465.
Selimut putih tebal merupakan benda pertama yang Angel notice saat dirinya terbangun. Detik setelahnya, gadis itu baru merasakan pergerakan di sampingnya.
“Morning, Cantik,” sapa sang suami dengan senyum manis dan muka bantal.
“Morning, Mas,” jawab Angel.
Kecup hangat di pelipis gadis itu mengundang kedua sudut bibirnya terangkat. Telapak hangat Jerry kemudian mendarat di pinggang rampingnya. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanya lelaki itu sembari menyisir rambut tebal sang istri.
“Nyenyak. Kamu?”
“Kalo dipeluk kamu selalu nyenyak.” Sepertinya, ini masih terlalu pagi untuk melontarkan gombalan.
“Gimana kepalanya? Masih pusing?” tanya Jerry lagi disertai raut khawatir.
Sejak satu minggu yang lalu, Angel terpaksa berdiam diri di kamar karena demam dan flu berat. Mungkin gadis itu kelelahan karena harus mengurus banyak hal perhilan kepindahan mereka dari Kalimantan. Ia sempat diminta untuk bermalam di rumah sakit, namun Angel menolak karena tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya.
Jika anak sakit, orang tua merasa sedih. Jika suami sakit, istri merasa sedih. Jika istri sakit, seluruh rumah terasa hampa. Mereka kehilangan sosok yang setiap pagi membangunkan Abang dan Adek, menyiapkan baju kerja Jerry, mengantar mereka sampai depan sebelum berangkat kerja dan sekolah, serta menyambut mereka pulang.
Memang benar, semua boleh sakit, kecuali Ibu.
“Udah nggak sepusing kemarin,” jawabnya sedikit bindeng.
“Perutnya gimana? Masih kram?” tanya Jerry lagi. Pasalnya, dua hari yang lalu sang istri kedatangan tamu bulanan di tengah-tengah sakit. Jujur, lelaki itu tidak tega melihat Angel tidur dengan dahi mengerut. Rasanya ia ingin berbagi sakit yang diderita gadis itu.
“Udah enggak kok.”
Suaminya lantas mengangguk seraya memeluk erat sang istri. Lengan kekarnya menjadi bantalan bagi kepala Angel dan telapak sebelahnya menepuk-nepuk bokong gadis itu.
“Aku kayak lagi boboin Adek deh,” celetuk Jerry yang mendapat kekehan pelan dari sang istri.
“Aku lucunya sebelas dua belas sama Adek kok,” respon Angel.
“HAHAHA! Iya, bawelnya juga.”
“Enak aja! Kamu yang bawel, Mas!”
Tawa Jerry memenuhi kamar yang masih dilingkupi remang lampu tidur. Langit di luar masih gelap, belum ada berkas cahaya yang menembus tirai mereka. Pun suara sapu dan pel Bibi belum terdengar. Saat Angel melihat ke arah jam dinding, ternyata masih pukul lima pagi.
Brruuuttt
“IH MAS JERRY! JOROK!” pekik Angel yang langsung mendorong tubuh suaminya.
“Kenapa sih? Kentut manusiawi kali,” jawab Jerry tak mau disalahkan.
“Tapi bauuuu!” Sang gadis langsung menjepit hidungnya rapat-rapat, menutup akses bagi udara yang terkontaminasi gas dari tubuh lelaki di depannya.
“Emang kecium?” tanya si pelaku tanpa rasa bersalah.
“Kecium lah!”
“Oh, berarti kamu udah nggak pilek lagi.”
“Anj-”
“Hey, jangan swearing ah,” ucap Jerry sembari menarik kembali sang istri ke dalam pelukan.
Meski sudah menolak, tenaga Angel tentu tak ada apa-apanya dibandingkan tenaga suaminya. Tubuh mungilnya berhasil didekap Jerry di balik selimut putih.
“Jangan sakit lagi, aku sedih,” tutur lelaki itu setelah dagunya bertumpu di kepala Angel.
“Maaf ya, kamu jadi kerepotan ngurus Abang sama Adek sendirian.”
“Nggak usah minta maaf, itu kan kewajibanku juga. Udah ah, mau bobok lagi nggak?”
Ia menggeleng. Sepertinya, Angel sudah terlalu bosan di kamar selama satu minggu. Pagi ini kepalanya tidak seberat hari-hari sebelumnya, ia juga berencana untuk kembali beraktivitas di luar kamar. Jika Jerry mengizinkan.
“Nanti aku mau nganter Abang ke sekolah,” gumam Angel di dalam pelukan sang suami.
“Emangnya udah kuat, Sayang?” tanya lelaki itu memastikan. Tanpa perlu berpikir, istrinya langsung mengangguk.
“Ya udah, tapi kamu nggak usah turun dari mobil. Nanti aku juga ikut anter Abang ke sekolah.” Dari pada tidak sama sekali, lebih baik Angel setuju.
