461.
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, pun Hargi dan marcell sudah kembali ke apartemen mereka. Angel tengah terlelap kala suaminya datang dengan penampilan yang sangat kacau. Tak ada kesan rapi yang biasa lelaki itu tunjukkan, Jerry benar-benar tampak seperti orang lain.
Lelaki itu berjongkok di samping sofa termpat petiduran istrinya. Kata Marcell, Angel bersikeras untuk menunggu Jerry di sana dan berakhir ketiduran. Dengan tatap kasih, lelaki itu merapikan anak rambut sang istri. Rasanya baru kemarin Jerry dan Angel bertemu di cafe dan menandatangani perjanjian nikah. Kini, mereka sudah bersiap menyambut hadirnya si kecil.
Hampir tiga menit Jerry habiskan untuk menikmati indahnya wajah Angel yang selalu menjadi pemandangannya setiap hari. Ia bersumpah tidak pernah bosan meskipun 24/7 berada di depan istrinya. Angel bagaikan oksigen bagi paru-parunya, kebutuhan.
Senyum manis tergambar di wajah sang lelaki. Kegiatannya di luar rumah membuat tubuh kekar itu dipenuhi aroma tak sedap. Ia juga takut debu dan bakteri di pakaiannya mengontaminasi Angel. Belaian lembut di puncak surai sang gadis menjadi penutup sebelum suaminya beranjak membersihkan diri.
Sepuluh menit cukup untuk Jerry mengharumkan tubuh menggunakan air hangat. Perban di kaki dan tangannya juga sudah diganti. Sebelum menghampiri istrinya yang masih terlelap, lelaki itu pergi ke dapur dan menyeduh segelas susu hamil.
Kebulan asap masih menyelimuti mulut gelas saat sang empunya meletakkannya di atas meja. Lengan kekar Jerry menyelinap di ceruk leher dan balik lutut sang istri. Perlahan ia mengangkat Angel dan memindahkannya ke kamar.
Merasakan guncangan yang cukup kuat, gadis itu perlahan membuka matanya. Dagu Jerry adalah pemandangan pertama yang ia lihat. Sesaat kemudian, tatapnya beralih ke mata dan hidung suaminya yang merah membengkak. Pun jejak air mata masih terlihat meski lelaki itu sudah membasuh wajahnya.
“Kebangun, ya? Maaf, Sayang.” Lelaki itu menunduk dan tersenyum menatap istrinya.
Angel tidak menjawab, biar nyanyian jangkrik di luar sana yang merespon suaminya.
Jerry membungkuk untuk mempermudah dirinya meletakkan tubuh Angel di atas kasur. Bedcover yang tadinya terlipat rapi sudah dilebarkan untuk menutup istrinya. Saat ia ingin beranjak, Angel menahan lengannya dan menatap Jerry penuh arti. Namun, lelaki itu segera tersenyum dan berkata, “aku mau ambil susu di luar, Sayang.”
Anggukan pelan mengantar tungkai sang lelaki menjauh. Punggung tegap Jerry masih menjadi sasaran tatap gadisnya hingga perlahan menghilang. Suaminya masih sama seperti biasa, dipenuhi senyum dan kelembutan. Namun, semua itu tidak berhasil menyembunyikan aura sendunya.
Ceklekan pintu membuat Angel kembali menatap Jerry. Lelaki itu sedang meniup susu cokelat di gelas sembari berjalan ke arahnya. Tangan berhias gelang rantai terulur dan membantu sang gadis duduk. Beberapa teguk berhasil masuk ke tenggorokan sebelum Angel menarik gelasnya dan meletakkan di nakas samping kasur.
Tubuh berbalut piyama hitam itu bergeser beberapa inci, menyisakan ruang untuk sang suami. Tanpa menunggu perintah, Jerry langsung mendudukkan diri di samping istrinya. Angel menarik ujung bedcover dan mengajak Jerry masuk ke dalam bersamanya.
Tak menunggu lama, gadis itu langsung mendekap si tampan tanpa mengenai lengan yang masih berbalut perban. Ia dapat merasakan tubuh Jerry yang menegang. Namun, ototnya segera melonggar kala telapak Angel memberi usapan lembut di punggungnya.
Lelaki itu perlahan meringkuk memeluk istrinya, wajahnya sengaja disembunyikan di ceruk leher Angel. Usapan sang gadis semakin intens saat merasakan sesuatu mengalir di lehernya.
Ia tahu Jerry sedang menangis. Air mata meluber tanpa aba-aba dan perhitungan.
Semakin dalam samudera, semakin tenang pula arusnya. Begitu juga manusia. Ketika sesak mendobrak inti jantung, air mata akan mengalir deras tanpa suara. Segala ricuh di dada tercekat di ujung lidah.
“It's okay to cry, Mas.” Getaran bahu Jerry semakin terasa, membuat Angel menambah satu belaian lagi di rambutnya.
Meski situasinya tak persis sama, Angel juga pernah kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Ia tahu benar rasanya menahan rindu pada seseorang yang tak akan kembali. Ia tahu betapa sulit menerima kepergian seseorang yang selalu ada di setiap momen pertama hidup kita.
Angel tahu rasanya kehilangan orang tua.
Rasa penasaran yang membuncah menuntun gadis itu memaksa penjelasan dari Hargi dan Marcell. Butuh waktu satu jam untuk membuat kedua sahabatnya buka mulut. Jika ia tidak mengamcan akan mencari Jerry sendiri, mereka pasti tidak menjawab pertanyaannya.
