411.
Sore itu Angel sedang menikmati angin sepoi-sepoi bersama Jiji. Sembari menunggu si sulung pulang, ia sesekali mengajak bayi berusia lima bulan itu mengobrol dan becanda.
“Adek, gemes banget sih kamuuuu,” tuturnya seraya mencubit pelan pipi gembul Jiji.
“Adek kangen sama Papa nggak?” tanya Angel yang hanya direspon ocehan ala bayi oleh anak bungsunya.
“Iya, kan? Kalo nggak ada Papa, nggak ada yang bisa Adek ompolin deh,” ucapnya seakan mengerti bahasa Jiji. Ia kemudian tertawa pelan saat mengingat suaminya terkena semburan belalai kecil Adek saat mengganti popok anaknya.
“Adek sebentar lagi pulang ke Kalimantan, seneng nggak, Dek?”
Tawa kecil putranya seakan menjawab pertanyaan gadis itu. Telapak gembul Jiji meraih helai rambut Angel dan menariknya tanpa aba-aba. “Eh, sakit, Adek. Ini, Adek mainan gajah aja, jangan main rambut Mama,” ucapnya seraya memberi mainan karet berbentuk gajah.
Setelah dirinya berhasil melepaskan rambut dari genggaman Jiji, suara cit-cit sandal Ajen terdengar. Dari tempat duduknya, Angel melihat bocah berusia tiga tahun itu berjalan memasuki halaman rumah. Namun, wajahnya tak secerah saat ia berangkat tadi.
Awas aja kalo sampe anak gue dibully lagi, gue tebas kepala mereka! batinnya.
“Abang bawa apa, Sayang?” tanya gadis itu saat si kecil sudah sampai di depan teras.
Sebelum menjawab pertanyaan barusan, Ajen melepas sandal kecilnya, mencium punggung tangan sang ibu, duduk di samping Angel, dan memberi telunjuknya untuk digenggam sang adik.
“Abang dikasih pemen,” kata Ajen seraya menunjukkan lolipop yang belum terbuka bungkusnya.
“Dikasih sama siapa, Bang?” tanya Angel penasaran.
“Sama Tante baik.” Gadis itu mengerutkan dahinya. Tante baik, siapa?
“Yang mana? Emang Abang kenal?” Gelengan Ajen membuat kening Angel semakin mengerut.
“Tadi Abang udah biyang ndak mau, Mama. Tapi Tante baik kasih ke olang-olang juga, ya udah Abang ambil aja. Abang udah say thank you kok,” ucap anak itu menjelaskan.
“Oh, gitu. Ya udah, nggak apa-apa. Kayaknya Tante baik emang lagi bagi-bagi permen. Terus, kenapa Abang nggak makan?”
“Kata Papa ndak boyeh maem yang dikasih olang ndak kenal,” jawabnya.
“Ya udah, terserah Abang aja. Sekarang Abang mau makan atau mandi dulu?”
Alih-alih menjawab pertanyaan sang ibu, Ajen justru diam dan menatap Angel. Jemarinya memainkan bungkus plastik yang melindungi permen pemberian Tante baik.
“Mama, Abang mau tanya,” tuturnya.
“Tanya apa, Bang?”
“Tadi Tante baik ke taman sama anaknya, tapi duduk di kulsi loda kayak Mama di lumah sakit. Anaknya Tante baik sakit ya, Mama?”
“Loh, Mama nggak tau. Kan Mama nggak ketemu sama Tante baik, Bang.”
Telunjuk kecil yang masih digenggam Jiji kemudian ditarik paksa, lalu berpindah ke pipinya sendiri. “Hm, iya ya,” ucap Ajen, wajahnya terlihat berpikir.
Bocah itu kemudian menunduk dan menggerakkan jemari kakinya. “Mama, tadi kakinya dia keciiiiiil banget, ndak kayak kakinya Ajen.”
Angel yang awalnya bersikap datar pun seketika terkejut. Bahkan, Jiji yang berada dalam pangkuannya sempat ikut terkejut karena respon mamanya. Lengan gadis itu kemudian bergerak agar si bungsu tidak menangis.
Kini, ia mengerti mengapa anak itu menggunakan kursi roda. Mungkin, Angel juga memiliki kemungkinan jawaban di balik permen yang berada di tangan Ajen.
“Terus, Abang ajak kenalan nggak?” tanya Angel yang langsung mendapat gelengan.
“Kenapa?”
“Abang takut,” cicitnya.
Angel tidak menyalahkan Ajen karena hal tersebut. Bagi anak sekecil dirinya, menerima hal-hal yang belum terbiasa dilihat adalah hal yang cukup sulit.