Satu jam setelahnya diisi oleh obrolan ringan mereka. Mengenai pertumbuhan Adek, rencana sekolah Abang setelah lulus dari TK, rencana vaksin Ponco, hasil kerja Bibi baru, gaji Beler dan Bibi, serta cara mereka menjelaskan pada Ajen mengenai perusahaan pemberian Alle —yang sampai saat ini belum dilakukan.
Embun yang menempel di jendela kamar mereka perlahan sirna kala mentari mulai menampakkan sinarnya. Sedikit demi sedikit bercak cahaya mencipta bayangan di lantai kamar Jerry dan Angel. Namun, sinar tersebut tak mampu mengalahkan hangat tubuh mereka.
Tok tok tok
“Papa! Mama!” Suara Ajen terdengar dari balik pintu kamar mereka.
“Eungh, emang udah jam berapa sih?” tanya sang gadis seraya menggeliat manja.
“Jam enam,” jawab Jerry sebelum beranjak duduk.
“Doa dulu, Sayang,” tutur lelaki itu sembari menarik pelan lengan Angel.
Dengan wajah bantal dan tubuh yang masih lemas, gadis itu bersandar di kepala kasur. Kedua telapaknya dikungkung sang suami selama doa terlontar dari mulutnya. Beberapa menit setelahnya, mata mereka sama-sama terbuka dan kecup di masing-masing pipi sang gadis merupakan pertanda aktivitas hari ini akan segera dimulai.
Tok tok tok
“PAPA!!! MAMA!!!” pekik Ajen naik satu oktaf karena tak mendapat jawaban dari orang tuanya.
“Iya, Abang! Masuk aja, nggak dikunci!” jawab Jerry dari tempatnya.
Sepersekon kemudian, dua makhluk kecil muncul dari balik pintu. Ternyata bukan Abang yang menggedor pintu mereka, melainkan adik kecilnya. Ajen dan Jiji segera berlari ke arah kasur di mana Angel terduduk.
“Mama!” panggil Jiji di sela-sela larinya.
“Adek, hati-hati!” tegur Angel pelan.
Tubuh kecil itu langsung memanjat ke atas kasur dan menubruk Angel. Beberapa hari yang lalu, Jiji menangis di kamar mereka karena melihat Angel berbaring tak berdaya. Bocah berusia dua tahun itu juga sempat memaksa agar ia diizinkan tidur dengan sang ibu. Namun, Jerry langsung melarang karena takut Jiji tertular.
“Mama dah cembuh? Adek mo maen obingg!” (Translate: Mama udah sembuh? Adek mau main mobil!)
“Iya, nanti kita main bareng-bareng ya, Dek?”
“Cama Babang!”
“Iya, ajak Abang juga.”
Setelahnya, Angel merasakan beban tambahan melingkar di lehernya. Lengan kecil Ajen sudah mengikat tengkuk gadis itu sembari jemarinya menjawil pipi Jiji yang sedang bersandar di dada Angel.
“Mama, boleh nggak Abang skip sekolah hari ini?” tanya Ajen sedikit berbisik, takut papanya dengar.
“Kenapa mau skip, Jen?” tanya Jerry yang ternyata tetap mendengarnya.
Angel yang merasakan tubuh si sulung menegang pun membelai lembut lengan Ajen. “Emang kenapa, Bang?” tanyanya lembut.
“I don't know, Abang lagi capek aja.”
“Nggak ada yang salah di sekolah, kan?” Jerry kembali bergabung dengan istri dan anak-anaknya di atas kasur.
Sebelum menjawab, Ajen melepas tautannya di leher Angel dan duduk di samping gadis itu. “Nope. Pengen sama Mama aja,” jawabnya pelan seraya memeluk lengan Angel.
“Ya udah, hari ini boleh skip. Tapi Abang di rumah aja, main sama Adek sama Mama,” jawab Jerry yang langsung diserbu peluk dan cium dari si sulung.
“Thank you, Papa!” pekik Ajen.
“Sama-sama, Sayang. Besok masuk lagi, ya?”
“SIAP!”
Setelah mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya, wajah Ajen yang semula mendung pun kembali cerah. Pipi gembul Jiji dikecup berkali-kali hingga bocah itu merengek kesal.
“Babang! Hush, hush, hush!” Tangan mungilnya melambai seakan mengusir sang kakak.
Alih-alih menghindar, Ajen justru semakin erat memeluk adiknya hingga tubuh kecil itu oleng dan terbaring di kasur. Hal tersebut pun digunakan oleh Ajen untuk mengungkung dan menguasai adiknya.
“BABANGGG!!! HUAAAAA!!!”
Angel dan Jerry hanya menghela napas kala tangis si bungsu pecah. Ini merupakan hal biasa yang mereka alami sehari-hari. Bukan hanya Ajen, bahkan Jerry pun tak jarang menggoda Jiji hingga bocah itu menangis.
Ajen dan Jerry memang kembar berbeda generasi.
@guanhengai, 2022.