537.

Pagi itu, masih di kediaman orang tua Angel. Ralat, kini sedang proses pemindahan kepemilikan menjadi atas nama Anne. Cuaca yang tadinya cerah perlahan diselimuti awan kelabu. Beruntung Jerry sudah memperingati anak sulungnya agar tidak lari pagi di luar rumah karena rintik dari langit mulai turun.

Beberapa hari di Yogyakarta bagaikan liburan singkat bagi Ajen dan Jiji yang seharusnya belajar di sekolah. Mereka sama-sama mempersiapkan diri untuk kelulusan dan masuk ke jengjang berikutnya. Jerry dan Angel paham anak-anak mereka butuh hiburan karena pelajar tidak harus belajar setiap saat.

Mereka juga perlu istirahat agar lebih produktif. Ingat, produktif dan sibuk adalah dua hal yang berbeda.

Meski sinar mentari terhalang tebalnya mendung, senyum cerah tetap terlukis di wajah remaja nan rupawan. Matanya membentuk bulan sabit sejak Yola memulai ceritanya.

“Terus gue pikir kan ada permen karet or something else nyangkut, TERNYATA SOLNYA LEPAS ANJIR! MALU BANGGETTTTT!!”

Tawa Ajen memenuhi ruang gym yang hanya berisi dirinya dan Yola. Kakak sepupunya itu sedang berbagi kisah memalukan saat sol sepatu sekolahnya lepas di hadapan mas crush. Masa putih abu-abu memang gudang memori yang menyenangkan, at least bagi kebanyakan orang. Jika kamu bukan salah satunya, tidak apa-apa.

Suara pintu terbuka membuat kedua remaja itu memperlambat laju treadmill mereka. Sang lelaki menengok dan mendapati papanya berbalut kaos putih polos berdiri di sana. Ia pun buru-buru memencet tombol off, pamit pada Yola, dan beranjak mendekati Jerry.

“Kenapa, Pa?” tanya Ajen saat sampai di depan papanya.

“Papa mau ke supermarket sama yang lain, Abang nanti bangunin Adek, ya.”

“Oke. Enggak nanti aja, Pa? Masih hujan.”

Sebelum menjawab, Jerry menepuk lengan anaknya disertai tatap lembut. “Kan naik mobil, Bang. Abang mau nitip sarapan apa?”

“Bubur ayam aja. Mba Yola juga kayaknya mau tuh.”

“Oke, nanti Papa beliin. Adek juga dibeliin bubur ayam aja, ya?”

“Iya, samain aja, Pa.”

“Ya udah, nanti Abang jangan lupa bangunin Jiji, ya?”

“Oke! Hati-hati, Pa,” jawabnya sambil memamerkan senyum manis.

image


Belum ada tiga puluh menit mobil Juan meninggalkan rumah, tetapi Ajen sudah mengomel lebih dari lima kali. Bahkan, ia sudah mandi hingga rambutnya setengah kering. Si bungsu memang sulit sekali jika disuruh beranjak dari alam mimpi. Terlebih, tubuh jangkung Jiji yang kini melebihi Ajen sudah tak bisa ia gendong seperti dulu.

“Dek, bangun ah! Nanti dimarahin Papa loh,” katanya sembari bersandar di depan pintu kamar sang adik.

Tetap saja, remaja itu tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya tertutup selimut hingga kepala dan Kedua tangannya tetap mengungkung guling yang terlihat kecil di samping Jiji. Mau tidak mau Ajen mendekat ke arah ranjang dan memaksa adiknya untuk bangun.

Akan tetapi, bahu remaja itu sudah berguncang sebelum sang kakak mengulurkan tangannya. Ajen yang melihat itu pun mengerutkan dahi, sebelum ia menyadari apa yang terjadi dengan Jiji.

“Dek, lo nangis?” tanya Ajen mempercepat langkahnya.

Setelah sampai di samping tubuh Jiji, ia langsung menyibak selimut dan menarik bahu sang adik. Benar dugaannya, wajah Jiji sudah memerah dan matanya sembab. Jika dilihat dari bekas air mata di pipi Jiji, Ajen memperkirakan adiknya sudah menangis sejak lama

“Adek kenapa?” tanyanya lagi.

Alih-alih menjawab, Jiji justru kembali meringkuk dan menyembunyikan wajahnya di bawah guling. Kakaknya lalu ikut berbaring di belakang punggung si bungsu dan memeluk Jiji dari belakang. Ajen hanya mengusap lengan Jiji karena isaknya semakin terdengar pilu.

