47.
Matanya beredar ke segala arah, memastikan tidak ada pot bunga yang menghalangi mundur mobilnya. Senyumnya pun turut mengembang kala Honda Civic putih yang ia bawa terparkir sempurna di depan rumah.
Jerry keluar mobil berbalut setelan rapi, lengkap dengan tas kerja yang hanya berisi laptop dan HVS kosong. Pak Broto, tetangga samping rumahnya, ternyata baru saja sampai saat Jerry beranjak masuk ke dalam.
“Jer, kok saya lihat akhir-akhir ini rapi banget?”
Yang mendapat pertanyaan justru gelagapan dan dilanda keringat dingin. “Iya, Pak. Habis ada urusan,” begitu bohongnya.
Lagi, lagi, dan lagi. Layaknya gigi berlubang, manusia juga harus menambal kebohongan yang pernah dilakukan dengan kebohongan lain. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah mencabut akar masalah tersebut, yaitu kebohongan pertama.
Sayangnya, manusia lebih memilih untuk banyak berbohong dari pada mengungkap kebenaran.
Pintu rumah terbuka tepat sebelum Jerry mengetuknya. Kepalan tangan lelaki itu masih melayang di udara kala wajah cemas Mba Laras terpampang nyata di hadapannya.
“Loh? Ada apa, Mba?” tanya Jerry disertai kerutan dalam di keningnya.
Tubuh mungil berbalut kain di gendongan Mba Laras kemudian menyita perhatian pemuda berkemeja putih itu. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil Ajen dari dekapan sang kakak ipar. Namun, Mba Laras langsung menjauhkan tubuh Ajen dari jangkauannya.
“Masuk dulu, Jer,” katanya.
Sampai di dalam, lengan Jerry langsung ditarik ke arah kamar tidurnya. Mereka berhenti tepat di depan pintu yang tak sepenuhnya tertutup. Dari celah itu, Jerry dapat melihat istrinya dipeluk oleh Mas Aryo di atas kasur.
Gadis itu meringkuk dengan wajah tenggelam di antara kedua lututnya. Sama persis dengan beberapa hari silam, kala Angel menangis karena Ajen tidak kunjung tenang di dekapannya.
Jerry yang melihat itu pun tersenyum miris. Ia sempat menatap Mba Laras sebelum masuk ke dalam kamarnya. Kakak iparnya hanya mengangguk dan mendorong tubuh Jerry ke dalam kamar.
“Mas, biar gue aja.” Tangan Jerry mendarat di pundak Mas Aryo yang masih sibuk menenagkan Angel.
Mas Aryo pun mengangguk dan menepuk bahu Jerry. Tatapnya mengisyaratkan sesuatu yang besar baru saja terjadi pada istrinya.
Dengan telaten lelaki itu membelai surai Angel. Tangan satunya digunakan untuk mendekap tubuh sang istri. Mulutnya sama sekali tidak berbicara, hanya membiarkan air mata terus mengalir dari mata gadisnya.
Sudah hampir tiga minggu Angel seperti ini. Bukannya Jerry tidak tahu tangis istrinya setiap ia izin ke kamar mandi. Ia tahu. Namun, Jerry tidak pernah benar-benar bertanya perihal alasan di balik tangis Angel. Jerry mengingat saran yang sempat Mba Laras berikan padanya.
“Sayang, kok nangisnya sampe sesegukan gini?” Akhirnya lelaki itu angkat suara.
Tentu bukan jawaban yang Jerry terima, melainkan isak Angel yang semakin memilukan. Bahunya bergerak lebih kencang dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian, tubuh Angel sedikit bergeser dan membalas peluk Jerry.
“C-capek, Mas...” Begitu kata Angel di tengah isaknya.
Jerry kembali menenangkan istrinya dengan belaian lembut di kepala dan bahu. Berkali-kali kata 'capek' terlontar dari mulut Angel, namun dibiarkan oleh sang suami. Biarkan gadis itu mengeluarkan segala rasa yang ia pendam dalam bentuk 'capek'.
Hampir setengah jam mereka bersandar di kepala ranajng dengan posisi berpelukan. Tangis yang semula terdengar pilu pun perlahan mereda. Air mata Angel sepertinya sudah terkuras habis karena menangis sejak satu jam yang lalu.
