572.
Jumat ini adalah waktu yang paling ditunggu oleh keluarga Jerry. Selain sang kepala keluarga yang pulang lebih cepat, anak-anak mereka juga sudah menyelesaikan ujian kelulusan.
Sebenarnya, ujian Ajen sudah selesai sejak beberapa dua minggu lalu. Namun, sang adik baru saja menyelesaikan ujiannya hari ini.
Lusa mereka akan sama-sama menghadiri acara penyambutan pemimpin baru di kantor. Jerry sebagai tokoh utama dalam acara tersebut akan berpidato mewakili anak sulungnya.
Meski sudah terlampau sering melihat suaminya berpidato di depan umum, Angel tetap menantikan momen tersebut. Terlebih, Ajen dan Jiji ikut memakai setelan jas berdasi. Sungguh tak mampu ia bayangkan betapa tampan ketiga manusia itu.
Pukul lima sore, senyum lebar terpasang di wajah Jerry saat ia keluar dari kamar setelah membersihkan tubuhnya. Hatinya kian gembira kala melihat sang istri duduk seorang diri di sofa ruang keluarga.
“Yes! Belum ada Abang sama Adek!” seru lelaki itu setelah sampai di samping Angel.
Gadisnya hanya menatap sebentar, lalu melengos saat Jerry menarik tubuhnya ke dalam dekapan. Ia menggenggam tangan Angel dan meletakkannya di depan dada. “Mereka kalo mandi kok lama banget, sih?” tanya Jerry.
“Si Adek kayaknya lagi berendam, Mas,” sahut Angel.
“Wih, lama tuh. Bisa bikin adek dulu buat dia,” goda Jerry sembari menjawil pipi Angel.
“Bikin sendiri!” Suaminya hanya tertawa, lalu menepuk lengan Angel dan mengecup pipi gadis itu berkali-kali.
Rumah di ujung jalan itu tampak terang meski dilihat dari sudut mana pun. Lampu sorot berwarna kuning di teras lantai dua dan bagian belakang rumah Jerry menambah kesan elegan pada bangunan yang didominasi warna putih itu.
Keempat anggota keluarga sedang berbincang nyaman di sofa dengan sepiring pisang goreng dan teh tawar hangat. Kepala Ajen dan Jiji bersandar di bahu Angel, sedangkan Jerry duduk sendiri di sofa single.
Dua bulan terakhir ternyata cukup menguras energi dan emosi mereka. Ajen yang susah payah berjuang demi kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi, Jiji yang mati-matian belajar agar lulus SMP, Jerry yang harus bolak-balik ke kantor Mas Aryo dan calon kantor barunya, serta Angel yang sibuk memastikan kesehatan mereka.
Setelah memasukkan potongan pisang goreng terakhir, Jiji menarik ujung kaos Ajen untuk membersihkan sisa minyak di jarinya. Sang korban yang menyadari hal itu pun menatap adiknya sembari mempersiapkan diri untuk menerkam Jiji.
“Hei! Hei! Hei! Adek ah, itu kan ada tissue!” tegur Angel ketika dua remaja itu saling memukul.
Jerry yang tadinya tengah menyeruput teh pun menurunkan gelasnya, “Adek yang bener dong, nanti bajunya Abang kotor. Kasihan Bibi yang nyuci.”
Jiji menganggukkan kepala seraya mengucap maaf pada kakaknya. Remaja itu kemudian memeluk lengan Angel dan semakin bersandar di bahu sang ibu.
“Capek,” gumam Jiji.
Angel mengusap lengan si bungsu dan menyisir surai tebalnya dengan jemari. Jiji memang tidak terlalu pandai dalam bidang akademi, ia lebih tertarik pada seni dan olahraga. Angel dan Jerry pun tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk mendapat nilai bagus di sekolah, yang penting mereka tetap menghargai pendidikan.
Keduanya juga tidak pernah meminta Ajen dan Jiji untuk bersekolah di tempat yang dinilai bagus oleh orang-orang. Menurut mereka, sekolah di mana pun akan sama selama anak-anaknya dapat menerapkan apa yang mereka dapat di tempat tersebut.
“Adek jadinya mau lanjut di SMA Abang atau di sekolah lain, Sayang?” tanya Angel.
Meski dirinya sedang berbicara dengan si bungsu, mata Angel tetap memandang Jerry yang tengah membalas tatapnya. Topik ini menjadi sedikit sensitif di keluarga mereka.
Adek beberapa kali meminta Angel untuk tidak mendaftarkan dirinya ke sekolah milik Mas Aryo. Padahal, hanya itu satu-satunya SMA yang berada dalam radius lima kilometer.
“Adek ikut Mama aja,” jawab Jiji. “Kalo nanti Abang kuliah di luar kota, Mama kesepian di rumah.” Remaja itu berhenti sejenak dan menengadah. “Adek sekolah di SMA Abang aja deh.”
“Katanya mau cari sekolah seni, Dek?” tanya Jerry.
Dari ekor matanya, Angel dapat mengangkap raut sedih Jiji. Ia pernah memergoki si bungsu menangis seorang diri di pinggir kolam berenang. Remaja itu jarang menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orang lain. Namun, sekali terpancing, Jiji bisa menangis sepanjang hari.
