35.

Suara mesin mobil tetangga terdengar jelas dari ruang tamu. Angel baru selesai memberi ASI pada anaknya yang kini kembali terlelap, sedangkan Jerry sibuk mencuci piring setelah mereka menyantap masakannya.

Basa-basi Ibu dengan tetangga sebelah samar-samar terdengar. Kondisi Angel setelah melahirkan dan alasan Ibu datang ke Jakarta adalah topik yang mereka obrolkan.

Di antara canda ringan istri dan kedua kakak iparnya, Jerry menyandarkan punggung sembari menggelengkan kepala hingga lehernya berbunyi krrrkkk.

“Kalian biasanya bangun sepagi ini?” Mas Aryo asked curiously setelah tangannya berhasil membuka toples berisi kacang bawang.

Yang ditanya segera mengangguk. He folded a comforting arm around his wife and pulled her closer. “Kadang Angel yang bangun duluan, Mas.” Mata Jerry menatap bangga gadis dalam dekapannya, “Habis itu main di kamar Ajen seharian deh.”

“Oh, cemburu ceritanya?” Mba Laras menimpali adik ipar yang telinganya mulai merona.

Mas Aryo terkekeh, wajah Jerry yang memerah selalu membuat dirinya gemas dan enggan untuk berhenti menggoda. “Masa sama anak sendiri cemburu, Jer?”

Jerry tersenyum, menggeleng, “Nggak cemburu, cuma bete dikit.”

Mas Aryo kembali terkekeh, ia mengambil cangkir berisi teh hangat yang tersisa setengah. “Kalian jadi jalan?” tanyanya pada istri dan adiknya.

“Jadi kan, Ngel? Sebentar lagi deh, tunggu ada matahari.” Mba Laras melirik sedikit ke arah jendela yang tirainya sudah dibuka.

Langit abu-abu masih menyelimuti muka bumi, pun jarum pendek belum menyentuh angka tujuh. Ibu yang terbiasa bangun pagi membuat anak-anaknya ikut terbangun meski belum memasuki jam produktif.

“Jangan terlalu jauh, takut Angel belum kuat.” Kedua alis Mas Aryo bergelombang, menatap ragu dan cemas pada adiknya.

Angel sontak tersenyum, paham jika kakak laki-lakinya sangat peduli pada dirinya. “It's okay, gue udah kuat.”

Setelahnya, obrolan ringan terdengar hingga ruang-ruang lainnya, lalu disambut gelak tawa yang saling bersahutan. Ruang tamu berisi empat manusia dewasa itu terasa hangat kala kisah mengenai kehidupan rumah masing-masing terkoar. Hingga mentari mulai menampakkan diri, barulah Angel dan Mba Laras pamit untuk keliling komplek perumahan.


Angel menatap ujung sepatunya yang tak menyentuh aspal, lalu perlahan bergerak ke arah betis yang tak tertutup kain. Celana selutut yang ia kenakan membuat betis bengkaknya terlihat jelas, pun stretch mark di bagian belakang kakinya.

Sembilan bulan mengandung Ajen bukan hanya mengubah statusnya, namun juga tubuh dan mental Angel.

“Masih suka pegel, Ngel?” tanya Mba Laras seraya menyerahkan sebotol mineral dingin pada adik iparnya.

“Lumayan, Mba. Betis sama selangkangannya kadang masih kram, kadang dada gue juga ngilu pas Ajen lagi minum susu,” ucapnya tak terlalu keras, namun masih tertangkap daun telinga Mba Laras.

Tangan Angel langsung menggenggam pergelangan sang kakak ipar saat wanita cantik itu memberi pijatan kecil di punggungnya. Rautnya menunjukkan rasa bersalah dan tidak nyaman. “Jangan, Mba. Biarin aja,” katanya.

Mba Laras melirik sekilas, kemudian kembali memijat bagian belakang Angel. “Ini emang wajar, tapi jangan dibiarin juga,” tuturnya.

Angel yang tetap merasa tidak nyaman pun bergeser sejenak menghadap Mba Laras dan mengajak kakak iparnya untuk ikut menikmati udara pagi di taman komplek.

Sepuluh menit berjalan menyusuri gang perumahan ternyata berhasil menyita banyak energi dari tubuh mereka. Beruntung tukang sayur yang selalu lewat memiliki persediaan air mineral di gerobaknya, sehingga kedua ibu beranak satu itu bisa santai sejenak.