Saat Jerry merasa Angel sudah lebih tenang, ia pun meraih pipi gadisnya dan mengusap jejak air mata di sana. “Cantiknya aku. Ada apa, Sayang? Hm? Coba sini cerita,” tuturnya lembut. Jerry selalu lembut.
“T-tadi adek nangis lama banget. Udah a-aku kasih susu, tetep nangis. Ibu bilang cara aku susuin Ajen s-salah. Padahal, aku cuma mau bikin Ajen nyaman. C-capek Mas, disalahin teruss…”
Tangis yang sudah memudar kembali terurai. Meski tidak sekeras tadi, air mata gadis itu lagi-lagi mengalir. Jerry benar-benar merasakan sakit yang Angel rasakan saat ini.
Selama ia mendampingi istrinya di rumah, tak jarang Ibu berkomentar mengenai cara Angel mengasuh Ajen. Mulai dari cara menyusui, cara menggendong, bahkan keluhan Angel kala buang air besar pun menjadi sasaran komentar Ibu.
Bukannya Angel dan Jerry tidak tahu cara yang benar dalam merawat anak bayi, namun semua teori yang pernah mereka dapat sirna begitu saja saat praktik langsung. Mereka hanya melakukan hal-hal yang membuat Ajen dan Angel nyaman. Tetapi, Ibu menganggap semua yang mereka lakukan tidak baik.
Telapak hangat Jerry lagi-lagi mengusap surai sang istri. “Shhhh, enggak kok, kamu nggak salah. Buktinya, si Adek seneng banget kalo minum susu.”
Benar kata Jerry. Ajen selalu menunjukkan ekspresi bahagia dan excited ketika melihat sumber makanannya itu. Namun, tak jarang tangisnya tetap terdengar meski sudah diiming-imingi susu.
Beberapa hari lalu, Ajen nangis meronta tengah malam. Jerry's travel size itu berhasil membuat lima dewasa yang menjaganya terbangun dan tidak terlelap hingga fajar menjelang. Hari itu juga Jerry harus tinggal di rumah karena Angel menangis. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu karena anaknya tidak tenang meski berada di dekapannya.
“Sayang, kamu itu ibu terbaik yang Ajen punya. Kamu liat kan, tatapan Ajen setelah kamu kasih susu? Dia tuh mau bilang makasih, soalnya kamu hebat banget.”
Angel masih sedikit kesulitan menetralkan napasnya karena isak yang begitu hebat. Namun, perkataan Jerry mampu membuatnya lebih tenang dan percaya diri. Ajen memang selalu menatap lucu sang ibu setelah menyusui. Seakan kedua netra kecilnya menyalurkan rasa terima kasih begitu dalam.
“Maaf ya kalo aku nggak bisa paham perasaan kamu. Maaf kalo selama ini aku cuma bisa peluk kamu pas nangis. My bad karna nggak bisa bela kamu di depan Ibu. Maaf ya, Sayang.”
Entah pendengaran Angel yang salah atau bukan, tetapi ia mendengar suara Jerry bergetar di ujung kalimatnya. She looked up to find Jerry with a few drops of tears. She rested hes head against his chest. “Aku yang minta maaf. Maaf ya, Mas. Harusnya aku nggak perlu nangis cuma karna hal kecil kayak gini.”
“It's not just a thing kalau sampe bikin kamu nangis, Sayang. Gak apa-apa, kalo nangis bikin kamu lebih lega dan tenang, nangis aja. Aku bakal di sini nemenin kamu kok.”
Jerry bukan Jerry jika tidak berhasil membuat istrinya tenang di pelukannya. Debar jantung lelaki itu dan usapan hangat di kepala Angel adalah ramuan kala emosi negatif menghampiri sang gadis.
Jerry adalah ketenangan.
Tiga puluh menit Jerry meninggalkan istrinya di dalam kamar, berbalut selimut karena pendingin ruangan diatur di suhu terendah.
Lelaki itu meletakkan anaknya di ranjang yang sama dengan Angel, kemudian menata beberapa bantal untuk menjaga bayi mungil itu. Setelahnya, Jerry duduk di samping kepala sang istri setelah menghadiahkan sebuah kecupan di keningnya.
