama. Alo Abang maen teyus, Abang atit, anash.” (Translate: Abang bobok siang sama Mama. Kalau Abang main terus, Abang sakit, panas.)
“Mama juga gitu, Bang. Sekarang Mama harus banyak istirahat. Mama juga nggak boleh terlalu banyak main. Kalau Mama kecapean, nanti Mama bisa sakit. So, Abang main sama Papa dulu, ya. Nggak apa-apa, kan?”
Ajen tersenyum dan mengangguk. “Abang ndak mau Mama cakit.”
Jerry pun ikut tersenyum dan mengusap lengan kecil putranya. “Abang, Mama sama Papa selalu sayang sama Abang. Dedek kembar juga sayang sama Abang. Mama libur main sama Abang bukan berarti sayangnya Mama ikut libur. Kalo Papa pergi ke luar kota buat kerja juga bukan berarti sayangnya Papa ikut pergi.”
Setelahnya, Jerry kembali mengambil foto dari dompetnya. Ia membuka telapak kecil Ajen, kemudian meletakkan potret tersebut di sana. “Ini buat Abang, disimpen aja, biar Abang inget kalau Mama sama Papa selalu sayang Abang,” tuturnya.
Ajen mengangguk sepakat sembari menatap foto Jerry dan Angel dengan perut buncitnya beberapa tahun silam. “Abang cayang Papa!”
“Papa juga sayang banget sama Abang.”
“Abang cayang Mama.”
“Kalau itu ngomongnya jangan ke Papa dong, bilang langsung ke Mama, yok?” ajak Jerry.
“Ayok!!”
Sebelum telapaknya menerima uluran tangan mungil Ajen, lelaki itu menghadiahkan kecupan di kening putranya. Wajah lembut Jerry yang kini ditatap anaknya akan selalu terpatri dalam benak Ajen. Ia adalah Papa yang selalu menatap bangga dirinya.
“Papa bangga banget sama Ajen.”
@guanhengai, 2022.