437.

Napas Angel memberat, seberat langkah yang terus membawanya menuju ruang di ujung lorong. Padahal, beberapa hari lalu ia baru saja datang ke tempat ini untuk memeriksa keadaan sang buah hati.

Kali ini ia juga datang untuk manusia tersayang, suaminya.

Marcell setia mendampingi sahabatnya hingga pintu putih yang sedikit terbuka perlahan memperlihatkan isinya. Berkali-kali air liur tertelan tanpa perintah. Gadis itu mengabaikan segala pening dan sesak di tubuhnya.

Sebelum raganya melewati satu-satunya pembatas antara dirinya dan Jerry, ia menatap Marcell. Lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum, menyalurkan kekuatannya pada Angel.

Jemari sang gadis lantas meraih gagang pintu dan lengannya mendorong daunnya. Kala pintu terbuka sempurna, netranya langsung bertubrukan dengan milik Gavin.

Tatap lelaki itu menyiratkan khawatir begitu dalam, sama seperti yang Marcell lakukan sesaat tiba di rumahnya tadi.

Tak ingin larut dalam suasana sendu, gadis yang masih berbalut daster rumahan ditambah hoodie sang suami mendekat ke ranjang. Angel dapat melihat beberapa perban membalut tangan dan kaki Jerry. Bibir yang biasanya pink merona kini berubah pucat.

Kondisi Jerry yang tak berdaya membuat Angel semakin sesak. Suaminya selalu menjadi tameng dan sandaran kala ia berada di titik lemah. Sekarang, Angel harus sadar kalau Jerry juga manusia biasa yang bisa tumbang kapan pun.

Marcell dan Gavin memilih meninggalkan kedua insan itu. Beruntung Gavin membawa suaminya ke ruang VIP, sehingga Angel dengan leluasa merawat Jerry di sana.

Sepeninggalan dua temannya, Angel meraih telapak Jerry yang bebas dari jarum infus. Dibelainya lembut punggung tangan berurat itu.

“Mas, aku dateng,” cicit Angel memaksakan senyum di bibirnya.

Gadis itu terkekeh miris kala tak ada jawaban dari suaminya. Biasanya, Jerry selalu menjawab perkataannya meski itu hanya deheman.

Ia kemudian memainkan rambut depan Jerry yang sudah mulai menutupi mata. Jika bepergian, lelaki itu selalu membentuk koma di bagian depan keningnya. Itu jelas tidak memperlihatkan betapa panjang rambutnya.

Seharusnya besok Angel menemani suaminya memotong rambut. Namun, kejadian tergelincirnya lelaki itu di tengah hujan membuat dirinya berakhir di tempat ini.

Gavin menjelaskan tak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Jerry hanya jatuh dari motor karena terserempet . Helm yang ia kenakan juga berfungsi semestinya, jadi tidak ada benturan keras di kepala. Lelaki itu masih menutup mata karena shock saat melihat banyak darah di tubuhnya. Satu hal yang baru Angel sadari, suaminya tidak berani berhadapan dengan cairan kental berwarna merah itu.

“Seharusnya aku nggak suruh kamu pergi, Mas.”

Gadis itu menunduk penuh sesal. Demi Tuhan, dia sudah berusaha sekuat diri untuk menahan air matanya tetap di tempat. Tidak bisa. Keadaan Jerry yang seperti ini mengundang isaknya.

Derai air mata menemani Angel mengusap lembut kepala sang suami. Banyak cerita yang Angel lontarkan di saat Jerry menutup matanya. Jika lelaki itu tahu, pasti ia akan merengut dan meminta Angel mengulang ceritanya.

“Mas, kamu inget nggak pas pertama kita ketemu? Sumpah, itu kali pertama aku deg-degan setelah bertahun-tahun.”

Angel sangat jujur dengan perkataannya. Toh Jerry tidak akan mendengar, jadi ia tak perlu malu. Sepertinya itu adalah respon normal saat manusia bertemu lawan jenis yang menurutnya menarik. Perkara jatuh hati atau tidak, itu urusan nanti.

“Aku juga inget pas kamu ketemu keluargaku. Deg-degan setengah mampus, takut kamu nggak bisa nyambung sama mereka.”

Tangan lembutnya berpindah ke rahang Jerry, “ternyata suamiku emang orang hebat. Semua kalangan bisa ditembus,” lanjutnya.