“It's okay, I'm here,” tutur Ajen berusaha menenagkan adiknya.

Meski tigak tega, ia memberi waktu pada Jiji untuk menangis. Ajen meniru apa yang Jerry lakukan saat dirinya menangis. Telapak hangatnya mengusap lengan Jiji dan sesekali mengecup puncak surai remaja itu.

Beberapa menit setelahnya, tangis si bungsu mereda. Ia masih berusaha menghirup oksigen karena napasnya terputus-putus. Ajen yakin kini bantal kepala Jiji sudah dihiasi pulau alami yang berasal dari matanya sendiri.

Saat tubuh jangung itu berbalik dan menatap kakaknya, Ajen langsung bertanya, “Udah mau cerita sama Abang?”

“N-nothing. Adek cuma kangen sama Eyang.”

Nothing, katanya.

“Itu bukan nothing kalo sampe bikin lo nangis kayak gini. It's okay kalo kamu kangen sama Eyang, it's okay kalo lo mau nangis. Nangis itu bukan berarti cengeng, Dek.”

Jiji kemudian bersembunyi di dada kakaknya. Lengannya kut melingkari pinggang si sulung. Ia benar-benar rindu. Rindu pada Eyang, rindu mengajarkan Eyang bermain game, rindu suasana rumah saat Eyang masih ada, rindu masakan Eyang. Jiji rindu segala hal tentang Eyang.

Saat asik membelai lembut punggung adiknya, Ajen melihat benda kecil berwarna pink yang tersembunyi di balik bantal Jiji. Dengan segala rasa penasarannya, ia mengarahkan jemari ke benda tersebut dan menariknya keluar. Betapa terkejut raut tampannya kala mendapati kaos kaki kecil berwarna pink di sana.

Ajen tahu betul, itu adalah kaos kaki yang pernah Eyang beli saat mereka belanja kebutuhan Jiji dan jeje dulu.

“You miss her too, right?” gumam Ajen tanpa menghentikan belaiannya.

“Hm? Siapa?” tanya Jiji dengan suara pelan.

“Our sister.”

Tubuhnya sempat menegang sebelum tetes air mata kembali mengucur deras. Ajen merasakan kaosnya mulai basah karena tangis sang adik. Lengan kekarnya kini memeluk erat dan telapaknya mengusap surai Jiji.

Dada Ajen ikut sesak kala mendengar isak pilu remaja di pelukannya. Pedih yang tadi tidak ia rasakan kini tiba-tiba muncul tak terkendali. Bibirnya digigit kuat agar Jiji tidak mendengar tangisnya.

image

Gemuruh hujan yang masih terdengar jelas seakan mendukung mereka untuk terus menangis. Rintiknya yang menubruk jendela kamar membuat Ajen teringat moment tiga belas tahun silam, tepat di depan kamar rawat Angel.

Saat itu, Atuy berkata pada dirinya bahwa hujan akan datang saat manusia sedang berduka. Tetesnya bukan untuk mengejek air mata manusia, tetapi justru membantu untuk menyembunyikannya. Suasana teduh juga membuat orang-orang merasa nyaman dan merindukan hadirnya lagi. Sejak saat itu, Ajen suka hujan. Ia rasa hujan memang punya cara tersendiri untuk menghibur hati yang berduka.

“Kenapa Jeje ninggalin Adek, ya? Jeje pasti nggak mau punya kembaran yang nakal kayak Adek,” racau Jiji yang membuat Ajen menggeleng cepat.

“You're doing great, Jeje pasti bangga sama Adek. Kata siapa Adek nakal? Emang pernah ada yang bilang kayak gitu? Coba kasih tau Abang, biar Abang tendang sampe Neptunus!” Suara Ajen terdengar sedikit gemetar.

“P-pak Eben,” jawabnya sembari tersenyum pilu. Pak Eben adalah guru BK di sekolah Jiji yang khusus menangani anak-anak kelas 9.

Tangan Ajen langsung mengepal kuat. Setiap tekuk jemarinya memunculkan otot yang tersembunyi hingga telapaknya dihiasi bekas berbentuk bulan. “Nggak usah didengerin! Adeknya Abang nggak nakal!”

Tanpa mereka ketahui, Jerry sudah berada di balik pintu sejak Ajen memeluk Jiji dan mereka menangis bersama. Kondisinya kini tidak berbeda jauh dari si sulung. Tangannya mengepal kuat hingga wajahnya ikut memerah.


@guanhengai, 2022.