Jerry terbangun pukul empat pagi setelah merasakan getaran dari ponselnya. Tidak biasanya ia mendapat pesan atau panggilan sepagi ini. Biasanya, salah satu pelanggan akan menghubungi Jerry pukul tujuh pagi dan meminta lelaki itu mengantar jualannya ke beberapa warung.
Nama Ojon dan Atuy memenuhi layar ponsel yang masih terkunci. Segera ibu jarinya memposisikan diri di home button untuk membuka layar. Icon telepon di samping nama Ojon langsung menghubungkan panggilannya.
“Ada apa, Jon?” Suara serak khas bangun tidur bertanya pada seseorang di seberang sana.
”...”
“Hah?!” Selimut yang menutupi dadanya melorot tanpa aba-aba setelah mendengar ucapan Ojon.
”...”
“Iya iya, gue ke sana sekarang.”
Doa pagi yang sangat singkat ia rapalkan sebelum beranjak ke kamar mandi untuk gosok gigi. Persetan dengan aroma tubuhnya, ia hanya sempat menyemprot sedikit parfum untuk membuatnya layak pergi.
Dengkuran halus sang istri mengalihkan perhatian Jerry. Kemeja hitam yang baru saja ia tarik dari antara tumpukan baju masih bersampir di bahu. Sembari membuka kancing, Jerry mendekati ranjang kamarnya.
“Sayang, aku pergi sebentar, ya. Maaf nggak ajak kamu, aku takut kalian kenapa-napa.” Tangan hangatnya memberi usapan kecil di perut Angel, seakan berbicara pada anaknya.
Tak butuh waktu lama untuk Jerry bersiap dan menunggu Ojon menghampiri dirinya. Ia juga terpaksa merepotkan kedua sahabat Angel karena tidak ingin meninggalkan istrinya sendiri.
Mobil Fortuner putih milik Gavin sudah terlihat di depan rumah. Jerry sempat memberi kecupan panjang di kening dan pipi Angel sebelum pergi. Ah, ia juga tidak melupakan si kecil di dalam perut istrinya.
Perjalanan dini hari itu diselimuti keheningan, tak ada dari empat lelaki di dalam mobil yang buka suara. Semua larut dalam pikiran masing-masing, kecuali Gavin yang bersedia menjadi pengemudi.
Marcell meminta lelaki itu untuk mengantar mereka karena sebelumnya Jerry berniat mengemudi dengan kondisinya yang sedang tak keruan.
“Ibu udah nggak ada,” tutur Jerry di tengah isaknya. Suaranya yang bergetar kuat ikut menyesakkan dada Angel.
Gadis itu kelu, tak tahu kalimat apa yang harus ia katakan saat ini.
“It's okay,” No! Tidak ada manusia yang baik-baik saja jika ditinggalkan.
“Kamu pasti kuat,” No! Jerry tidak harus selalu kuat.
“Iya, aku ngerti kok,” Tidak ada orang yang bisa mengerti perasaan orang lain, meski ia pernah mengalami hal serupa.
“Pasti sakit ya, Mas? Nggak apa-apa, nangis aja dulu.” Hanya itu yang bisa Angel katakan.
Acceptance adalah tahap terakhir dari kehilangan. Saat ini, mungkin Jerry masih denial terhadap kejadian yang menimpanya. Tak perlu dipaksa, ia berhak merasa sedih. Laki-laki boleh menangis, mereka bukan patung atau robot yang tidak memiliki emosi. Tanpa banyak kata, bersedialah menjadi sandarannya.
Jarum pendek terus bergulir mendekati angka empat. Dua insan yang sudah diikat dalam satu janji kudus masih nyaman dengan posisinya. Usapan Angel di punggung suaminya tidak berhenti meski pegal sudah menyerang sejak tadi.
“Pas aku jatuh dari motor, sebenernya aku mau ke panti. Ojon bilang ibu kepeleset di kamar mandi, terus langsung pingsan. Pas di bawa ke rumah sakit, ibu masih ada. Aku belum sempet nengok, ternyata malaikat udah jemput ibu duluan.” Napas putus-putus Jerry masih tersisa karena tangisnya yang tak kunjung berhenti.
Angel belum mendengar kejadian itu dari Marcell, mungkin temannya juga tidak tahu. Beberapa hari ini Jerry memang terlihat berbeda. Lelaki itu lebih banyak melamun dan berdiam diri. Jika Angel mengetahuinya sejak awal, mungkin ia sudah memaksa Jerry untuk menengok ibu pantinya.
Gadis itu juga merasa bersalah karena belum sempat mengunjungi 'mertua'nya. Wanita itu terlalu sibuk mengurus anak-anak panti dan tidak tega meninggalkan mereka. Sedangkan, Angel juga sudah tidak sanggup jika harus bepergian terlalu jauh.
Padahal, mereka sudah berencana untuk pergi ke panti setelah dedek bayi lahir. Hitung-hitung Jerry memberi kejutan pada ibu panti, meski wanita itu sudah mengetahui kehamilan Angel.
“Kamu nggak boleh ninggalin aku.”
Kalimatnya tersirat rasa putus asa dan tidak percaya diri. Jerry yang biasanya selalu terlihat kuat kini benar-benar menunjukkan sisi paling rapuh.
Angel mengangguk. Setelah berbagi ranjang dan memori bersama Jerry, ia yakin tak mampu hidup tanpa lelaki itu. Jerry dan dirinya bukanlah manusia sempurna, namun mereka selalu berusaha berbagi rasa.
Sedih pasti akan datang, namun kehadiran seseorang di tengah kesedihan akan membuat manusia dapat menikmatinya sebagai proses pendewasaan.
@guanhengai, 2021.