Obrolan sepihak itu berlanjut pada momen saat janji nikah terucap. Perasaan terpaksa dan excited menunggu kedatangan Alle mendominasi Angel saat itu. Namun, Jerry setia menemaninya hingga penghujung malam.

Memori mengenai kejadian saat puncak festival kantor membuat Angel berhenti sejenak. Ia kembali menggenggam jemari suaminya, memberi kecupan di punggung tangan Jerry sebelum melanjutkan cerita.

“Dulu kamu tanya kan, gimana perasaanku pas tau dedek bayi ada?” Senyum pilu gadis itu terpancar dari wajahnya. Segala ketikan yang pernah ia kirim ke Jerry kembali mengusik benaknya.

“Aku seneng, Mas. Tapi juga takut ....”

Setetes air mata kembali meluncur bebas ke pipinya.

“Aku takut kamu ninggalin aku kayak temen-temen yang cuma butuh uangku.”

Sempat ada jeda sedikit untuk sang gadis menyelesaikan tangisnya. Kenangan masa kecil Angel membuat gadis itu hanya memiliki dua teman dekat, Marcell dan Hargi.

Momen di mana ia menyadari hadirnya makhluk kecil di dalam tubuhnya menjadi memori yang sangat berbekas di ingatannya. Ia takut Jerry tidak menginginkan anaknya, karena tujuan pernikahan mereka hanya sebatas uang. Namun, melihat Jerry menangis untuk pertama kali adalah bukti bahwa suaminya juga menginginkan anak mereka.

“Maaf, Mas. Maaf aku udah ajak kamu bohong, bikin hidup kamu berantakan, nyakitin kamu dengan kata-kataku. Maaf kalo aku selalu ngerepotin kamu ....”

“Maaf karena aku yang bikin kamu jadi kayak gini,” ujarnya sedikit bergetar.

Angel sadar ribuan kata maaf pun tidak layak terucap atas sikapnya pada Jerry. Dulu, ia hanya tidak ingin seseorang mengenalnya terlalu dalam hingga menciptakan rasa ketergantungan. Angel sudah cukup kehilangan ayah dan pujaan hatinya semasa remaja. Ia ingin berdiri di atas kakinya dan bersandar pada peluknya sendiri.

Gadis itu beranjak dari duduk dan mendekatkan wajahnya ke kening sang suami. Satu telapak menahan perut buncitnya agar tidak terbentur pinggiran ranjang.

“Makasih buat semuanya, Mas.” Kecupan hangat mengikuti kalimatnya.

“Aku sayang kamu,” batin Angel sebelum didudukkannya lagi tubuhnya.

Matanya semakin berat seiring waktu bergulir. Di ujung ruang hanya ada sofa yang hanya cukup untuk berbaring satu bocah berusia 10 tahun. Jika Angel memaksakan diri untuk tidur di sana, ia yakin besok pagi dirinya sudah tergeletak di lantai.

Tidur dengan posisi duduk adalah satu-satunya pilihan. Lagi pula, ia akan lebih mudah membantu suaminya jika Jerry bangun nanti. Telapak hangat Jerry masih setia digenggam hingga sang gadis beranjak ke alam mimpi.

Belum sempat memasuki gerbang bawah sadar, tepukan di bahunya membuat mata beratnya terpaksa dibuka. Ada Gavin dengan senyum tak bersalah di belakangnya.

“Ngapain gue sewa ruang VIP kalo lo tidurnya di sini?” tanya lelaki itu.

“Nggak ada kasur, Vin,” jawab Angel malas. Ia sudah benar-benar mengantuk saat ini.

“Itu, di samping suami lo. Ranjang segede itu bisa buat tidur sekeluarga kali, Ngel.” Mata lelaki berhidung mancung itu menunjuk space kosong di samping Jerry.

Tanpa banyak bicara, Angel menuruti perkataan Gavin.

“Gue bantu, Ngel.” Gavin berusaha menggenggam lengan Angel setelah mendapat tepisan pelan.

“Nggak usah, gue bisa sendiri,” jawab sang gadis saat berhasil naik ke ranjang.

Ia sempat memastikan posisinya agar tidak menyakiti Jerry dan menekan putranya di dalam sana. Dengan seluruh rasa kantuk, Angel langsung menutup mata dan mengabaikan kehadiran Gavin.

Tenang, ia sudah berdoa tadi.

“Good night, Sayang.”

Itu adalah kalimat samar yang ia dengan sebelum dirinya benar-benar memasuki alam bawah sadar.


@guanhengai, 2021.