Bukan hanya jauh dari Angel dan Jerry, ia yang sedari kecil bermain dan menghabiskan waktu bersama Ajen pasti akan kehilangan sosok kakak ketika si sulung kuliah di luar kota.
Tak jauh berbeda dengan Jiji, kini Ajen tengah bersandar di bahu Angel dan menikmati tetes demi tetes yang keluar dari kelopaknya. Ia akan berpisah dengan kedua orang tua dan adiknya dalam beberapa bulan, jika skor tesnya mampu menembus standar kampus pilihannya.
“Abang sama Adek nggak perlu sedih karna pisah sama Mama Papa. Kalian harus kejar cita-cita sejauh yang kalian bisa. Kalo capek, Abang sama Adek bisa pulang kapan pun. Nggak perlu khawatirin Mama,” kata Angel seraya memeluk kedua anaknya.
“T-tapi Adek nggak mau jauh dari rumah.”
Jerry tersenyum dan beranjak dari duduknya. Ia memberi kode pada istrinya untuk bergeser sedikit, kemudian memeluk Ajen yang sudah menangis.
Telapaknya membelai lembut surai si sulung saat kepala remaja itu bertumpu penuh ke dadanya. “Mama sama Papa bukan ngusir Abang sama Adek dari rumah, Sayang. Papa sama Mama juga pasti sedih kalo jauh sama kalian. Tapi, nggak selamanya kalian tinggal sama Mama Papa. One day, Abang sama Adek harus tinggal di rumah sendiri sama keluarga, kan?”
“Papa jangan ngomong gitu.” Ajen bersuara pelan.
“Papa ngomong kayak gini karena Abang sama Adek udah gede. Mama sama Papa nggak bisa ngajarin semua hal ke kalian. Ada beberapa pengalaman yang harus kalian jemput sendiri di luar sana.”
Jerry menghela napas sebentar. Ada begitu banyak hal yang ingin ia rasakan saat ini. Bohong jika Jerry tidak sedih dan khawatir. Seorang ayah tidak mungkin baik-baik saja saat anak-anaknya berada jauh dari dirinya.
“Abang sama Adek nggak perlu khawatir sama Mama, kan ada Papa yang jaga. Tugas Abang sama Adek itu cuma bahagia dan kejar cita-cita kalian. Udah, Papa cuma minta itu.”
Tangis Ajen yang tadinya tak terdengar kini justru memenuhi ruang keluarga lantai dua itu. Pelukannya di pinggang Jerry kian erat seraya air matanya membasahi kaos bagian pundak sang ayah.
Jiji yang tengah memeluk Angel pun tak kuasa menahan isaknya. Ia benar-benar tidak ingin jauh dari keluarganya dan kesepian di kota orang. Jika sedang memikirkan tentang sepi, pikiran mengenai Jeje pasti melintas dalam benak remaja itu. “Kalo Jeje masih ada pasti bisa sekolah bareng, Jiji nggak kesepian,” gumamnya.
Pembicaraan mengenai Jeje selalu mengundang suasana sendu. Sudah hampir empat belas tahun, mereka masih sering merindukan sosok kecil itu. Bahkan, sampai berpuluh-puluh tahun pun mereka akan tetap merindukan Jeje.
Jerry melingkarkan lengannya melintasi bahu Ajen, kemudian membelai tangan Jiji yang tengah memeluk Angel. “Jeje selalu nemenin Adek kok,” ujar lelaki itu dengan suaranya yang sedikit parau.
Tidak mampu menahan, Angel lantas melepas tangisannya juga. “Jeje selalu ada sama kita, Sayang,” tuturnya di tengah isak.
Lelah, sesak, rindu, khawatir, takut, dan segala rasa yang mereka pendam kini meledak dalam bentuk tangis pilu. Saling memeluk dan menguatkan satu sama lain merupakan satu-satunya cara untuk bertahan melewati malam yang dingin ini.
Mereka tetap duduk di sofa itu hingga malam menjemput.
Angel memeluk kedua anaknya lebih erat dan membayangkan hidupnya jika Ajen dan Jiji memilih sekolah di luar kota. Jerry menyandarkan kepala pada tembok di belakangnya dan memikirkan hal yang tidak jauh berbeda dengan sang istri.
Ajen masih bersandar pada dada papanya sembari menatap nanar tembok di hadapannya, kegelisahan kian mengguncang dirinya. Si bungsu tak kalah bimbang, jemarinya terus dimainkan seraya hatinya berusaha menentukan pilihan.
Sebelum mereka memutuskan masuk ke kamar masing-masing, Ajen melihat wajah lelah kedua orang tuanya. Mungkin Mama sudah tidak kuat menggendongnya ke mana-mana, pun Papa sudah tidak mampu mengejar langkah Ajen. Namun, kehadiran mereka selalu menghangatkan remaja itu.
Jika suatu hari Ajen harus pergi dan meninggalkan mereka, Ajen yakin itu adalah hari terberatnya setelah Jeje kecil meninggalkan dirinya.
“Ajen sayang Mama sama Papa, sayang Adek sama Jeje juga,” gumamnya di balik pintu kamar.
@guanhengai, 2022.