472.

Ojon dan Atuy sedang menyusun makanan ringan kala Jerry sampai di panti. Decit pintu kayu pemisah dapur dan ruang tengah berhasil menyita perhatian keduanya. Salah satu lelaki bersurai gondrong di sana menggeser kursi, mempersilakan Jerry yang sedang menggendong Ajen untuk duduk di sana.

“Kenapa?” tanya Ojon tanpa suara sembari melirik bocah berusia lima tahun yang terlihat lesu.

“Bukannya hari ini kelulusan TK?” Atuy ikut menimpali.

Lelaki yang ditanya hanya mengangguk seraya telapaknya terus mengusap punggung Ajen.

Beberapa saat setelahnya, hentak kecil menyambut gendang telinga mereka. Jiji dengan sepatu mininya berlari ke arah meja makan, membuat Atuy berjongkok dan melebarkan tangannya. Naas, Jiji lebih memilih menubruk kaki jenjang Ojon dari pada mendarat di pelukan Atuy.

Lelaki gondrong itu pun menatap putra bungsu Jerry dengan tatapan sinis. “Masih kecil aja udah pilih kasih,” gumamnya yang langsung mendapat tabokan dari Ojon.

“Jiji mau makanan apa? Uncle punya banyak makanan nih,” tutur Ojon setelah mengangkat tubuh keponakannya.

“Au itu!” jawab Adek menunjuk salah satu kue cokelat di atas meja. Setelah diberi, mulut kecilnya terbuka lebar untuk memasukkan kue tersebut.

“Adek, minumnya Mama taruh di meja, ya?”

Angel datang sembari meletakkan botol minum bergambar Frozen di atas meja. Ia juga membawa koper kecil serta ransel yang mereka yakini berisi susu Ajen dan Jiji. Gadis itu sempat bersalaman pada Atuy dan Ojon sebelum pamit ke kamar yang memang tersedia untuk keluarga mereka.

“Jiji mau main sama Uncle Ojon nggak?” tawar Ojon pada Jiji yang masih sibuk memasukkan kue cokelat ke mulut kecilnya.

“Ain apah?”

“Main balon tiup?”

“Auu!!!!”

“Habisin dulu kuenya, Dek,” tutur Jerry.

“Iyah, Papa.”

“Gemes banget sih anak lo, Jerrrr!” Atuy mencubit pelan pipi Jiji dan membuat bocah itu merengek pelan.

Setelah telapak kecilnya kosong, dua lelaki dewasa itu mengajak si bungsu ke halaman panti untuk bermain di sana. Bukan hanya mereka bertiga, beberapa anak panti yang sudah pulang dari sekolah pun ikut bergabung. Jiji senang bukan main. Pasalnya, sedari tadi sang kakak tidak ingin diajak bermain olehnya.

image

Jerry yang masih duduk di kursi makan berusaha menawarkan beberapa jenis snack pada Ajen. Namun, anak itu menolak semuanya. “Abang belum mau ngomong sama Papa?” tanya lelaki itu seraya membelai puncak surai putranya.

“M-mau,” gumam Ajen dalam ceruk leher sang ayah.

Jerry kemudian mendorong sedikit bahu Ajen agar mereka berhadapan. “Abang mau cerita apa sama Papa? Hm?”

“Abang sad, Abang malu, Abang afraid,” jawab bocah itu menahan tangis.

“Kenapa Abang sad? Kenapa Abang malu? Kenapa Abang afraid?”

“Abang sad nggak dapet juara, Abang malu sama temen-temen, Abang takut Papa sama Mama marah sama Abang.”

Saat matanya berkedip, satu tetes air mata lolos dari kelopaknya. Jerry yang melihat hal tersebut pun mengusap pipi Ajen dan tersenyum. “It's okay kalau Abang ngerasa sad karena nggak dapet apa yang Abang mau. It's okay kalau Abang ngerasa malu sama temen-temen walaupun mereka nggak bakal ketawain Abang karena nggak dapet juara. Mereka juga fokus ke diri masing-masing, Bang.”

“Tapi, Abang nggak perlu takut. Mama sama Papa nggak bakal marah sama Abang. Abang dapet juara satu, dua, tiga, atau nggak dapet sama sekali, Mama sama Papa tetep bangga sama Abang. Mama sama Papa ngajarin Abang bukan biar Abang dapet juara, tapi biar Abang paham sama apa yang diajarin guru.”

Ajen kembali memeluk sang ayah, lalu menangis tersedu-sedu di bahu Jerry.

