437.
Kelihatannya siang ini pusat tata surya sedang malu-malu untuk menunjukkan hadirnya hingga Kota Depok terlihat lebih mendung dari hari biasa. Jalanan di depan panti asuhan dipenuhi kendaraan lalu lalang. Tidak hanya karyawan yang mencari santap siang, banyak juga penjual yang lewat dan singgah di halaman panti.
Berbeda dengan suasana riuh di luar sana, Angel dan bayi berusia satu setengah tahun sedang menikmati ketenangan di kamar belakang. Kasur di panti memang tidak setebal miliknya di rumah, namun tetap nyaman untuk gadis itu menyusui Jiji.
Bocah kecil itu sudah berpindah posisi sebanyak yang tak bisa Angel hitung selama lima belas menit menyusui. Dipangku, tidak mau. Diajak berbaring, menolak. Benar-benar bergerak sesuka hatinya. Belum saat Jiji gemas dan menggigit nipple Angel dengan giginya yang baru saja tumbuh. Ugh, mantap.
“Adek, mimiknya pake posisi normal aja bisa nggak?” tanya Angel yang sudah lelah mengikuti pose abstrak si Adek.
“Mamau!” jawab anak itu.
“Adek nggak mau mimik lewat botol aja, Sayang?” Kini giliran Jerry yang bertanya.
“Mamau!”
Hela napas terdengar dari sepasang suami istri itu. Dulu, saat Ajen masih sebesar Jiji, Angel selalu menyusui dengan posisi yang pernah diajarkan dokter dan perawat. Gadis itu benar-benar memperhatikan kenyamanan Ajen dan dirinya. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi si Adek. Angel sudah memasrahkan semua pada sang anak, yang penting dia nyaman.
Benar kata Ibu, setiap anak memang memiliki cerita masing-masing. Meski terlahir dari rahim yang sama, Angel dan jerry tidak bisa menyamaratakan pola asuh Ajen dan Jiji. Mereka membawa karakter masing-masing dan harus dididik dengan cara yang berbeda pula.
Si sulung lebih suka bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya, sedangkan Adek harus mencoba terlebih dahulu untuk membuktikan dugaannya. Tentu hal tersebut membuat Jerry dan Angel kewalahan.
Beberapa waktu silam, kening Adek dihiasi oleh benjolan sebesar telur puyuh karena terjatuh di tempat cuci baju. Jerry sudah memperingati agar anak bungsunya tidak berlari di sekitar tempat tersebut. Namun, Jiji adalah Jiji yang penasaran oleh segala hal.
Setelah kejadian jatuh dan meraung-raung, bocah itu baru berhati-hati saat melewati lantai licin. Mungkin, Jiji memang harus merasakan sakit terlebih dahulu untuk berpikir sebelum melangkah.
Jerry dan Angel hanya berharap Jiji tidak pernah coba-coba jika menyangkut orang lain.
“PAPAAAAAA!!!!” Suara Ajen dari luar kamar terdengar meski raganya belum terlihat.
Jerry yang tahu sebentar lagi bocah itu akan masuk ke dalam kamar pun mengambil selimut kecil Jiji untuk menutup dada sang istri.
Brakkkk
“Papaaa!” panggil Ajen lagi setelah mendobrak pintu.
Brakkk
Pintu kembali tertutup karena Ajen tidak menahannya.
“Abang, Papa tetep bisa denger kok kalo Abang panggil kayak biasa,” tutur Jerry saat si sulung sampai di samping tubuhnya.
“Sorry, Papa,” jawab anak itu sembari kakinya memanjat ranjang.
“Bang!” Kini suara Jiji menyapa sang kakak. Mulutnya langsung terlepas dari payudara Angel dan merangkak ke arah Ajen.
“Loh? Ini mimiknya udah?” tanya Angel yang tidak digubris oleh si bungsu.
Lelaki di samping gadis itu langsung menangkap anaknya yang sudah meronta. Ia mencekal paha gembul Jiji dan mengungkung bocah itu.
“Adek, kalo habis mimik bilang apa ke Mama?” tanya Jerry.
“Cici!” jawab si kecil imut. (Translate: terima kasih)
Angel yang semula kesal pun langsung tersenyum gemas. “Sama-sama, Sayang.”
“Nah, gitu dong. Masa Mamanya ditinggal gitu aja?” Jerry terkekeh seraya mencubit pelan pipi Jiji.
Setelah lepas dari pelukan ayahnya, bocah itu kembali merangkak ke arah Ajen. Sang kakak sudah tahu apa tujuan adiknya menghampiri dirinya.
