483.
“Sayang...”
Lengan Jerry mengungkung pinggang ramping istrinya dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak kiri Angel. Ia ikut menatap tangan sang istri yang sedang sibuk bermain dengan panci dan spatula seraya hidungnya menghirup rakus aroma manis strawberry dari surai sang gadis.
Merasa tak nyaman, sosok dalam pelukan itu melengos kala bibir sang suami hampir menyentuh pipinya. Jerry yang menyadari respon aneh itu pun langsung mengerutkan dahi. “Kamu kenapa?” tanyanya serius.
“Nggak apa-apa. Kamu ngapain ke sini? Tunggu di kamar aja.”
Peluk hangat lelaki itu justru semakin erat seraya telapaknya membelai lembut lengan Angel. Kepalanya sedikit bergerak hingga pipi kirinya bertumpu pada bahu sang istri. Meski kini pemandangannya dipenuhi oleh leher jenjang sang gadis, ekor mata Jerry masih dapat menangkap raut kesal pada wajah cantik Angel.
“Kenapa, Sayang? Hm? Aku ada salah apa?” tanya lelaki itu masih dengan memeluk istrinya.
“Nggak ada,” respon Angel ketus.
Jakarta cukup dingin siang ini, mungkin karena sisa hujan yang turun tadi pagi setelah Abang dan Adek pergi. Namun, nada bicara Angel nyatanya jauh lebih dingin. Senyum yang tadi menemani Ajen dan Jiji pergi pun ikut berlalu.
Dua remaja itu memang lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah saat weekend tiba. Entah bepergian dengan kedua orang tuanya, bersama teman sekolah, teman gereja, anak-anak panti, atau dengan saudara mereka yang sedang berkunjung ke Jakarta seperti saat ini.
“Masa sih? Tapi kok dari kemarin kamu judes banget sama aku?” Jerry berhasil mencuri satu kecupan di pipi Angel sebelum tangannya bergerak untuk mematikan kompor.
“Mas?! Kok dimatiin? Itu sopnya kan bel-”
“Sttt, panasin sopnya bisa nanti lagi, aku belum laper.”
Pelukan lelaki itu terlepas, lalu tangannya membalik tubuh Angel agar berhadapan dengan dirinya. Jerry kemudian merampas spatula di tangan sang istri dan meletakkannya di dalan panci. Telapak kecil Angel diraih, lalu diajak menjauh dari panas kompor.
Setelah berjalan beberapa meter, Jerry membopong tubuh gadisnya agar teruduk di kitchen bar. Kini tatap mereka bertemu dan kedua lengan kekarnya bertumpu di masing-masing sisi pinggang Angel.
“Ada apa? Hm?”
Gelengan dan tatap malas Angel merupakan respon dari pertanyaan barusan.
“Sayang, kalo aku ada salah bilang aja, jangan kayak gini. Kenapa? Di mana salahku?”
Netra sang gadis tertutup sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan mempersilakan aroma tubuh suaminya memenuhi indra penciumannya. Segala hal tentang Jerry memang mampu membuatnya luluh. Hangat, lembut, tenang, dan tegas.
Jerry jarang menaikkan intonasi suaranya ketika berbicara, pun jika anak-anak mereka melakukan kesalahan ia tetap menegur dengan penuh kasih. Namun, setelahnya lelaki itu akan memberi sedikit punishment atas kesalahan mereka. Menurut Angel, beberapa punishment Jerry pada Jiji terlalu berlebihan.
Putra bungsu mereka memang terkesan bebas dan tidak suka dengan aturan. Beberapa kali Angel harus datang ke sekolah Jiji karena anak berusia 13 tahun itu dianggap kurang disiplin dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hingga beberapa minggu yang lalu, Jerry turun tangan dan menghadap kepala sekolah.
Ia meminta agar pihak sekolah tetap memberi hukuman pada anaknya meski Jiji merupakan keponakan dari pemilik sekolah tersebut. Ya, Mas Aryo sudah mengakuisi yayasan tempat Ajen dan Jiji menimba ilmu.
“Kamu keterlaluan sama Jiji, Mas,” kata Angel.
“Hah? Maksudnya?”
“Kemarin kamu nggak kasih dia uang tambahan buat beli kaos kaki. Untung Ajen beliin Jiji makanan pas istirahat kedua. Coba kalo enggak? Kamu mau maagnya Jiji kambuh?”
Yang diomeli justru terkekeh pelan. Kepalanya menunduk hingga rambut tebalnya membelai wajah cantik sang istri.
“Sayang,” panggil Jerry setelah menegakkan tubuhnya. Kedua telapak lelaki itu kini berpindah ke bahu Angel
“Kalo Abang beliin Adek makanan pake uangnya, berarti jatah jajan Abang berkurang dong? Terus, pas Adek makan, Abang nggak makan dong?”
Pertanyaan tersebut lantas membuat Angel terbelalak. Bagaimana bisa ia melupakan hal tersebut? Angel benar-benar tidak berpikir sampai ke sana sebab kemarin hanya Jiji yang ada dalam pikirannya.
“T-terus? Abang nggak makan, Mas?”
Lelaki itu tersenyum dan menatap lembut istrinya. Jemari tangan Jerry menyisir surai Angel dan menyembunyikan beberapa helai di balik telinga si cantik.
“Sayang, kemarin aku kasih Ajen uang jajan tambahan. Bukan buat Ajen, tapi buat adeknya. Kenapa aku nggak kasih langsung ke Jiji? Biar dia nggak ngulangin kesalahannya yang kemarin. Kalo aku langsung kasih ke dia, pasti seterusnya dia bakal berpikir oh, Papa bakal kasih aku uang buat beli kaos kaki kok, jadi tenang aja kalo kaos kakinya ilang. Kamu nggak mau kan anakmu kayak gitu terus?”
Angel menggeleng pelan. Setelahnya, ia menarik tubuh Jerry dan memeluk sang suami. Gadis itu mendengar kekehan pelan yang disusul belai lembut di rambut dan punggungnya. Tidak masalah jika mereka bermesraan di dapur, toh tidak ada penghuni lain di rumah ini.
“Sorry,” gumam Angel dalam pelukan suaminya.
“You don't have to say sorry. Aku yang minta maaf karena lupa kasih tau kamu, jadi salah paham gini deh. Sorry ya, Sayang,” jawab Jerry yang lalu mengecup kening sang istri.
Gadis itu merasakan desir darahnya melampaui batas maksimal. Ia terus bersembunyi di dada Jerry karena yakin wajahnya kini diselimuti rona padam. Jemarinya mencengkram kaos Jerry sebelum berkata, “Kita jadi itu, Mas?”
Tubuh sang suami menegang seketika. Nyatanya, bukan hanya wajah Angel yang memerah. Raut dan telinga Jerry kini jauh lebih padam.
“Nggak usah. Aku cuma mau berduaan sama kamu di rumah,” jawab Jerry berusaha terdengar santai.
Ada sedikit rasa lega di dada Angel saat mendengar pernyataan tersebut. Pasalnya, mereka kehabisan stock pengaman di laci dan terlalu malas untuk pergi ke luar rumah.
Sejak mereka 'kebablasan' yang akhirnya menghadirkan Jiji dan Jeje, gadis itu selalu memaksa suaminya untuk mengenakan pengaman saat berhubungan. Pernah beberapa kali mereka lupa dan malas, tentu di luar masa subur Angel. Namun, ini baru beberapa hari setelah tamu bulanannya datang. Resiko pembuahan berhasil masih sangat besar.
@guanhengai, 2022.