Hari ini merupakan hari kelulusan si sulung dari taman kanak-kanak. Sama seperti hari kelulusan pada umumnya, seluruh orang tua diundang ke sekolah dan beberapa anak mendapat piala atas prestasi mereka.

Sehari sebelumnya, Ajen bercerita bahwa ia ingin membawa pulang piala kejuaraan dan memajangnya bersama dengan penghargaan Jerry di lemari ruang tamu. Ia juga berjanji akan membelikan ice cream untuk Jiji jika berhasil membawa pulang piala tersebut. Lantas janji itu mendapat respon positif dari adiknya.

Jerry mengusap serta menepuknya punggung Ajen yang masih bergetar. “Abang, nggak semua orang hebat dapet piala loh. Abang melakukan kebaikan nggak bakal ada pialanya. Abang selalu berkata dan bersikap jujur nggak bakal ada pialanya. Abang beriman pada Tuhan juga nggak bakal ada pialanya. Abang boleh belajar giat biar dapet piala, tapi bukan itu yang utama.”

“Abang nggak perlu jadi yang terbaik di sekolah, cukup berikan dan lakukan yang terbaik yang Abang bisa. Papa sama Mama bangga sama Abang bukan karena juara atau piala, tapi karena Abang mau berusaha dan melakukan yang terbaik. Jadi, Abang nggak perlu takut, ya? Mama sama Papa nggak akan marah sama Abang.”

Bocah kecil yang masih menangis di pelukannya pun mengangguk. Dibiarkannya bocah itu melepaskan semua beban yang mengganjal dalam dadanya. Di usia seperti Ajen —bahkan di usia berapa pun, wajar jika anak merasa insecure atas prestasinya di sekolah.

Seharusnya, tugas orang tua adalah membantu mereka menarik kembali kepercayaan dirinya. Namun, di luar sana lebih banyak orang tua yang justru menambah rasa insecure anak mereka.

Waktu lima belas menit mereka lalui tanpa ada kata terucap dari mulut masing-masing. Setelah merasa lebih baik, Ajen pamit untuk bergabung dengan Ojon dan Atuy di halaman panti. Tentu Jerry mengizinkan, Ajen butuh hiburan setelah merasakan kesedihan.

Lelaki itu menggandeng putranya melewati lorong panti. Akan tetapi, langkah kecil Ajen terhenti saat melihat sosok yang asing baginya. Sosok itu duduk membelakangi mereka dan menatap lurus ke arah halaman belakang.

“Papa, who is that?” tanya Ajen pada sang ayah sembari menunjuk seseorang yang ia lihat.

Jerry pun mempersempit pandangannya dan mencoba fokus pada sosok tersebut. Sepersekon kemudian, netranya membelalak kala menyadari siapa yang sedang duduk di teras belakang itu.

“Papa? Siapa?” tanya si kecil lagi.

Ia berjongkok dan menatap anaknya. “Sayang, itu yang namanya Uncle Adil. Papa pernah kan cerita ke Abang tentang Uncle Adil?”

Ajen mengangguk dan menatap excited sang ayah. “Abang boleh samperin Uncle Adil?”

Pertanyaan Ajen kali ini tidak langsung dijawab oleh Jerry. Otaknya berpikir keras untuk merespon pertanyaan sang anak. Katakan Jerry jahat, tetapi ia tahu Mas Adil bukan seseorang yang mudah didekati, terutama oleh anak kecil.

“Papa? Boleh, ya?”

Jika putranya sudah memamerkan tatap memohon, lelaki itu tidak memiliki pilihan lagi. “Ya udah, boleh.”

“YES!”

Setelahnya, ia melihat punggung si sulung perlahan menjauh. Setiap langkah Ajen disertai doa dari Jerry. Lelaki itu hanya berharap Mas Adil tidak melakukan hal buruk pada anaknya.


“Uncle Adil?”

Sosok kecil bermata sipit itu mengintip manusia yang ia ajak berbicara. Meski wajahnya teduh, aura gelap tetap mengelilingi tubuh Adil. Tak dapat dipungkiri, dada Ajen pun berdebar kala menunggu respon manusia dewasa itu.

“Siapa lo? Anak baru?”

Kini jantung Ajen terasa berhenti. Respon Adil sama sekali tidak terduga olehnya.

“Ajen,” jawab bocah itu seraya mengulurkan tangan.

Perlu dicatat. Jika Ajen memperkenalkan diri sebagai Ajen alih-alih menggunakan nama Djennar, berarti ia ingin mengenal orang itu lebih dekat.

