522.
Angel memeluk kedua lutunya di ujung ruang tamu. Tak peduli wajahnya kian memerah dan sembab, ia tetap membiarkan air mata mengalir deras.
Angel hancur.
Ia kehilangan tempat untuk bersandar.
Gadis itu bahkan tidak sanggup memikirkan bagaimana sepinya rumah ini nanti. Ia hanya menangis, menunggu tenaganya habis terkuras agar dapat terlelap.
Hampir saja tubuhnya terhuyung karena kelelahan, ia mendengar langkah kaki dan menangkap aroma yang begitu familiar mendekatinya.
“Sayang, makan dulu, ya?”
Ternyata, ia masih punya bahu untuk bersandar.
Di ruang tamu berhias karpet serta bangku plastik, Angel menengadah dan menatap Jerry yang datang dengan sepiring nasi di tangannya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pada oknum yang mengajukan pertanyaan tadi.
Hela napas Jerry merespon jawaban istrinya. Setumpuk nasi dan lauk di piring tak tersentuh sama sekali, padahal ia hanya mengambil setengah dari porsi makan normal.
“Oke, aku ambilin minum aja, ya?” izin lelaki itu.
“Eung, di sini aja,” gumam sang puan seraya menangkap dan menggenggam tangan suaminya.
Lelaki itu kemudian mengangguk, meletakkan piring yang berisi penuh di atas meja, kemudian ikut duduk di samping Angel. Ia memeluk bahu dan membelai surai sang istri dengan telapak hangatnya.
Dari tempat mereka duduk saat ini, Jerry dapat melihat Mas Aryo berbalut kemeja hitam sedang menyapa sisa tamu yang masih betah berbincang di rumah mereka. Rautnya terlihat sangat lelah, namun senyum tetap terpatri di wajah tampan pria itu.
Mba Laras tidak jauh berbeda dengan suaminya. Wanita yang berusia sepadan dengan Jerry itu menemani tamu dan menawarkan hidangan yang sudah disiapkan. Mba Laras memang jauh lebih mengenal para tamu karena ia sering menemani almarhumah Ibu bertemu dengan teman-teman beliau.
Ya, siang ini Ibu telah menyusul Bapak dan Jeje ke rumah Tuhan yang jauh di sana. Angel hanya memiliki kesempatan beberapa jam untuk melihat Ibu sebelum para tenaga medis mengelilingi tubuh beliau yang lemas tak berdaya.
Satu hal yang baru mereka ketahui adalah Ibu sudah masuk rumah sakit sejak beberapa hari yang lalu. Mas Aryo sengaja menyembunyikan hal tersebut dari Angel dan Anne karena tidak ingin adik-adiknya dirundung khawatir.
Awalnya, Ibu hanya mengeluh pusing karena lupa makan sebelum tidur. Padahal, dokter sudah mengingatkan beliau untuk memperhatikan asupan gizi setiap waktu.
Hari itu Ibu tidak langsung ke rumah sakit karena merasa dirinya hanya butuh makanan. Beliau pun meminta tolong dibelikan Sop Ayam Klaten dan memakan obat untuk sakit kepala yang ada di kotak P3K, kemudian tidur.
Di pagi selanjutnya, Mba Laras datang ke rumah karena Ibu tidak mengangkat panggilannya. Sayangnya, Ibu sudah tergeletak dan tidak merespon saat Mba Laras mengguncang tubuhnya. Dengan bantuan supir dan bibi, Mba Laras melarikan Ibu ke rumah sakit.
Angel tidak tahu persis apa yang terjadi sebelum Ibu pergi. Ia sedang tersenyum seraya menatap mata wanita itu sebelum kedua kelopaknya tertutup perlahan, untuk selamanya. Angel benar-benar menyaksikan bagaimana Ibu pergi meninggalkannya. It hurts.
“K-kenapa Ibu pergi, Mas?” lirih Angel.
“Aku kan belum m-minta maaf sama Ibu,” lanjutnya sebelum tangis gadis itu pecah.
Sebagai suami sekaligus manusia yang juga pernah merasa kehilangan, Jerry hanya memeluk istrinya. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain menemani Angel meluapkan perasaannya.
Lelaki itu juga merasa kehilangan, terlebih ia harus mengurus proses pemakaman sang mertua karena keadaan Mas Aryo sangat jauh dari kata baik-baik saja. Sedangkan, Juan harus menjaga Anne yang kini tengah berbada dua. Jerry terpaksa merepotkan Mba Laras untuk menjaga Angel tadi.
“Shhh, shhh, shhh.” Sang tuan terus mengusap punggung dan bahu istrinya yang semakin bergetar.
“Sekarang aku u-udah nggak punya orang tua, Mas. Ajen sama Jiji udah nggak punya eyang.”
Dada Jerry ikut sesak mendengar pernyataan barusan. Kini pikirannya ikut melayang pada Ajen dan Jiji di rumah. Ia sempat memberi kabar sebelum ibadah penghiburan dilaksanakan. Tanpa diberi tahu, lelaki itu yakin anak-anaknya langsung menangis tersedu-sedu.
Mereka yang paling semangat ketika Jerry mengajaknya ke Jogja untuk bertemu sang nenek. Mereka juga lebih senang menghabiskan waktu di rumah bersama Ibu dari pada berwisata ke berbagai tempat. Hanya Ibu satu-satunya nenek yang mereka miliki. Ajen dan Jiji pasti sangat kehilangan.
“Sayang, kita ke kamar aja yok?” usul Jerry yang langsung diangguki oleh gadisnya.
Ia lalu memapah tubuh Angel menuju kamar tamu di lantai bawah.
Saat raga mereka berjarak beberapa meter dari pintunya, Angel kembali menangis di dalam pelukan Jerry. Otaknya tiba-tiba memutar kenangan saat ia hamil Ajen dan memakai kamar tersebut untuk beristirahat.
Saat itu Angel banyak mengeluh karena Ibu terlalu mendikte dirinya. Ia berkali-kali meluapkan rasa kesal pada wanita yang telah melahirkannya itu. Kini rasa tersebut berubah menjadi rasa sesal dan tak tahu bagaimana cara mengusirnya. Sudah terlambat untuk meminta maaf.
Belum sempat mereka merebahkan tubuh di ranjang, lagi-lagi isak gadis itu pecah. Kejadian setelah ia melahirkan Jiji membuatnya teringat oleh Ibu. Di kamar yang sama, ia pernah menyesal karena memilih melahirkan di Jogja. Hal itu membuatnya merasa terkurung di bawah atap yang sama dengan Ibu.
Kini Angel menyesal. Menyesal karena pernah berpikir demikian. Memang benar, eksistensi seseorang baru dapat dirasakan saat dirinya telah tiada. Satu-satunya cara untuk menyadarkan manusia adalah kehilangan.
“Ibu pasti kesepian ya, Mas? Makanya Ibu pergi,” gumam Angel setelah suaminya menarik selimut untuk menghangatkan tubuh mereka.
“Ibu sekarang udah nggak kesepian, Ibu udah ketemu Bapak lagi, Ibu juga ketemu sama Jeje,” lanjutnya yang kemudian dipeluk erat oleh Jerry.
Tuan berkemeja hitam itu dapat rasakan napas Angel menembus celah kancingnya dan menggelitik kulit. Kedua insan itu menikmati sendu tanpa kata, saling mendekap sementara riuh tamu di luar masih memenuhi pendengaran.
Di siang hari nan mendung, Angel dan Jerry kembali menikmati kehilangan setelah tiga belas tahun berlalu.
@guanhengai, 2022.