“Eugh, basahhh...”
Jerry terkekeh kala melihat setetes air dari rambutnya jatuh di pipi gadisnya. “Maaf, maaf. Jadi kebangun deh,” katanya sedikit mengejek dan mencubit pipi Angel.
“Ck, sengaja kan bangunin aku?!” protes Angel yang langsung mengerutkan kening.
Jerry menggeser sedikit tubuh sang istri dan memeluk erat gadis itu. “Hehehe, enggak kok.”
“Nggak salah lagi,” lanjutnya.
Netra Angel langsung terbuka lebar. Kedua tangannya langsung mendorong dada sang suami. “Mas! Kok tidur di sini? Di sebelah sana! Kalo Ajen jatuh gimana?”
Alih-alih menjauh, Jerry justru mempererat dekapannya. “Si adek aman kok, udah dijaga sama bantal. Aku mau peluk kamu aja,” katanya.
“Masshhh, s-sesek!”
Lelaki itu melonggarkan pelukannya dan menatap sang istri di bawah lampu temaram. Kamar mereka sudah gelap, namun cahaya dari luar masih membantu Jerry mengabsen setiap inci wajah Angel.
“Cantik,” tuturnya sembari mengusap pipi gadis itu dengan ibu jarinya.
“I love you,” katanya lagi.
Angel yang tidak pernah mendengar Jerry berkata demikian pun hanya diam dan membalas tatap suaminya. Detik selanjutnya diisi dengan debar jantung keduanya kala bibir ranum Jerry bertemu dengan milik si cantik di hadapannya.
“I love you,” ucap Jerry sekali lagi.
“I know.”
Meski bukan jawaban seperti itu yang Jerry harapkan, senyumnya tetap mengembang. Tangannya kembali menarik tubuh Angel mendekati dadanya dan merasakan detak jantung yang selalu meningkat saat berdekatan dengan sang gadis.
“Ibu udah tau, Sayang.” Begitu jerry mengawali ceritanya.
He believed a mother knew everything about her child, but he didn't expect her to know that much. Bahkan, Ibu tahu tentang Angel dan Jerry yang dipecat dari kantor beberapa bulan setelah mereka menikah. Ibu tahu semua, kecuali kontrak pernikahan mereka.
Entahlah, tetapi Ibu tidak membahas hal itu tadi. Mungkin beliau sudah tau tentang kontrak itu, namun memilih bungkam dan membiarkan dua anak manusia ini menjalankan perannya.
Tetangga memang telinga dan mulut paling tajam. Mereka mampu mendengar semut berbicara di rumah sebelah dan menyebarkan berita mengenai semut bernyanyi.
Obrolan ibu dengan tetangga samping rumah ternyata membawa wanita itu pada kesimpulan yang tepat mengenai anak dan menantunya. Cerita mengenai Jerry yang selalu berada di rumah dan Angel yang tidak pernah terlihat mengenakan pakaian kerja pun membuat Ibu curiga.
Hingga pertanyaan mengenai Jerry yang tiba-tiba berpakaian rapi dan pergi seakan bekerja sampai di telinga Ibu, barulah wanita itu memaksa Mas Aryo untuk bercerita.
Ibu sempat marah pada Jerry, pun pada Angel. Itu juga yang membuat dirinya melampiaskan emosi dengan berkata bahwa Angel tidak benar dalam mengurus anak.
Setelah Ibu menjelaskan semua pada Jerry, lelaki itu langsung meminta maaf karena telah membohongi mertuanya dengan menutupi status pekerjaannya. Air matanya sempat mengalir kala Ibu memeluk dirinya di akhir perbincangan mereka.
“Tadi Ibu minta maaf sama aku. Titip maaf juga buat kamu,” kata Jerry.
Angel hanya diam. Ia tidak suka dengan perasaan yang saat ini mendominasi dadanya, rasa bersalah. Ibu tidak salah jika memarahi Angel dan Jerry karena mereka berbohong terlalu lama. Angel dan Jerry yang seharusnya meminta maaf akan hal itu.
Begitulah orang dewasa. Maaf yang sangat mudah diucapkan menjadi berat akibat pertimbangan gengsi.
@guanhengai, 2022.