455.
Obrolan para jangkrik menemani lamunan gadis di bawah lampu yang mulai redup. Kakinya bergoyang mengikuti alunan lagu They Don't Know About Us milik One Direction. Angel sudah selesai membersihkan rumah sejak satu jam yang lalu, namun belum ada tanda-tanda kehadiran Jerry dan kedua anaknya di sana.
“Baby they don't know about, they don't know about us~”
Mulutnya ikut bernyanyi hingga detik terakhir. Mendengarkan lagu boyband kesayangannya di bawah langit berbintang menyeret Angel pada memori belasan tahun silam.
Hingga detik ini, gadis itu masih belum paham mengenai konsep hati manusia dalam mencintai. Apa sebenarnya yang orang-orang sebut cinta? Lalu, apa yang terjadi jika seseorang yang kalian cintai pergi begitu saja? Cause people can’t really unlove someone, they just can love them less.
Meski banyak kisah cinta yang akhirnya mencipta luka, nyatanya tidak semudah itu pergi dan meninggalkan sumber sakit tersebut. They said love lasts forever. But, forever wasn’t about the love, it was the memories. Memory continues even their chapter ended. Memori itulah yang membuat manusia sulit melupakan.
“Hati lo terbuat dari apa sih, Le?” gumam Angel, bertanya pada angin yang mungkin akan menyampaikan pesannya pada seseorang yang pernah mengisi hari-harinya.
“Thank you buat kadonya. Sorry, gue lupa ngabarin pas Ajen lahir,” tuturnya lagi entah pada siapa.
Lamunan berlanjut pada berbagai hal random yang merasuki benaknya. Perihal sekolah Ajen, perkembangan Jiji, putri kecilnya yang telah tiada, pekerjaan suaminya di kantor, perpisahannya dengan ibu-ibu komplek, serta rencana hidup keluarga mereka di ibu kota.
Angel terlalu larut dalam lamunan dan alunan lagu boyband yang kabarnya hanya hiatus selama 18 bulan itu, hingga ia dirinya tidak menyadari bahwa suara suami dan kedua anaknya sudah memenuhi lantai bawah.
Ia segera menutup aplikasi pemutar lagu, beranjak dari tempatnya, dan menutup pintu balkon.
Wajah jahil Jiji langsung tertangkap oleh netra Angel sesaat gadis itu menengok ke bawah. Satu meter di depan si bungsu, Jerry berusaha menyembunyikan sesuatu dari sang anak. Ajen yang terlihat tak ingin ikut campur urusan ayah dan adiknya hanya fokus memindahkan kantung belanja dari teras ke dapur.
“MAMA!!!!”
Gadis itu tersenyum pada Jiji yang masih melambaikan tangan. Tungkainya menaklukkan satu per satu anak tangga hingga raganya sampai di lantai bawah. Tubuh kecil yang semula berusaha merebut es kopi susu dari tangan Jerry pun langsung berpindah haluan untuk menubruk mamanya.
“Eh, jalan biasa aja ya, Dek. Mama nggak bakal ke mana-mana,” ucap Angel memperingati anaknya agar tidak berlari.
“Mama, dek yiyi inan ayuuu!” (Translate: Mama, Adek beli mainan baru!)
Tanpa diberi tahu, Angel sebenarnya sudah melihat mobil kecil di tangan anaknya. Gadis itu lalu duduk di lantai dan menyambut si bungsu dengan uluran tangan. “Adek beli mainan apa?” tanyanya.
Bocah cilik itu kemudian mendaratkan bokongnya di paha Angel setelah memeluk sang ibu. Jiji menjelaskan dengan bahasa bayi mengenai apa yang baru saja ia ambil dari rak mainan. Meski tidak sepenuhnya paham, setidaknya Angel tahu bahwa yang ada di dalam genggaman anaknya merupakan semuah mobil remot kontrol.
Saat Jiji sudah selesai memamerkan mainan barunya, Angel menggeser tubuh kecil itu. “Adek, ini jaketnya di lepas dulu, boleh? Emang Adek nggak kepanasan?”
“Nashh nashh,” jawab Jiji sembari melambaikan tangannya di dekat leher.
“Ya udah, sini Mama bantu lepas,” tutur Angel yang langsung direspon anggukkan lucu.
Beberapa saat kemudian, Jerry ikut bergabung dengan Angel dan Jiji di lantai ruang keluarga. “Abang mana, Mas?” tanya Angel yang tiba-tiba kehilangan jejak Ajen.
“Itu, masih bantuin Beler sama Bibi buat pindahin belanjaan.”