“Gimana rasanya punya newborn?” tanya Mba Laras seraya meluruskan kedua kakinya.

“Ya gitu deh, Mba. Belum seminggu aja udah ngerasa jompo,” jawab Angel yang langsung disambut tawa anggun kakak iparnya.

“Hahaha! Tapi suami lo bisa diajak kerja sama, kan?”

“Hm,” Angel mumbled. She rested her back against the bench. “Dia selalu nemenin gue pas jagain Ajen, tapi pas udah selesai ya ikut tidur. It’s not his fault, I guess. It’s my fault, for expecting too much.”

Silence lapsed over them both as they heard the greengrocer walks away. Hela napas panjang Mba Laras mengundang Angel menatap lurus asisten rumah tangga yang sedang menyuapi makan sang anak majikan.

“Itu jeleknya cowok, Ngel. Mereka bisa sweet banget pas pacaran atau awal-awal nikah, tapi lama-lama mereka lupa dan bikin kita merasa terabaikan. Sebelum terlambat, mending lo omongin ini sama Jerry. Kalian harus obrolin apa yang bikin kalian nyaman, apa yang kalian mau, apa yang kalian harapkan ke depannya.”

“Oh,” Angel sighed. “Gue bingung sama Mas Jerry. Dia tuh baik, baik banget malah. Dia gak pernah marah sampe ngebentak gue. But, at the same time, dia juga nggak pernah dengerin alesan gue. Arghhh…”

Angel memejamkan matanya sejenak, mempersilakan otaknya untuk menyusun kata-kata yang dapat dimengerti kakak iparnya. “You know, he always hugged me till my crying stops, tapi dia cuma nanya alesan gue nangis. I mean, dia nggak pernah bener-bener nanyain apa yang gue rasain? Gimana perasaan gue pas itu? Yang dia tau tuh I'm crying ‘cause theres something hurts me. Padahal, kadang gue nangis karna gue nggak tau mau jelasin kayak gimana ke dia.”

Mba Laras tersenyum kala Angel berhasil mengeluarkan unek-uneknya. Itu adalah alasannya mendampingi Angel di sini selama beberapa waktu. Mba Laras pernah berada di posisi Angel dan tidak memiliki siapa pun untuk berbagi cerita. Ia tidak akan membiarkan adik iparnya mengalami hal serupa.

“So? Apa yang lo rasain sekarang?” tanya wanita itu lembut.

“I don’t know. Capek, seneng, sedih, bingung, takut. Pas gue liat Ajen tidur rasanya seneng banget, nggak percaya juga dia tiba-tiba lahir sebagai manusia. Like, oh my God, he was born from my womb. Tapi, pas dia nangis, rasanya gue ikut sedih, capek, dan ngerasa I’m not a good mom.”

Mba Laras menangkap kilapan di mata adik piarnya kala sinar mentari menubruk netra sendu itu. Kantung mata yang menebal menandakan apa yang Angel ceritakan benar-benar terjadi

Memiliki anak memang bukan perkara mengadon, mengandung, melahirkan. Di luar sana banyak orang tua menganggap anak sebagai investasi karena mereka mengeluarkan banyak usaha untuk membesarkannya. Padahal, anak merupakan kado dari Tuhan yang harus mereka jaga dan pelihara.

Kapan pun Tuhan ingin mengambil, mereka akan pergi. Orang tua juga yang akan menangis ketika anaknya pergi. Namun, sewaktu hidup, mereka hanya menganggapnya sebuah barang investasi. Menyedihkan.

“Lo bisa cerita apa yang lo rasain ke gue, Ngel. Itu pun kalo lo nyaman cerita sama gue.” Mba Laras menepuk lengan Angel dua kali.

Wanita itu kemudian menatap lurus anak balita yang sedang berusaha mengayunkan tubuhnya di ayunan kecil. “Gue nggak bakal sepenuhnya paham sama apa yang lo rasain, tapi setidaknya itu bisa ngurangin beban lo.”

Rambut hitam legam dan tatap teduh Mba Laras selalu memikat siapa pun yang melihat dirinya. Bahkan, Angel merasa nyaman jika berada di sekitar wanita tersebut. Satu-satunya orang yang tidak pernah menanyakan 'kapan menikah' pada dirinya adalah Mba Laras.

Angel mengerjap beberapa kali, “Mas Aryo terlalu beruntung dapet istri kayak lo, Mba.” Kedua sudut bibirnya terangkat kala melihat wajah Mba Laras ikut memerah.

