343.
Seperti yang sudah-sudah, ketiga anggota keluarga kecil yang hangat itu saling berbagi cerita sebelum menyambut malam. Ditemani Ponco si anjing kecil, Ajen duduk beralas karpet di ruang keluarga. Papa dan mamanya bersandar di sofa dengan semangkuk popcorn yang diletakkan di atas perut buncit Angel.
“Eh!” pekik sang gadis kala tendangan dari si kembar membuat mangkuk popcorn tersebut hampir jatuh.
“Hahaha! Kan udah aku bilang, mereka tuh marah kalo kamu jadiin meja gitu, Sayang.”
Jerry mengambil alih dan meletakkan wadah berbahan beling itu di meja. Ia sedikit mendorongnya ke bagian tengah agar tidak tersenggol putra sulungnya.
“Udah ah makannya,” ucap Angel seraya membersihkan jemarinya dengan tissue basah.
“Abang masih mau nggak popcornnya?” tanya Jerry pada bocah kecil yang sedang meremas buntut kecil Ponco.
“Ndak! Abang dah enyang,” jawabnya tanpa menatap sang ayah. (Translate: Nggak! Abang udah kenyang,)
“Abang, nanti Ponco marah loh kalo buntutnya digituin.” Angel kasihan melihat anjing kecil itu selalu dijahili oleh anaknya.
“Ponco ceneng, Mama.”
Percuma saja gadis itu menegur Ajen. Ia akan terus melakukannya karena Ponco tidak pernah protes. Pernah sekali bocah malang itu terkena kuku tajam anjingnya, namun Ajen hanya marah kecil dan kembali memeluk Ponco.
“Shhhh,” desis Angel saat kedua anaknya bergelut di dalam sana.
“Kakak sama Adek kalo main kok malem-malem sih, Sayang? Mama kan mau bobok,” tutur Jerry yang baru saja kembali dari dapur.
Segelas susu hangat ditangannya langsung berpindah ke tangan Angel. Ia sudah memastikan bahwa suhunya aman jika mengenai lidah sang istri.
“Ahhh, enak.”
“Mama! Abang mau!” Ajen bangkit dan langsung menubruk kaki Angel.
“Abang, hati-hati!” tegur Jerry.
“Maap, Mama,” decit bocah itu.
“It's okay, Sayang. Nih, Abang tiup dulu susunya.” Susu cokelat yang tersisa setengah kini berada di tangan Ajen. Ia memang sering meminta susu hamil Angel, meski berkali-kali protes karena rasanya tidak senikmat susu formulanya.
“Ngeh! Enakan cucunya Abang!” Tuh, kan.
“Nih susunya Abang.” Jerry memberi botol susu Ajen kepada pemiliknya. Tentu senyum lebar langsung menghiasi wajah si tampan kecil itu.
Tubuhnya segera diangkat dan bersandar pada dada sang ayah. Setelahnya, hanya suara teguk Ajen yang mengisi ruang tamu lantai satu itu. Jam dinding yang berada jauh dari mereka pun tak terdengar hilalnya. Udara malam di luar rumah juga tidak sampai membuat bulu kuduk mereka berdiri karena semua pintu dan jendela sudah tertutup rapat.
“Abang, nanti kalau Kakak sama Adek udah lahir, mereka tidur di kamar Mama sama Papa dulu beberapa bulan,” ujar Jerry memecah keheningan.
“Hm,” respon Ajen yang masih menikmati susunya. Kaki kecil itu menjuntai dan sesekali menendang pelan betis sang ayah.
“Abang mau kasih nama buat adek-adek nggak?” Kini giliran Angel yang bertanya.
“Ama?” tanya Ajen tanpa melepas dotnya.
“Selesein minumnya dulu, Bang,” ucap Jerry.
Bocah itu pun menyedot susu yang tersisa. Setelahnya, ia meletakkan botolnya di atas meja dan duduk tegak di atas paha Jerry.
“Nama Kakak cama Adek, Mama?” tanya Ajen pada sang ibu.
“Iya, Abang mau nama mereka siapa?”
Dahi mungilnya mengerut seraya netranya menyipit. Wajah kecil nan tampan itu kini penuh dengan ekspresi bingung. Mungkin, Ajen berpikir bahwa nama mereka berasal dari Tuhan dan tertulis di dahi bayi yang baru lahir?
“Coba Papa tanya, nama panjang Ajen siapa?”
“Ajeeeeeeeeeeeeeen!”
Kedua orang tuanya lantas tertawa dan mencubit pipi gembul Ajen.
“Bukan, Bang!” Angel masih terbahak karena jawaban anaknya.
Keningnya mengerut lagi, sebelum telunjuk kecil Ajen terangkat dan memberi jawaban yang lain. “Oh! Jenal!” (Translate: Oh! Djennar!)
Telapak lebar Jerry mengusap puncak surai putranya. Mereka memang memperkenalkan Ajen dengan nama Djennar di luar rumah. Menurut Jerry, panggilan itu akan membuat anaknya terlihat lebih macho.
“Nama panjang Abang itu Radjennar Noah Juanda Suharjo.” Jerry menjelaskan.
“Ah? Cucah, Pa! Kanti aja boyeh ndak?” (Translate: Hah? Susah, Pa! Ganti aja boleh nggak?)
“Mana bisa diganti, Bang.” Angel kembali menjawil pipi Ajen.
“Nanti Abang pasti bisa sebutin kok,” ucap Jerry.
“Sekarang, Abang mau kasih ide buat nama dedek kembar nggak?” Sang ayah kembali menawarkan kesempatan.
“Kakak?” tanya si kecil.
“Ya terserah, buat nama Kakak boleh, buat nama Adek boleh.”
Mereka memutuskan untuk memanggil si cowok dengan sebutan 'Kakak' dan si cewek dengan sebutan 'Adek'. Entah siapa yang nanti lahir terlebih dahulu, panggilan itu akan tetap sama.
“Jiji ama Jeje,” jawab Ajen cepat.
Jerry dan Angel saling menatap. Lucu juga, pikir mereka.
“Jannuar Zion,” celetuk Jerry.
“Jannesa Zelda,” timpal sang istri.
“Juanda Suharjo,” ucap mereka bersama.
“Ajen tau nggak kalo nama Ajen itu gabungan dari inisial Mama sama Papa?”
Pertanyaan Jerry menyita perhatian bocah kecil di pangkuannya yang sedari tadi hanya menatap kedua orang tuanya penuh tanya. Bola matanya bagai kristal tertubruk sinar, bercahaya.
“Apa?” tanya anak itu.
Akhirnya, mereka pun membahas asal mula nama Ajen, dilanjutkan dua nama yang tadi mereka sebut masing-masing. Masih sama seperti nama si sulung, konsep nama anak kembar mereka pun merupakan gabungan dari inisial keduanya, ditambah inisial Ajen.
Angel dan Jerry sepakat untuk menamai anak mereka dengan inisial R dan J, sama seperti inisial mereka. Untuk anak pertama, mereka memakai insial R. Maka, untuk si kembar, mereka memilih J.
Radjennar = ( R ) (A)nak (D)ari (J)erryan (E)do (N)ajuanda (N') (A)ngel Jannuar = (J) (A)diknya (N)oah (N)o. d(UA) ( R ) Jannesa = (J)erry (A)ngel (N') (N)oah (E)di(s)i du(A)
@guanhengai, 2022.