“Adekk, stopppp!” pekik Ajen seraya telapaknya mendorong kepala Jiji.
“Eh, Abang, sakit loh kepalanya Adek digituin,” tegur Jerry pelan.
“Emang sakit, Dek?” tanya Ajen yang hanya direspon tatapan bingung.
“Tuh, nggak sakit, Pa. Abang pelan kok dorongnya,” bela Ajen.
“Dekdekdekdek!” Tangan mungil Jiji kini sudah berusaha meraih balon tiup dalam genggaman Ajen. Sang kakak pun segera menyembunyikan benda tersebut di belakang tubuhnya.
Alih-alih tenang, bayi itu justru menangis kencang. “Dekdekdek! Huaaaaaaa”
Angel yang baru selesai mengancing kemeja pun dibuat pusing oleh anaknya. Jiji sama seperti kebanyakan adik yang selalu penasaran oleh milik kakaknya. Pun Ajen seperti kebanyakan kakak yang terkadang pelit oleh apa yang ia miliki. Jika mereka berdua sedang dalam mode seperti itu, Angel dan jerry yang kewalahan menengahinya.
“Sini Adek sama Mama dulu,” ujar Angel, kemudian mengangkat tubuh kecil Jiji.
“Dekdekdekdek!!!”
“Itu punya Abang, Dek. Adek mainan yang lain dulu, ya?”
“Dekdekdekdek!!!”
Sepertinya benda apa pun tidak akan digubris oleh Jiji. Ia hanya ingin sesuatu yang kini digenggam erat oleh abangnya.
“Biarin dulu dia nangis,” ucap Jerry pada sang istri.
“Abang sini, duduk sama Papa.”
Anak berusia empat setengah tahun itu pun beranjak dan duduk di paha Jerry. Ia melihat bagaimana adiknya tantrum, sedangkan jemari kecilnya memainkan ujung kaos sang papa.
“Papa, Abang kasi balonnya ke Adek aja?” tanya Ajen sedikit berbisik.
“Nanti aja, Abang mainin dulu,” jawab lelaki itu.
“Abang udah nggak main kok.”
Bohong. Jerry tahu anaknya sedang berbohong. Lelaki itu tentu hapal perilaku si sulung. Ia akan berteriak dari luar kamar dan memanggilnya karena ada hal baru yang ingin ia pamerkan. Saat Jerry melihat balon tiup di tangan Ajen, ia sudah tahu bahwa anaknya akan memamerkan mainan barunya.
“Nggak apa-apa, Abang simpen dulu balonnya ya, Sayang.”
Ajen mengangguk dan kembali menyembunyikan benda tersebut. Sebagai gantinya, ia mengulurkan tangannya pada Jiji dan menggenggam jemari sang adik.
Butuh waktu lama untuk menunggu Jiji berhenti menangis. Meski wajahnya sudah memerah dan napasnya sesak, bocah kecil itu tak langsung mengakhiri isaknya.
“Adek udah selesai nangisnya?”
Tentu pertanyaan Jerry tidak dijawab oleh anak itu. Wajahnya bersembunyi di dada Angel meski ekor matanya terus melirik sang ayah.
“Sini, Adek sama Papa,” tutur Jerry sembari mengulurkan tangannya untuk mengambil Jiji.
Cengkraman di bahu Angel seketika mengerat. Si bungsu tidak ingin berpindah ke pangkuan ayahnya.
“Eh, nggak apa-apa, Sayang,” ucap gadis itu pada anaknya, kemudian perlahan melepas cengkaram Adek.
Beberapa detik kemudian, tubuh kecil itu terangkat dan berpindah di paha sebelah kiri Jerry, tepat di samping kakanya. Wajah Jiji masih sembab dan bekas air mata belum mengering di pipinya. Kedua sudut bibirnya juga masih melengkung ke bawah karena takut.
Jari lelaki itu menyisir surai Jiji yang tak kalah tebal dengan milik Ajen. “Cup cup cup, anak Papa. Kenapa Adek takut sama Papa? Papa nggak marah kok sama Adek.”
“Adek mau apa? Hm?” tanya Jerry lagi, masih dengan mengusap kepala putranya.
“Eung!” jawab Jiji seraya menunjuk benda di tangan Ajen.
“Adek mau pinjem mainannya Abang?”
Angguk kecil bocah itu menjawab pertanyaan sang ayah.
“Terus kenapa pinjemnya pake nangis? Emang Abang paham kalau Adek pinjemnya sambil nangis kayak tadi?”
Kini gelengan yang merespon Jerry.