“Gue nggak nanya nama lo. Sana main aja sama temen-temen lo di depan, gue nggak suka anak kecil.”

Wajah si kecil kini sudah memerah. Bukan karena takut atau sedih, tetapi karena malu ditolak mentah-mentah. Namun, bukan Ajen jika tidak keras kepala.

“Di depan panas, Ajen mau duduk di sini aja.”

Kursi kosong di samping Adil pun terisi oleh tubuh mungilnya. Tangan Ajen bertumpu pada kedua sisi kursi seperti apa yang Adil lakukan. Pria di sampingnya pun melirik anak berkulit cerah itu dan berdecak kesal.

“Uncle Adil kok ngg-”

“Diem! Gue bilang gue nggak suka anak kecil.”

“Okay, Ajen diem.”

Ia sungguh-sungguh dengan perkataannya. Kaki kecil yang menjuntai karena tak sampai lantai itu bergoyang bebas, matanya menikmati pemandangan yang jarang ia lihat di Jakarta, pun rambut tebalnya berkali-kali tertiup angin sore nan dingin.

Beberapa lagu anak-anak sudah terlantun dari mulutnya dengan volume sangat pelan. Namun, Adil masih belum mengajaknya berbicara.

Ajen tidak terlalu suka keramaian, namun ia juga benci situasi seperti ini. Sungguh, banyak sekali pertanyaan dalam kepalanya yang ingin ia lontarkan pada sosok di sampingnya.

“Ngapain lo liat-liat gue?”

“Ajen nggak pernah liat Uncle Adil di pant-”

“Dari mana lo tau nama gue?”

“Dari Papa.”

Entah apa yang lucu, tetapi Adil menertawakan jawaban tersebut.

“Papa? Mimpi, lo? Ini panti asuhan. PAN-TI A-SU-HAN. Di sini nggak ada yang punya orang tua.”

“Papa Jerry.”

Bocah itu dapat melihat tubuh Adil yang tiba-tiba menegang. Detik selanjutnya, kepala si dewasa menoleh perlahan dan menatap lekat dirinya. Jantung yang semula sudah berdetak normal pun kembali berdebar kencang.

“Lo anaknya Jerry?” tanya Adil dengan senyum yang tak mampu Ajen artikan.

Anak itu hanya mengangguk pelan. Sungguh, tatapan Adil membuat nyalinya menciut.

“Oh, pantes SKSD.”

Ajen mengerutkan keningnya. Jika SNSD, ia tahu. Mamanya sering memutar lagu mereka saat sang ayah berada di kantor. Namun, jika SKSD, ia belum pernah mendengarnya.

“Ehm, SKSD itu ap-”

“Diem. Gue udah nggak ngajak lo ngomong!”

Akhirnya Ajen hanya menghela napas. Ada sedikit rasa kesal dan kecewa karena ia memutuskan untuk menghampiri Adil. Ajen pikir uncle satu ini butuh teman karena terlihat kesepian. Namun, ternyata ada manusia di dunia ini yang lebih memilih menikmati kesepian itu dan menolak kehadiran orang lain.

“Abang! Acaranya udah mau dimulai!” Bukan hanya Ajen yang mendengar, Adil pun dapat menangkap suara Angel dengan jelas.

“Tuh, dipanggil nyokap lo.”

Bokongnya bergeser maju untuk membantu kakinya menyentuh lantai. Saat dirinya berhasil berdiri, Ajen berjalan ke arah Adil. Tangannya meraih paksa jari kelingking pria itu dan menautkan pada kelingkingnya.

“Kalo Uncle nggak suka ngobrol sama anak kecil, Uncle harus tunggu Ajen gede. Nanti kita ngobrol lagi di sini. Janji? Oke, Uncle udah janji. Bye, Unclenya Ajen!”

Lambaian tangan kecil itu terus ditatap oleh Adil hingga sosoknya menjauh dan pergi menemui ibunya.

Tujuan Adil berkunjung ke panti adalah untuk mengambil semua barang miliknya dan pergi sejauh-jauhnya dari kota ini. Ia merasa malu dan bersalah karena pernah berbuat tidak baik pada seisi panti ini.

Namun, Ajen justru datang dan menyapa dirinya di saat semua anak takut padanya. Bocah kecil itu membuatnya terikat. Meski bukan orang baik, Adil tidak ingin melanggar janji.

Kedua sudut bibirnya terangkat saat Ajen menengok ke arahnya. “Gue tunggu sampe lo gede, Jen.”

image


@guanhengai, 2022.