41.

Kepala Rhei tidak pernah sederhana. Seperti gulungan benang tak beraturan yang kemudian terikat satu sama lain, begitulah gambaran isi kepala gadis berusia 27 tahun itu. Meski raganya terlihat berjalan lurus menuju rumah Gerald, pikirannya mengejar kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti.

“Anjir! Gue harus ngomong apa di depan Gerald?”

“Hai, Mas Gerald. Gue Rhei, cewek yang kucing dan BH-nya nyasar ke rumah lo.”

Rhei menepuk pipi kanannya. “Nggak gitu dong, Rhei.”

Dia kemudian kembali berjalan, masih dengan memikirkan kalimat yang akan dilontarkannya. Jemari gadis itu meremas tali totebag di bahu kanannya serta menggigit bibir bawah berkali-kali. Pertemuan kali ini benar-benar memorakporandakan struktur otaknya.

Bising obrolan ibu-ibu tak lagi mengganggu Rhei, pun bakul ice cream tung-tung yang selalu dia panggil setiap sore dilewatinya begitu saja. Pak Gus —nama penjual ice cream tersebut— menatap bingung gadis itu. Senyum cerah yang biasa Rhei pamerkan berubah menjadi kerutan dalam di keningnya.

“Mbak Rhei! Awas!” Rhei baru menyadari keberadaan Pak Gus kala pekik itu terlontar dari mulutnya.

Selokan besar tepat berada beberapa centi dari ujung sepatu Rhei. Rumah Gerald memang berada di ujung jalan, bersebelahan dengan mushola kecil yang selalu ramai dengan anak-anak saat sore menjelang.

“Kalau anak-anak sudah pulang ngaji, pasti rasa cokelat habis, Mbak.” Begitu curahan hati Pak Gus kala Rhei protes karena ice cream cokelat selalu habis lebih dulu.

“Aish! Untung nggak kecebur got. Makin hancur image gue di mata Gerald!” gerutunya.

Gadis itu terdiam sejenak. Dia sudah berada di depan selokan. Berarti, gerbang rumah Gerald sudah terlewat beberapa meter. Telapaknya pun hinggap di dahi, mengutuk kebodohannya. Rhei berbalik, lalu tersenyum kikuk ke arah Pak Gus. Lalu, dia menilik ke dalam rumah Gerald untuk memastikan tidak ada yang menunggunya di depan pintu.

“Huft, untung nggak ada orang di sana,” tuturnya lega seraya mengusap dada.

Mikirno opo, toh? Kok sampe hampir nyemplung?” tanya Pak Gus. (Translate: Mikirin apa, sih?)

Ndak mikirin apa-apa, Pak. Cuma lagi melamun aja. Makasih ya, Pak,” jawab Rhei disertai hawa panas yang mulai menjalar ke seluruh wajahnya.

Gadis itu mengangguk pada Pak Gus sebelum berjalan menuju gerbang rumah Gerald. Beribu doa sudah menguap dari mulut dan otaknya, meminta pertolongan Yang Maha Kuasa agar memberi kelancaran pada segala rangkaian peristiwa yang akan terjadi beberapa menit lagi.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Rhei bertemu secara langsung dengan Gerald. Pak Bun sering mengundang anak-anak kos untuk menghadiri syukuran atau sekadar makan-makan besar di rumah beliau. Di kesempatan yang sama, pemilik kos terbaik yang pernah Rhei kenal itu juga mengundang beberapa tetangga, termasuk Gerald dan Delvin.

Jika kalian berpikir Gerald merupakan penyanyi dengan jam manggung yang super sibuk seperti Tulus atau Raisa, kalian salah besar. Dia hanya menghadiri event-event di cafe terbuka dan beberapa angkringan di daerah Yogyakarta. Jika 15 tahun silam Gerald tidak hengkang dari boybandnya, mungkin sekarang Rhei akan melihat wajah tampan itu menghiasi layar kaca setiap hari.

Gerald adalah mantan artis cilik yang memilih untuk berkarya sendiri. Sayangnya, hanya ada dua album yang berhasil dia kerjakan sejak keluarnya lelaki berdarah Jawa-Manado itu dari boybandnya. Meski begitu, Rhei tetap menjadi fans setia yang selalu update tentang kegiatan Gerald.

Hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa Rhei lebih suka tinggal di Yogyakarta dibandingkan kota asalnya. Terlebih, seorang Geraldo Mahendra Griffin tiba-tiba menempati rumah di samping kosnya beberapa bulan silam. Jika jiwa fangirlingnya sedang memuncak, Rhei akan mengatakan itu sebagai takdir terbaik.

“Ohhhh, nama lo Rhei?”

Gadis itu terjingkat saat mendengar suara lain di dekatnya. Lagi-lagi dia menghela napas sembari menahan malu karena hampir saja menabrak lelaki berkaos putih yang berdiri menjulang di hadapannya. Rhei mengenal sosok tersebut. Delvin, manager artis paling eksis dan narsis beberapa tahu terakhir.

image

Rhei lebih suka manager Gerald sebelum Delvin, Om Abad. Om Abad berhenti bekerja saat usia Gerald menginjak 20 tahun karena alasan medis. Lalu, posisinya digantikan oleh sang putra yang kini sedang menatap Rhei dari ujung rambut hingga kaki.

“Ngapain liatin gue kayak gitu?” tanya sang gadis.

