495.
Permukaan air kolam dan secangkir teh hangat menemani Jerry menyelam benaknya sendiri. Tabur bintang di langit nyatanya tak mampu menggantikan kehadiran sang istri yang kini sedang menemani Jiji belajar. Ia harus menunggu sampai jarum jam menyentuh angka sembilan agar Angel kembali ke sisinya.
Hela napas berkali-kali terhempas dari hidung mancungnya hingga suara langkah kaki dari arah samping menyita perhatiannya. Lelaki itu menoleh perlahan dan mendapati putra sulungnya berjalan dengan kaos putih dan celana pendek. Raut dan rambut Ajen sama-sama berantakan, mungkin karena efek belajar.
“Pa,” panggilnya terdengar sangat lemas. Ia mengisi space kosong di samping Jerry dengan kepala menunduk.
Punggung tangan sang ayah menempel pada kening si tampan berusia enam belas tahun itu. Hangat. “Belajar seperlunya aja, Bang.”
“Hm,” respon Ajen seraya menjatuhkan kepalanya di bahu Jerry.
Mata keduanya menatap lurus bayangan pohon dan lampu taman belakang yang tercetak di atas permukaan air. Telapak hangat si dewasa membelai lembut punggung putranya. Tak ada bising lain, hanya suara binatang malam dan gemericik air kolam yang mendominasi.
“You good?” tanya Jerry memecah keheningan.
“Hm, so so,” jawab Ajen tanpa bergeser barang seinci.
“Mau cerita sama Papa?”
Anaknya mengangguk pelan. “Gimana kalo Ajen nggak keterima PTN, Pa?”
Lelaki itu mulai membelai kepala Ajen perlahan dan tidak langsung menjawab pertanyaannya.
Topik ini sedang menjadi perbincangan hangat di keluarga kecil mereka. Ajen yang mengambil kelas akselerasi harus mulai memikirkan rencana kuliahnya. Beberapa bulan lagi, ia akan menghadapi ujian kelulusan sekolah dan penerimaan mahasiswa baru.
Si sulung sudah menetapkan pilihan untuk menerima kado dari Alle, yaitu perusahaan yang kini dalam masa pemindahan kekuasaan. Melihat papanya enjoy dalam bekerja, Ajen rasa tidak ada salahnya ia mencoba.
Akan tetapi, lelaki tampan itu tidak langsung terjun ke perusahaan. Ia memilih untuk belajar perlahan dari Jerry, Aryo, dan Yogi dalam menjalankan perusahaan. Selama dirinya berproses, sang ayah akan membantunya untuk menjalankan perusahaan tersebut.
“Kalo akhirnya Ajen kuliah di swasta, nggak apa-apa?” tanya si sulung lagi.
Jerry sempat terdiam sebelum melontarkan sebuah pertanyaan. “Dari satu sampai seratu persen, seberapa pengen Abang masuk PTN?”
“Sixty, maybe.”
“Sisanya?”
“Ehm, I don't know. Ajen pikir di swasta juga oke. I mean, apa yang dipelajari juga sama, kan?”
Sang ayah mengangguk dan kembali membelai surai anaknya. “Pertanyaan tadi seharusnya ditanyain ke diri sendiri, Bang. Kalo Abang nggak keterima PTN, Abang nggak apa-apa? Kalo akhirnya Abang kuliah di swasta, Abang nggak apa-apa?”
Yang ditanya justru terdiam dan mulai berpikir. Hela napas kasarnya terdengar. Lagi-lagi, mereka dilingkupi oleh hening.
“Ajen nggak apa-apa,” tutur remaja itu setelah beberapa menit berpikir.
“Nah, ya udah,” respon sang ayah.
“Terus? Papa sama Mama gimana?”
“Gimana apanya?”
“Kalo Ajen kuliah di swasta.”
Jerry yang paham maksud pernyataan anaknya pun hanya tersenyum lembut. Ia paham, Ajen takut pilihan dan nasibnya akan membuat dirinya dan Angel kecewa.
“Abang, sekolah Abang itu pilihan Abang.” Jerry memulai lagi.
“Mau Abang kuliah di PTN, di swasta, atau di luar negeri sekalipun, Mama sama Papa bakal tetep dukung Abang. Masalah biaya, Abang jangan pikirin, itu kewajiban Papa. Abang cuma perlu konsisten sama pilihan Abang, gunakan kesempatan itu buat belajar dan koleksi pengalaman.”
Ini yang Ajen suka dari papanya. Ia tidak pernah takut untuk bercerita mengenai kegelisahannya karena tahu Jerry akan mendengar tanpa menghujat.
“Yang penting Abang berusaha sama berdoa. Kalo Abang cuma berusaha tanpa berdoa itu namanya sombong. Kalo Abang berdoa tanpa berusaha namanya mencobai Tuhan. Abang berdoa juga bukan biar diterima di kampus yang Abang mau, tapi biar hati Abang bisa menerima apa pun rencana yang nantinya Tuhan kasih. Okay?”
Ajen tersenyum sesaat sebelum dirinya memeluk lengan Jerry. “Alright, Captain!”
“Sayang Papa!” tambahnya lagi.
“Lebih sayang Papa atau cewek yang itu?” tanya Jerry menggoda anaknya.
Kepala yang tadinya bersandar manja kini sudah bangkit dan menatap bingung sang ayah. “Cewek apa?”
“Itu, yang pake jersey di lapangan basket,” jawab Jerry dengan senyum jahil.
Tatapan Ajen seketika berubah 180º seraya lengannya melepas pelukan. “PAPA NGINTIP CHAT AJEN SAMA MAMA?!”
Jerry justru tertawa lebar kala melihat wajah putranya merona. Suaranya menggema hingga burung-burung yang hampir memasuki alam mimpi terkejut dan terbang dari ranting pohon.
Sebenarnya, ia tidak sengaja melihat percakapan Ajen dan Angel di ponsel sang istri. Ketika Jerry meminjam ponsel tersebut untuk memesan makanan siap saji, notifikasi dari Ajen tiba-tiba muncul. Ibu jarinya yang jauh dari kata langsing pun tidak sengaja memencet notifikasi tersebut.
Matanya seketika membelalak saat foto seorang gadis tertera di layar. Meski tidak membaca lebih lanjut percakapan mereka, Jerry menangkap bahwa Ajen sedang bercerita mengenai seorang teman lawan jenis di sekolahnya.
Hahaha, ternyata anak sulungnya tumbuh begitu cepat.
@guanhengai, 2022.