“Sama-sama beruntung, Ngel.” Wanita itu terkekeh pelan, jemarinya berpindah ke beberapa helai rambut yang jatuh menutupi pelipisnya.

Sepanjang obrolan mereka, Angel tak henti-hentinya berterima kasih pada Tuhan karena telah menghadirkan Mba Laras di sampingnya.


Di rumah,

“Jer, mosok anakmu ndak dipakaikan bedong gitu? Nanti kakinya bengkok, lho.”

Jika Jerry mampu melawan, mungkin sudah dari tadi ia lakukan. Namun, dirinya masih memiliki rasa takut dan hormat pada mertuanya.

Hampir tiga puluh menit Mba Laras 'menculik' Angel ke luar rumah. Ajen yang semula terlelap pun sudah bangun dan protes di dekapan sang papa.

Sama seperti Angel, Ajen juga tidak suka kepanasan. Si kecil yang belum genap seminggu itu akan menangis kencang hingga Jerry dan Angel melepas kain yang melilitnya. Akhirnya, mereka melepas bedong Ajen dan hanya menyelimuti anaknya dengan kain berbulu tebal.

Jerry tersenyum kecut seraya menggoyangkan tubuh Ajen. “Tadi Ajen nangis, Bu. Jerry lepas sebentar bedongnya sampai Ajen tidur lagi.”

“Nggak baik, lho. Coba ambilkan bedongnya, biar Ibu yang pasang.”

Lelaki itu sempat terdiam. Hati kecilnya ingin menolak permintaan sang ibu, namun Jerry tidak seberani itu. Ia pun mengangguk kecil dan bersiap beranjak ke kamar. Belum sempat kaki kanannya melangkah, suara dari arah kamar mandi terdengar.

“Kaki anak bayi itu memang belum lurus, Bu. Lama-kelamaan juga lurus sendiri kok, nggak perlu dibedong setiap saat. Yang penting kan anaknya nyaman.”

Kedua sudut bibir Jerry langsung terangkat. Senyum lega terpancar di wajahnya saat Mas Aryo keluar kamar mandi dengan handuk yang masih tersampir di bahu.

Ibu tidak menjawab pernyataan Mas Aryo. Beliau hanya menatap anak sulungnya dengan sirat tidak terima. “Kakimu sama adik-adikmu dulu Ibu bedong terus lho, Mas.”

Pria bertato kecil itu pun menghampiri sang ibu dan merangkul bahunya. “Iya, tapi ini kan anaknya Angel sama jerry, Bu. Ajen itu sama kayak Angel, nggak suka panas. Mungkin dia ngerasa sumuk pas dibedong, jadi rewel.”

Lagi-lagi senyum Jerry mengembang. Kini tak sepenuhnya lega, namun didominasi rasa bersalah. Ia merasa dirinya kurang tegas dan membuat Mas Aryo angkat bicara untuk menjelaskan hal tersebut pada Ibu.

Seharusnya Jerry bisa berkata demikian. Seharusnya Jerry bisa membela anaknya di depan Ibu. Seharusnya Jerry bisa menyampaikan pendapatnya. Seharusnya Jerry tidak hanya menuruti apa yang orang lain katakan. Terlalu banyak 'seharusnya' di benak lelaki itu saat ini.

“Udah, udah. Gimana kalau sekarang Ibu mandi? Aryo udah siapin alat mandinya. Jerry juga, mendingan lo telfon Angel. Si Ajen mau mandi sama minum susu, kan?” Saran Mas Aryo yang langsung diangguki Jerry.

Meski raut Ibu belum sepenuhnya menerima, dorongan tangan kanan Mas Aryo yang masih merangkul bahunya ke arah kamar mandi membuat wanita lanjut usia itu pasrah.

Sebelum tubuhnya benar-benar menjauh, Mas Aryo menengok ke belakang dan menghadiahkan kedipan untuk sang adik ipar. Jerry pun mengangguk sembari mengucap 'terima kasih' tanpa suara.

Jerry selalu menyukai cara Mas Aryo meredam konflik dan menjelaskan tanpa menghakimi. Ia banyak belajar dari kakak iparnya tentang cara menghadapi orang lain.

“Huft, untung gue yang digituin. Coba kalo Angel? Bisa-bisa dia kepikiran,” gumamnya seraya memasuki kamar untuk menelepon sang istri.


@guanhengai, 2022.