“Pas kemarin Mama pake kursi roda, Abang takut juga?” Geleng cepat Ajen mengundang senyum di wajah gadis itu.
“Terus kenapa tadi Abang takut?”
“Soalnya kakinya aneh, Mama.”
Lengan kanan gadis itu digunakan untuk menyangga seluruh tubuh Jiji, sedangkan lengan kirinya berpindah ke bahu Ajen.
“Otot manusia itu bekerja dengan cara yang berbeda-beda, Bang. Kursi roda adalah salah satu benda yang ngebantu orang buat jalan, jadi cara kerjanya sama kayak kaki manusia. Nah, anaknya tante baik perlu kursi roda buat dia jalan ke mana-mana.”
Jemarinya menyisir rambut tebal Ajen. “Abang nggak perlu takut. Mereka yang pakai kursi roda itu sama kayak kita, cuma cara bergeraknya sedikit berbeda. Anaknya Tante baik juga bisa main sama Abang loh, mungkin dia juga suka makan permen kayak Abang, atau suka makan ice cream?”
“Oh ya?” tanya Ajen semangat.
“Ya, mungkin. Kalo besok Abang ketemu lagi, coba ajak kenalan. Abang tanya apa yang dia suka. Siapa tau sama kayak Abang, kan? Terus, nanti Abang bisa beli bareng-bareng.”
Ajen yang diberi tahu hal tersebut pun tersenyum lebar. “MAU!!!”
Angel terkekeh pelan. “Bukan beli permen atau ice creamnya yang dihighlight, Abang. Next time, kalau Abang ketemu orang yang berbeda sama Abang, nggak perlu takut atau jauhin orangnya.”
“Kayak pas olang bilang mata Abang kecil?”
Angel sempat terdiam sejenak. Ia pikir Ajen sudah melupakan kejadian tersebut, namun nyatanya pengalaman itu cukup membekas bagi anaknya.
Gadis dewasa itu kemudian tersenyum dan membelai lembut pipi Ajen. “Iya, Sayang. Kita semua sama-sama manusia, kan? Walaupun kita punya perbedaan dan ciri masing-masing.”
Kepala Ajen mengangguk, pun mata kecilnya mengerjap. Sesaat kemudian, bocah itu menarik lengan Angel. “Besok Abang mau bawa pemen cokyat,” bisiknya.
“Buat apa, Bang?” tanya gadis itu bingung.
“Buat kasih ke anaknya Tante baik,” balasnya.
“Boleh. Tapi, kalau nggak suka jangan dipaksa.”
“SIAP, MAMA!” pekiknya yang membuat sang adik terkejut.
Beberapa saat kemudian, tangis kencang memenuhi teras berselimut sinar senja itu. Ajen yang menyadari kesalahannya pun langsung menggenggam lengan kecil Jiji dan mengucap maaf.
Alih-alih reda, isak adiknya justru semakin kencang. Kala gadis itu bersiap beranjak untuk menenangkan si kecil, suara yang ia rindukan menyapa gendang telinga.
“Asik banget ngobrolnya, sampe nggak sadar ada Papa di sini,” tutur Jerry sembari bersandar di tiang teras rumah Angel.
“PAPAAAA!!!!!” Bocah kecil yang berniat kabur dari mamanya kini justru berlari menubruk kaki jenjang sang ayah. Tubuhnya langsung terangkat dan pipinya berkali-kali dikecup Jerry.
“Papa, Adek cengeng,” adunya sembari menunjuk bayi di gendongan Angel.
“Namanya juga bayi, pasti suka nangis. Kamu juga dulu kayak gitu, Bang.” Lelaki itu mencubit hidung putra sulungnya.
“Kok kamu ke sini nggak kabarin aku, Mas?” Kini gantian Angel yang menghampiri suaminya.
“Biar kamu kaget,” jawab Jerry, kemudian mencium kening dan pipi gadis itu.
Setelahnya, sasaran bibir ranum lelaki itu adalah pipi gembul Jiji yang dipenuhi air mata. Ajaibnya, tangis bayi mungil itu perlahan mereda setelah dikecup oleh sang ayah.
“Nggak kaget tuh,” decih Angel.
“Ya udah, aku pergi lagi deh.”
Telapak Angel langsung menggenggam lengan kekar suaminya. Senyum jahil di wajah Jerry pun terlihat. “Kangen, kan?” tanya lelaki itu yang membuat wajah gadisnya merona padam.
Kekeh kecil Jerry membawa keluarga kecilnya masuk ke dalam rumah. Ransel di punggungnya tak menghambat lelaki itu untuk menggendong Ajen dan merangkul bahu Angel.
“You're the best mom,” bisik Jerry setelah Angel menutup pintu rumah.
@guanhengai, 2022.