49.
Iringan lagu Beautiful in White milik Westlife berpadu suara pijakan heels dan sepatu kulit menggiring langkah sepasang calon suami istri. Keduanya baru saja memberi selamat pada sang pemilik acara yang notabenenya adik mereka sendiri. Sama seperti pesta pada umumnya, terlihat tenda-tenda kecil tempat para penyaji menjajakan masakannya. Para tamu undangan berbalut jas dan dress mahal bercengkrama sembari berdiri mengelilinginya.
Tawa bahagia dan senyum tulus terpancar dari setiap sudut aula, tetapi tidak dengan Angel. Gadis yang kini tengah menggandeng lengan kekar Jerry tetap menampilkan senyum termanisnya. Namun, tak terlihat komposisi ketulusan sedikit pun.
Jerry terlalu handal bermain peran hingga seluruh penonton dalam aula benar-benar percaya mereka adalah sepasang kekasih. Lengan berbalut kemeja yang dilipat sebatas siku itu sudah beralih melingkari pinggang sang gadis.
Pemandangan yang membuat ginjal para jomblo bergetar itu tak lepas dari perhatian kedua sahabat Angel yang sedari tadi menampilkan senyum nakalnya. Langkah sang gadis memelan saat melihat raut jahil Hargi. Sampai Jerry mendorong pelan pinggangnya, barulah gadis itu mendengus dan menatap tajam sahabatnya.
“Ciee ciee, priwitt!! So sweetnya ngalahin yang lagi tunangan,” goda Hargi yang membuat Angel menepis kasar tangan Jerry dari pinggangnya.
Begitu juga dengan Marcell, matanya sudah memancarkan lirikan maut meski mulutnya masih sibuk menelan potongan semangka.
“Makan dulu baru ngehina gue,” ujar Angel menepuk punggung Marcell dan membuat sang empunya tersedak.
“Uhuk! Kalo gue mati gimana, Ngel?!” omel Marcell.
Gadis itu menaikkan bahu, “Dikubur lah,” jawabnya tak peduli.
“Omongan itu doa, Mars.” Angel melirik tajam lelaki di sampingnya. Biasanya orang akan memanggil Marcell dengan sebutan 'Cell'. Hanya dirinya dan seseorang di masa lalu mereka yang memanggil Marcell dengan 'Mars'.
“What?!” pekik Marcell menatap Jerry.
“What?” Jerry yang merasa kebingungan pun menyuarakan hal yang sama.
“Tadi lo manggil gue apa?”
“Mars?”
“Hei! Stop stop stop. Jangan panggil Marcell pake 'Mars' lagi,” ujar Hargi berinisiatif menengahi mereka, khawatir sahabatnya akan melakukan sesuatu di atas batas wajar. Jerry tidak menjawab, lelaki itu melirik pada gadis cantik yang terlihat membatu di tempatnya.
Sudah lama sejak terakhir kali Angel mendengar panggilan itu. Angel, Marcell, dan Hargi sudah menjalin pertemanan sejak kecil. Mereka memiliki satu sahabat lain yang kini tak lagi bersama mereka dan panggilan itu adalah satu-satunya hal yang tertinggal. Pernah satu waktu mereka mencari jejaknya, namun berakhir dengan hilangnya Angel selama beberapa hari. Sejak saat itu, Hargi dan Marcell memilih untuk melupakannya dan membuang jauh hal-hal yang berhubungan dengan sahabat kecil mereka, termasuk panggilan yang dibuatnya untuk Marcell.
Angel berjalan menjauhi kedua sahabat dan calon suaminya, netranya terkunci pada sudut aula yang dipenuhi ucapan selamat dari para undangan. Alunan musik seketika melembut kala sang gadis mendekati sebuah karangan bunga. Otaknya sibuk memutar memori masa lampau untuk menemukan sebuah nama.
Kedua matanya membulat sempurna.
Gadis itu menyapu seisi aula dengan mata elangnya, menubruk kerumunan para pejabat berdasi demi menemukan seseorang. Seseorang yang namanya tertera jelas di sana, di salah satu karang bunga bernuansa pink-gold.
“Angel, ngapain di sini?”
“Lo!!” Sang gadis terkejut begitu tangan Jerry hinggap di bahunya.
“Nyari siapa sih? Serius banget kayaknya,” Jerry menjawab sembari mengedarkan pandangnya.
“Ck, jauh-jauh sana! Kalo lagi berdua nggak usah drama!” sembur gadis itu.
Yang dibentak tidak membalas, malah merapatkan diri dan memeluk pinggang gadisnya. Jerry dengan leluasa menghirup wangi strawberry mint dari rambut Angel.
Sepertinya lelaki itu sudah jatuh pada pesona Angel. Sayangnya, ia harus kembali mengingat perjanjian di atas kertas yang sudah mereka bubuhi tanda tangan. Jika tidak ada denda pelanggaran, mungkin Jerry sudah meminta Angel menjadi istri seumur hidupnya.
“Ish, dibilang jauh-jauh dar—” Perkataan Angel terputus saat ibunya berjalan ke arah mereka, terpaksa dirinya membalas pelukan Jerry —meski dalam hatinya terlintas rasa bahagia.
“Angel, Jerry, ayok foto keluarga,” ajak sang ibu yang mendapat anggukan semangat dari Jerry.
Satu per satu manusia dengan kemeja dan dress berwarna seragam mengelilingi Anne dan Juna —nama tunangan Anne—. Jerry hendak mengikuti yang lain, namun pergerakannya terhenti saat Angel meremat lengannya.
“Kita di ujung aja,” katanya tanpa menatap sang lelaki.
“Loh? Tapi kan ini acara tunangan adikmu?” tanya Jerry heran. Biasanya keluarga inti akan berada di kanan dan kiri mereka. Sungguh aneh.
“Jangan terlalu kelihatan, biar mereka nggak sadar kalo nanti lo pergi dari hidup gue,” ujar Angel sebelum meninggalkan Jerry dengan ekspresi yang tak terbaca. Lelaki itu terdiam.
“Emang nggak ada kesempatan buat gue stay, ya?” tanya lelaki itu pada dirinya sendiri.
Setelahnya tak ada lagi obrolan di antara mereka. Flash kamera dan bincang-bincang keluarga sama sekali tak mengganggu perang dingin keduanya. Udara pun semakin terasa menusuk kulit karena sikap Jerry yang membeku dalam sekejap. Rasanya benteng yang sangat tinggi sudah terbangun di antara mereka. Bukan karena perbedaan status, namun perbedaan rasa dan harap.
Jerry kecewa. Entah pada Angel yang tak bersikap seperti yang ia inginkan, atau pada dirinya yang terlalu berekspektasi tinggi?
@guanhengai, 2021.