51.

“Eh, yang tadi beneran Nyonya Carlo? Perasaan cantikan mantan istrinya.”

Setuju.

Kantor Papa siang itu tiba-tiba rame. Mungkin karena wanita berpenampilan cetar yang baru aja Mr. Joseph bawa ke ruang kerjanya berhasil memancing atensi karyawan.

“Ck!” Praha mendecak kala ia lupa bahwa dirinya bukanlah karyawan kantor ini.

Ia harus masuk ke ruang kerja Papa. Satu per satu ide berputar dalam otaknya. Beruntung di dunianya Praha cukup mengenal gedung ini, termasuk jalan tikus yang biasa digunakannya untuk bolos saat ada rapat.

“Dasar bokap sinting!” gerutunya sembari menaiki tangga darurat.


Di depannya kini sudah tercetak jelas sebuah nama beserta gelar di depan dan belakangnya, CEO JCC Company yang dua tahun terakhir ini tinggal di atap yang sama dengan Praha.

Papa memang sempat membahas kedekatannya dengan salah satu rekan kerja, Tante Vendira Gautama, penerus Gautama Company. Bukankah ini hal yang lumrah? Menikah berkali-kali demi kelancaran bisnis.

Tapi, hal itu tidak akan dibiarkan terjadi jika Praha masih hidup di dunia. Mama dan papanya hanya ada satu, Mama Sharen dan Papa Joseph. Tidak akan ada mama dan papa tiri, meski keduanya sudah tak terikat janji suci.

Oke. Sekarang adalah saatnya melabrak Papa. Oh bukan, melabrak wanita itu lebih tepatnya.

“Papa!”

Pemandangan yang Praha dapatkan jauh dari kata indah. Lengan kekar Papa sedang memeluk pinggang wanita itu, sedang sang ular bergelayut manja. Ewh.

“E—eh?” Tante Vendira menampilkan ekspresi bingung tanpa melepas rangkulannya.

Demi Tuhan, Praha jijik.

Lelaki itu tersenyum sinis. Setelah mnurunkan resleting jaket merah khas salah satu ekspedisi, ia lempar bokongnya ke atas sofa. Kaki berbalut sepatu lusuh pun hinggap di atas meja kaca yang setara dengan sofa tersebut. Aroma keringat dan kaki langsung menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

“Tidak sopan sekali anak ini, tiba-tiba masuk tanpa ketuk.” Wanita berbibir merah itu sudah melayangkan tatapan tajam pada Praha. Tentu mereka saling tahu. Sejak kecil, Praha sering bertemu Vendira karena wanita ular ini sudah mengincar Papa sejak awal.

“Maaf, Tante. Sepertinya jauh lebih tidak sopan jika menyelinap ke dalam rumah tangga orang dan menghancurkan keluarganya.” Praha terdengar tenang, meski hatinya sudah menggebu-gebu.

“Praha!” Joseph akhirnya mengeluarkan suara. Nadanya tidak terlalu tinggi, namun penekanan di sana membuat dua insan lainnya merinding. Wajah yang semula datar, sekarang dipenuhi amarah.

Papa segitu marahnya sama gue? batin Praha.

“Oh, ternyata Papa udah lupain Praha sama Mama? Hahaha, padahal dulu Mama yang nemenin Papa dari nggak punya apa-apa.”

Masih dengan posisinya, kedua lengan lelaki itu bersila di depan dada. Bayangan tentang masa kecilnya di atas motor bersama Mama dan Papa adalah pemicu terlontarnya kalimat barusan. Guyuran hujan yang akhirnya membuat Praha kecil demam adalah bukti bahwa ia juga ikut andil dalam perjuangan kedua orang tuanya.

Namun, kini Papa meninggalkan Praha. Benar-benar meninggalkan dirinya.

“Halah! Paling mau minta uang, Mas. Udah kasih aja, biar cepet pergi dari sini.”

Demi Tuhan tidak ada niat untuk meminta sepeser pun dari Papa. Ia hanya ingin melihat bagaimana kehidupan pria itu di dunia ini. Pasalnya, Papa di dunia asal Praha memilih untuk meninggalkan Tante Vendira dan menghabiskan waktu dengan dirinya.

Ternyata, hal itu tidak terjadi di sini.

Alih-alih tersinggung, laki-laki tersebut justru menurunkan kakinya dan menegakkan bahu. Matanya sempat tertutup untuk menarik napas panjang.

Perlahan, sepasang indra pengelihatan itu kembali terbuka. “Saya nggak sudi terima uang dari pria dan wanita seperti kalian,” katanya.

Jujur, Praha keringat dingin. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya ia berkata demikian. Bahkan, berhadapan dengan Papa saja dia masih sedikit sungkan. Entah mengapa, hari ini Praha teringat almarhumah Mama dan membawa raganya ke kantor Papa.

“Terus? Tunggu apa lagi? Pintu keluar di sebelah sana,” tutur Joseph sembari menunjuk pintu ruang kerjanya.

Senyum culas ala ibu tiri jahat tergambar jelas di wajah Tante Vendira. Benar-benar ular!

“Bilang saya wanita murahan, padahal istrinya juga sama. Sampe hamil anak haram.”

Dua kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu membangunkan monster dalam diri Praha. Langkahnya terhenti sebelum tubuhnya berbalik dan berjalan cepat menuju Tante Vendira.

Netra Praha mulai memunculkan garis-garis merah tepat lima belas inci di depan wajah wanita ular itu. “Jangan pernah bilang Raga anak haram!” ujarnya penuh penekanan di setiap suku katanya.

“Emang itu kenyataannya, kan?” balas si ular tanpa takut.

“JANGAN PERNAH BILANG RAGA ANAK HARAM!”

Kedua tangan lelaki itu sudah terkepal sempurna hingga menciptakan luka berbentuk bulan sabit di telapaknya.

“Sudah, sudah! Lebih baik kamu pergi dari sini!”

image

Tanpa ia duga, Papa malah mengusir Praha tanpa memberi pembelaan sedikit pun.

“Pa?”

“Pergi dari kantor saya!” usir lelaki itu sekali lagi.

“Anda bukan papa saya.”

Begitu putus Praha sebelum langkahnya menjauh dan membanting pintu ruang kerja Joseph.

Semua orang boleh marah padanya, boleh membentak dirinya, boleh menghina dirinya, tetapi tidak akan pernah dibiarkannya orang lain menghina Raga.

Raga adalah harta berharga baginya.

Entah sejak kapan, yang pasti rasa sayang Praha sudah tumbuh begitu besar terhadap bocah ikal itu.


@guanhengai, 2021.