“Idih? Siapa yang liatin lo? Itu tuh, ngeliatin sepatu baru gue yang lagi lo injek!”

Rhei mengikuti arah pandang Delvin dan menemukan benda hitam mengkilap di bawah flatshoesnya. Dia langsung bergeser dan pura-pura membersihkan sepatu Delvin. “Hehehe, sorry.”

“Hihihi, sirry!” ejek lelaki itu.

Meski tidak begitu mengenal satu sama lain, mereka sudah sering terlibat pertengkaran. Mungkin, orang-orang menganggapnya sebagai pertikaian kecil. Namun, bagi seorang Rhei, berebut ice cream cokelat merupakan tindakan tercela. Bukan hanya sekali mereka merebutkan potongan terakhir ice cream tung-tung Pak Gus, tetapi hampir setiap sore.

“Gerald mana?” Sepertinya Rhei harus belajar untuk mengontrol mulutnya.

“Kenapa nanyain Gerald? Bukannya lo ke sini buat ambil kucing gendut lo ini?” Delvin melirik binatang peliharaan di lengannya.

“Gak boleh pet shamming! Anabul gue punya hati, punya perasaan,” jawab Rhei kesal.

“Anabul? Namanya Anabul? Lebih cocok Anabelle sih.”

Kini tatapan sang gadis mulai menajam. Tangannya terulur dan siap untuk merampas kucingnya dari gendongan Delvin. Belum sempat telapaknya meraih Anabul, tubuh lelaki itu sudah melengos.

“Hey! Emang gue kelihatan berniat buat kasih kucing ini ke lo?”

Kening Rhei mengerut sempurna. “Siniin kucing gue!”

“Sabar. Kita tes kecerdasan dulu.”

Keningnya semakin berkerut. “Tes kecerdasan?”

“Yoi. Nama lengkap?”

“Hah?”

“Nama lengkap lo siapa?” tanya Delvin sedikit memaksa.

“Diajeng Kimberhei.”

Kini gantian kening Delvin yang mengerut. “Diajeng? Literally Diajeng?”

Bola mata Rhei memutar. Dia mulai bosan mendengar pertanyaan serupa. “Iya, beneran Diajeng,” jawabnya.

“L-lo? Keturunan...”

“Iya.”

“HAH?! LO KETURUNAN DARAH BIRU???”

Meski Rhei termasuk manusia ekspresif, menurutnya ekspresi terkejut Delvin sungguh berlebihan. Mungkin seekor burung gereja dapat hinggap di mulutnya saat ini.

“Darah rendah,” tutur Rhei menanggapi pertanyaan lawan bicaranya.

Tatapan Delvin berubah sayu, pun mulutnya tertutup sempurnya persis membentuk ekspresi (-_–). “Serius, gue penasaran. Lo beneran keturunan kerajaan?”

“Bukan. Emang lo pikir Diajeng cuma boleh dipake sama keturunan darah biru? Itu punya arti umum!” sanggah gadis itu.

“Siniin Anabul gue!” Kini Rhei berhasil merebut kucingnya dari Delvin. Lelaki itu pun tidak terlihat ingin bertanya-tanya lebih lanjut mengenai namanya.

“Gue balik dulu, makasih udah jagain Anabul gue,” tuturnya sebelum berbalik sempurna dan meninggalkan Delvin di teras rumah Gerald.

Rasa penasaran yang memuncak mengenai keberadaan penyanyi itu diredam kuat-kuat, tidak ingin terlihat agresif di depan sang manager. Gadis itu berjalan santai menuju pintu gerbang. Jantung dan otaknya terasa jauh lebih normal, tidak ada lagi rasa nervous dan takut.

“Rhei! Ini ketinggalan!”

Itu bukan suara Delvin.

Tubuhnya berhenti, lalu berbalik perlahan. Lelaki berkaos hitam dan celana pendek berdiri di samping Delvin. Rambut Gerald dibiarkan tumbuh memanjang, membuat jantung Rhei kembali berdebar hebat. Gerald memang selalu berhasil membuat seluruh titik di tubuhnya menggila.

image

Tatapan RHei berpindah pada benda hijau yang sangat dia kenal. Sebuah benda rahasia yang terbawa oleh Anabul berada di genggaman Gerald. Tanpa cermin, Rhei tahu wajahnya sedang berubah menjadi tomat saat ini.

“M-mas Gerald? Ehm, anu... Itu bukan punya gue. Gue harus balik sekarang, Anabul nunggu gue di kos. Kasian, dia harus makan sore. Bye! See you!” Gadis itu berbicara dengan kecepatan di atas rata-rata sebelum kakinya ikut berlari dengan kecepatan yang tidak Gerald perkirakan sebelumnya.

“Heh? Anabul nunggu di kos? Padahal Anabulnya ada di tangan dia. Dasar cewek aneh!” Cibir Delvin.

“Anabul siapa?” tanya Gerald dengan ekspresi super polos yang mungkin akan mengundang jeritan jika Rhei melihatnya.

“Itu, kucingnya.”

Senyum manis terbit di wajah tampan lelaki itu. Dia menggeleng pelan, lalu beranjak dari teras menuju dalam rumah. Lagi-lagi tanpa pamit. “Woy! Kebiasaan banget ninggalin gue tiba-tiba! Jelangkung ya?!” pekik managernya.


@guanhengai, 2022.