“Terus? Kenapa Adek nangis?”
Netra bulat berhias air mata menatap lucu lelaki itu. Hidung merahnya sungguh ingin sekali dicubit oleh Jerry. Namun, kali ini ia harus tegas pada Jiji. Ini bukan kali pertama anak bungsunya merebut mainan Ajen. Jerry sangat paham rasanya terpaksa mengalah untuk menghindari pertengkaran dan ia tidak ingin Ajen memendam hal tersebut.
“Sayang, kalau Adek mau pinjem sesuatu, Adek harus izin sama yang punya. Ya, kan?” tanya Jerry yang langsung diangguki Jiji. Tangan kecilnya kemudian terulur untuk meraih balon tiup Ajen.
“Eh, sebentar, Papa belum selesai ngomong sama Adek.” Lelaki itu menahan lengan putranya.
“Adek emang udah izin ke Abang?”
“Eung,” jawab Jiji disertai gelengan.
“Oke, coba sekarang Adek izin ke Abang,” titah jerry.
“Abang ...”
“Bang ...” Bocah kecil itu mengikuti perkataan ayahnya.
“Abang masih pake mainannya atau enggak?”
“Inan?”
“Pelan-pelan, Mas,” tutur Angel menyela.
“Abang masih,” tutur Jerry lagi, kembali menitah Jiji.
“Bang cih,”
“Pake mainannya,”
“Ke inan,”
“Atau enggak?”
“Ndak?”
Netra lelaki itu kemudian berpindah pada putra sulunya. Kelopak Ajen hanya mengerjap lucu, terlihat bingung memilih jawaban yang akan ia lontarkan. Mungkin, benaknya sedang bergulat untuk memberi respon yang jujur atau yang menyenangkan hati Jiji.
“Masih,” jawab Ajen yang kemudian memilih respon jujur.
“Adek denger apa yang Abang bilang?” Kini Jerry kembali bertanya pada bayi itu.
“Cih!” jawab Jiji semangat.
“Nah, Adek udah tau kan kalau Abang masih pake mainannya?” Anggukkan Jiji merespon pertanyaan sang ayah.
“Kalau Abang masih pake, berarti Adek harus nunggu dulu. Setelah Abang selesai, Adek baru izin lagi buat pinjem. Kalau Abang udah izinin, Adek boleh pake mainannya. Paham, Dek?”
Kepala mungil itu mengangguk.
“Nice,” tutur Jerry. “Sekarang Adek minta maaf ke Abang karena udah berniat rebut mainan Abang tadi,” lanjutnya.
“Bang,” tutur Jiji sembari mengulurkan tangan kanannya.
Alih-alih membalas, Ajen justru memajukan tubuhnya dan memeluk Jiji. Bukan hanya bayi itu yang terkejut, Angel dan Jerry pun membelalak dan tersenyum penuh arti. Bahkan, sang ibu sampai menggigit bibirnya karena salah tingkah.
“It's okay, Adek. Kita bisa main balonnya sama-sama. Adek mau main sama Abang?” tanya Ajen yang pasti langsung diangguki sang adik.
Putra sulung itu kemudian menatap kedua orang tuanya bergantian. “Papa, Mama, boleh Abang ajak Adek main balon di luar?” izinnya.
“Boleh, Sayang. Tetep hati-hati, ya,” tutur Jerry sembari membelai lembut kepala Ajen.
Tubuh kecil itu langsung beranjak turun dari ranjang. Ia juga membantu adiknya dan menggandeng tangan kecil Jiji ke luar kamar. Dengan hati-hati, Ajen menuntun si bungsu menuju halaman belakang panti.
Kala dua tubuh mungil itu sudah hilang ditelan lorong panti, Jerry bersandar pada kepala ranjang. Sang istri yang baru memastikan anak mereka baik-baik saja pun ikut bergabung dengan lelaki itu.
“Ajen kok bisa sama persis kayak kamu, ya?” tanya Angel seraya terkekeh pelan.
“Kenapa? Bikin kamu salting terus?” goda sang suami.
“IDIH?!”
Tawa Jerry menggema hingga lorong depan kamar mereka. Lengan kekarnya memeluk pinggang Angel seraya bibirnya mengecup leher sang gadis.
“Satu hal yang Ajen nggak bakal bisa kayak aku,” ucap lelaki itu.
“Apa?”
“Bikin kamu teriak keenakan,” bisiknya hingga membuat darah Angel berdesir hebat.
“GILA!” hardik sang gadis yang kemudian mengundang tawa Jerry lebih hebat dari sebelumnya.
@guanhengai, 2022.