546.

Jika dapat memilih untuk ikut bergabung, Angel akan melangkah dengan pasti memasuki kamar Adek dan memeluk raga si bungsu. Ia sungguh tidak tega mendengar suara tangis Jiji yang masih terdengar setelah anak itu masuk bersama Jerry sekitar lima belas menit yang lalu.

Ajen yang duduk di sampingnya juga tak kalah khawatir dengan keadaan sang adik. Remaja itu sempat melihat ekspresi Jerry yang jauh dari kata bersahabat. Wajahnya pun diselimuti oleh rona merah hingga telinga dan lehernya.

“Ma, Papa semarah itu sama Adek?” tanya Ajen sembari memainkan jemarinya.

“Abang kan tau Papa nggak suka kalo Abang sama Adek bohong,” jawab Angel.

Ajen menundukkan kepala dan pasrah. Semua perbuatan mereka selalu ditoleransi oleh Jerry, kecuali berbohong.


Di dalam kamar, Jerry hanya duduk dan menatap anak bungsunya yang sedang menangis. Ia belum berbicara sama sekali sejak Jiji masuk ke dalam kamar. Pun putranya masih berbalut jaket abu-abu dan kaos kaki yang ia kenakan untuk pergi jalan-jalan.

Saat anak itu sudah mulai tenang, Jerry baru memajukan kursinya agar berada tepat di hadapan Jiji. Lelaki itu menghela napas kasar seraya memejamkan mata sebelum telapaknya hinggap di bahu si bungsu.

“Tadi Adek ke mana?”

Yang ditanya hanya diam dan menundukkan kepala. Bibir bawahnya digigit kencang untuk menahan air mata yang lagi-lagi memaksa keluar.

“Jangan digigit bibirnya, Dek. Nanti berdarah!” tegur Jerry pelan.

“M-maafin Adek, Pa.”

“Papa nanya, tadi Adek ke mana? Jawabannya itu nama tempat, bukan maaf.” Kalimat sang ayah justru memancing air mata Jiji mengalir lagi.

“Apa susahnya jujur sama Papa sih, Dek? Selama Adek main ke tempat yang bener, Papa nggak pernah larang, kan? Adek mau berangkat naik ojek atau taxi juga selalu Papa kasih. Kenapa harus pake bohong?”

“Adek m-minta maaf,” tutur Jiji di sela-sela tangisnya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, Jerry tahu ia tidak akan mendapat jawaban dari Jiji. Lantas ia mengajukan pertanyaan lain. “Kenapa Adek minta maaf?”

“Adek bohong s-sama Papa sama M-mama.”

“Kenapa tadi Adek bohong?” tanya Jerry lagi.

Jiji terdiam sejenak. Ia sudah memiliki jawaban di otaknya, namun seakan terhenti sebatas kerongkongan. Mengapa begitu sulit menyuarakan kejujuran?

“Adek, kenapa bohong?”

“Tadi Adek mau ke makam Eyang, tapi ternyata Abang ngikutin Adek.”

“Terus kenapa kalo Abang ngikutin Adek?”

“ADEK NGGAK SUKA DIIKUTIN, PAPA! ADEK BUKAN ANAK KECIL!”

Jerry terkejut saat putranya menaikkan intonasi. Tatap teduhnya kini berubah tajam seraya rahangnya mengeras. Jiji yang menyadari hal tersebut pun kembali menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan telapak tangan.

“Adek nggak pake teriak juga Papa bisa denger kok,” sindir Jerry.

“Adek nggak suka diikutin Abang terus. Di sekolah, Abang selalu ikutin Adek. Di tempat les, Abang juga ikutin Adek. Adek bisa ke mana-mana sendiri, nggak harus sama Abang.”

Jika mengikuti akalnya, Jerry akan menjawab “Tapi Adek yang salah. Kalo dari awal Adek jujur, Abang nggak bakal ngikutin Adek.” Jiji salah karena berbohong, tetapi ada alasan di balik bohongnya.

Jerry memang pernah meminta Ajen untuk mengamati kegiatan Jiji karena putra bungsunya memang masih harus diawasi. Ternyata, Jiji sadar akan hal itu dan ia merasa tidak nyaman. Meski Jiji adalah anaknya, seharusnya Jerry tidak melakukan hal tersebut. Itu sama seperti ia memata-matai orang.

Lelaki itu beranjak dari tempat duduk dan bergabung dengan putranya di atas ranjang. Jerry merangkul bahu Jiji dan membiarkan kepala si bungsu bersandar di bahunya. “Kenapa Adek nggak bilang ke Abang? Hm? Kalo Adek nggak nyaman, harusnya Adek bilang baik-baik ke orangnya, jangan disimpen kayak gini.”

“Adek takut Abang marah,” jawabnya.

“Emang Adek udah pernah coba bilang ke Abang?”

Pertanyaan jerry direspon geleng pelan.

“Coba nanti Adek obrolin sama Abang. Sejauh mana Adek kurang nyaman sama sikap Abang, terus Adek maunya Abang gimana. Ya?”

Jiji mengangguk. “Maafin Adek, Pa.”

“Papa kecewa karena Adek bohongin Papa. Papa nggak suka kalo anak-anak Papa bohong. Papa maafin Adek. Tapi, kalo Adek udah sadar salahnya di mana, next time jangan diulangi lagi. Okay?”

“Okay,” jawab Jiji pelan.

Lelaki itu memeluk putranya dan menepuk-nepuk punggung Jiji. “Aduh, anak Papa ternyata udah gede, ya? Perasaan kemarin masih suka nangis kalo popoknya penuh,” goda Jerry.

“Papa ih! Adek udah mau SMA tau!”

“Oh ya? Masa sih? Bukannya baru mau masuk SD?”

“PAPA!”

Jerry tertawa melihat raut kesal putranya. Waktu berputar begitu cepat hingga ia tak sadar si bungsu akan segera menyusul kakaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

“Eh, Dek,” panggil lelaki itu lagi.

“Hm?”

“Kita pura-pura berantem yok? Biar Mama panik,” usul Jerry yang langsung ditatap aneh oleh Jiji.

“Katanya nggak boleh bohong?”

Yang ditanya hanya tersipu sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. “Kalo buat ngerjain Mama boleh,” ucapnya.


@guanhengai, 2022.