Gadis yang bertanya hanya menggumam dan mengangguk kecil. Setelah jaket putih terlepas dari tubuh gembul Jiji, anak itu langsung menjauh dari sang ibu dan bermain dengan mobil-mobilannya.
“Tadi Abang kenapa di sekolah?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, suaminya menubruk dan memeluk sang istri dari depan, kemudian membebankan kepalanya di bahu Angel. Sempat ada jeda beberapa detik untuk Jerry menutup matanya sejenak.
“Berantem.”
Ajen adalah anak cerdas. Kepala sekolahnya sempat memberi saran pada Angel dan Jerry untuk langsung memasukkan anak sulung mereka ke sekolah dasar. Namun, hal tersebut sulit dilakukan karena usia Ajen yang belum menginjak lima tahun. Akhirnya, kedua manusia itu setuju agar anaknya bergabung dengan kakak kelasnya di TK besar, which is berusia satu tahun lebih tua dari Ajen.
Ini sudah kedua kali Jerry dipanggil oleh kepala sekolah karena Ajen bertengkar. Saat lelaki itu mengetahui anaknya terlibat pertengkaran untuk kali pertama, ia marah pada Ajen. Namun, kemudian dirinya merasa bersalah karena tidak mendengar penjelasan si sulung terlebih dahulu.
Singkat cerita, Ajen mendorong salah satu anak yang usianya lebih tua darinya —sebut saja Ujang— karena merebut mainan Marsya. Ajen sudah berkali-kali meminta Ujang untuk mengembalikan mainan Marsya, namun sang perampas justru mengejek gadis kecil itu dengan sebutan 'cengeng'.
Akhirnya, Ajen dengan segala ilmu bela diri yang diajarkan Jerry mendorong Ujang dan membuat anak itu memiliki luka di siku dan telapaknya.
“Anaknya masih sama kayak yang kemarin?” tanya Angel memastikan, sembari jarinya menyisir surai Jerry.
“Iya, tapi tadi dia bawa temen-temen.”
“Terus? Ajen sendirian ngelawan mereka?”
“Iya lah, mau ajak siapa? Marsya?” respon Jerry disertai kekehan pelan.
“Gila! Anakku keren banget,” tutur Angel yang langsung mendapat tabokan pelan dari suaminya.
“Anak berantem kok dibilang keren?”
“Kalo berantemnya karena bela kebenaran, kenapa enggak?”
“Ya kan membela kebenaran bisa nggak pake berantem, Sayang.” Jerry membalas usapan lembut di puncak surai Angel.
“Dih? Kalo aku mah yang penting orang itu kalah. Mau pake berantem kek, kekerasan kek, maki-makian kek, bodo amat.”
Lelaki itu ternganga seketika. Istrinya memang luar biasa sadis. Kini ia tahu mengapa Mas Aryo lebih sering mengalah pada Angel. Kekuatan gadis itu mungkin mampu meruntuhkan lima orang setara Mas Aryo dengan tangan kosong.
“By the way, tadi aku sekalian pamit ke kepala sekolahnya Abang.”
“Hm,” respon sang istri singkat.
“Papa!”
Suara yang tak begitu keras terdengar dari balik punggung Jerry. Lelaki itu lantas melepas pelukannya dan berbalik. Tanpa melihat sang pemanggil, ia sudah tahu bahwa itu adalah suara Ajen.
“Ada apa, Bang?” tanya Jerry dengan tatap bingung.
“I'm sorry,” jawab Ajen seraya menunjukkan sebungkus plastik bening dengan beberapa butir telur di dalamnya.
Jerry dan Angel dapat melihat cairan kuning di dalam plastik tersebut. Berarti, ada telur yang pecah.
“Tadi Abang nggak careful pas angkat plastiknya, jadi pecah deh telurnya,” lanjut Ajen.
Alih-alih marah, Jerry justru memanggil anaknya supaya mendekat.
“Thank you udah jujur sama Papa, Bang. It's okay, telurnya masih banyak yang bagus kok. Sekarang Abang bawa aja ke dapur, nanti biar Bibi yang bersihin,” tutur Jerry membuat senyum si sulung mengembang.
Tubuh Ajen langsung berbalik perlahan seraya tangannya melindungi telur yang tersisa. Kakinya melangkah dengan kecepatan yang tak pantas disebut berjalan.
“Jalan biasa aja nggak apa-apa, Bang. Asal telurnya dipegang yang bener, pasti nggak bakal pecah lagi.” Kalimat lelaki itu memancing Ajen berjalan seperti biasa.
“Gemes banget sih,” gumam Angel kala melihat punggung Ajen menjauh.
“Kayak papanya, kan?’
Lirikan maut gadis itu kemudian mengundang tawa sang suami.
@guanhengai, 2022.