51.

Jam digital Bianca sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu 5 jam karena padatnya lalu lintas. Suhu di dalam mobil sudah terlampau dingin hingga membuat kacamata Bianca berembun.

Setelah memasuki wilayah yang mereka tuju, mobil putih Bara melaju pelan. Nathan yang berada di balik kemudi bertanya perihal arah menuju vila milik papa Bianca. Gadis itu menunjuk jalan kecil dengan pepohonan tinggi di kanan dan kirinya.

“Beneran ini jalannya, Bi?” tanya Nathan ragi-ragu.

“Kok lo nggak percaya sama gue, sih?”

Nathan tersenyum dan menggeleng. Benar juga. Tidak mungkin Bianca melupakan jalan menuju vilanya.

Jaemin

Roda mobil kembali menyusuri jalan kecil itu. Nahas, sebuah area perkebunan karet menyambut mereka. Jalan terputus. Tidak ada akses di depan mereka. Dengan penuh sabar, Nathan kembali bertanya pada gadis di sampingnya.

“Kayaknya kita salah jalan deh, Nath.” Ringisan Bianca terurai begitu saja. Jemarinya menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal.

“Jadi? Kita muter balik, nih?”

Bianca mengerjap sejenak. “Emang ada cara lain?”

Nathan menggeleng. Tanpa menunggu lama, dia memutar kemudi berkali-kali hingga bagian depan mobil kembali menuju jalan besar. Tidak ingin tersesat lagi, Bianca memutuskan untuk meminta bantuan pada peta virtual di ponselnya. Tenang, dia termasuk gadis langka yang ahli membaca peta.

“Seratus meter lagi belok kanan, Nath. Kayaknya setelah gapura itu, deh.”

Nathan mengangguk paham.

Kali ini mereka menempuh jalan yang benar. Vila besar sudah mulai terlihat atapnya. Nathan sampai berdecak kagum karena halaman vila papa Bianca bisa digunakan untuk upacara bendera.

“Lo masuk duluan aja, Bi. Biar gue yang bawa tas sama barang lo.”

“Thank you, Nath,” jawab Bianca setelah turun dari mobil.

Gadis itu masih berdiri di teras, tetapi suara papa sudah terdengar. Tawanya menggelegar, membuat beberapa burung di atap terbangun dari tidurnya. Bianca menggelengkan kepala. Papa memang selalu seperti itu saat mengobrol dengan orang lain.

“Papa!” sapa Bianca dari pintu depan.

Tiga laki-laki yang tengah berbincang menengok serentak. Meski bibirnya terlihat pucat, senyum lebar tetap terpancar dari wajah papa. Lengan kekarnya terbuka, siap menyambut putrinya.

“Papa sakit apa?” tanya Bianca setelah mendarat di pelukan papa.

“Siapa yang bilang Papa sakit? Ini cuma flu ringan, Bi.”

Bianca langsung menusuk kakaknya dengan tatapan tajam, sedangkan Rafa hanya tersenyum jahil di tempatnya. Bara yang melihat ekspresi Bianca pun ikut tersenyum. Gadis itu masih sama seperti dulu. Manja dan suka marah-marah.

Menit-menit setelahnya diisi oleh obrolan ringan. Teh hangat buatan Kak Rafa menghangatkan tenggorokan Bianca dan Nathan. Sebungkus roti bakar yang mereka beli melalui ojek online mengisi perut.

Bianca terus melontarkan pertanyaan tentang kondisi papanya hingga yang ditanya bosan menjawab. Pria berusia 58 tahun itu tertawa kencang saat Bianca mengingatkannya untuk menjaga kesehatan. Gadis itu juga memberi banyak wejangan untuk papanya yang gila kerja.

“Papa beneran cuma flu, Bi. Tanya aja sama Bara.”

“Kenapa Kak Bara lebih paham papa dari pada anaknya sendiri, sih?”

Lagi-lagi papa tertawa. Beliau mencubit pipi putrinya sebelum beranjak memasuki kamar. Kak Rafa mengikuti papa dari belakang. Dia harus memastikan papa meminum vitaminnya sebelum tidur.

Nathan ikut masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan untuknya. Dia kelelahan karena menyetir dan berdebat dengan Bianca. Meski ini adalah kali pertama mereka bertemu, ternyata antena di kepala keduanya saling berhubungan. Semua topik pembicaraan dibabat habis selama perjalanan.

“Belum ngantuk?”

Bara tiba-tiba menggeser tubuhnya ke samping Bianca.

“Belum,” jawab gadis itu singkat.

“Tadi gue beli susu cokelat, mau?”

Alih-alih menjawab, Bianca justru melempar tatapnya pada Bara. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menumpu lutut kanannya dengan kiri.

“Ngapain lo ke sini?”

“Ada urusan sama wali kota.”

“Bohong. Tadi pagi lo masih di Jakarta, tiba-tiba udah ada di Bandung. Lo tau papa sakit, kan?”

Bara ikut menyilangkan tangannya di depan dada. Tubuh kekar yang awalnya menghadap Bianca bergeser sedikit, bersandar di sofa.

Baby-na-nomin-tweet-end

“Bokap lo beneran cuma flu, Bi. Dan gue ke sini bener-bener ada urusan.” Bara diam sejenak. Dia menatap Bianca dengan tatapan tidak percaya. “Jangan bilang lo ke sini karena mikir bokap lo sakit keras, terus gue maksa beliau buat jodohin lo sama gue? Hahaha! Otak lo sinetron banget sih. Lagi pula, gue nggak perlu maksa Om Jo buat restuin kita kal-”

“Sinting, ya?”

Bara tertawa kencang mendengar pertanyaan Bianca. Pipinya merona, matanya menyabit. Telapaknya mendarat di puncak kepala gadis itu sembari mengacak-acak rambutnya.

“Bercanda, Bii. Gue udah rela kok kalau lo tolak gue.” Bara melirik Bianca yang menampilkan ekspresi kesal. “By the way, lo beneran enggak berniat bantuin bokap sama kakak lo di perusahaan?”

“Sebenernya mau, tapi gue nggak kayak Kak Rafa yang dari kecil dibekalin bisnis sama Papa.”

“Lo bisa belajar dari mereka, Bi. Nggak susah kok, asal sabar sama telaten.”

Bianca memukul sofa di sampingnya hingga membuat Bara terjingkat. “NAH! Itu dia, Kak! Kesabaran gue setipis lingerie. Dan lo berharap gue telaten? Yang beresin buku-buku gue aja bibi.”

Mulut Bara sedikit terbuka. “Kenapa perumpamaannya harus lingerie, sih, Bi?”

Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Dia meraih remote TV yang tergeletak di atas meja. Sejak kecil, Bianca suka menonton di malam hari. Selain tidak perlu berebut dengan Kak Rafa, dia lebih merasa leluasa karena tidak ada kurir paket di malam hari.

“Mau nonton Frozen nggak?”

Bianca tersenyum saat Bara menyebut judul tersebut. Meski sudah menonton berkali-kali, Bianca tetap mengangguk. Itu adalah salah satu film kesukannya.

Hujan di luar tidak mengganggu kegiatan menonton mereka. Sofa ruang keluarga dilebarkan hingga keduanya bisa sambil berbaring. Hingga jam dinding bergulir ke angka tiga, barulah TV dimatikan. Bianca sudah terlelap di samping Bara. Tubuhnya segera dibopong ke dalam kamar dan diselimuti oleh kain tebal.

Bara membelai rambut Bianca sebelum meninggalkannya. “Take care,” ucapnya pelan.


@guanhengai, 2022.