58.
Decitan pintu kamar menyita penuh atensi Praha. Tubuhnya yang semula hampir merosot kembali ditegakkan kala sang istri berjalan ke arahnya. Beruntung kamar kos mereka berada di dekat balkon, sehingga ia dapat mengajak Aira berbicara ditemani gemerlap lampu ibu kota.
Jika di dunianya, mungkin lelaki itu akan mengajak Aira ke perpustakaan atau bar rumah untuk berbicara empat mata. Namun, nyatanya kini ia hanya memiliki kursi plastik bertenda ribuan bintang.
“Sini,” ujar Praha menepuk kursi kosong di sampingnya.
Lengannya segera melingkari pundak sang gadis sesaat Aira duduk. Sudah lama ia tidak merasakan hal ini. Duduk di samping gadisnya, merangkul bahunya, dan merasakan hangatnya tubuh Aira.
Ada jeda cukup panjang sebelum Praha memulai obrolan. Lelaki itu yakin gadisnya sedang diselimuti amarah yang akan meluap jika ia memulainya sekarang. Biarkan mereka sama-sama mendinginkan pikiran terlebih dahulu.
Setelah dirasa cukup, Praha mulai mengusap lengan Aira, pertanda obrolan mereka segera dimulai. “Gimana hari ini? Kamu ngapain aja?” tanya lelaki itu.
“Biasa aja. Bangun, bikin kue, mandiin Raga, kasih kue ke Bian, nyariin Raga, nangisin Raga, mandiin Raga lagi, masak, tidurin Raga.”
Lelaki itu tersenyum pias. Hari ini bukan hanya Raga yang dibuatnya menangis, tetapi juga Aira.
“Selain marah sama aku, ada yang bikin kamu seneng nggak hari ini?” tanyanya lagi.
Ia merasakan anggukan Aira. “Pas liat Raga pulang selamat, rasanya lega.”
Salah satu tangannya yang bebas digunakan untuk menarik sebelah bahu Aira. Telapaknya menggeser wajah sang gadis agar netra mereka saling bertaut.
“Maaf,” ucapnya tulus.
“Maafin aku.”
Lelaki itu menunduk penuh rasa bersalah. “Aku nggak bakal kasih pembelaan, aku sadar kok kalau aku salah.”
Setelah kembali menegakkan kepalanya, ia berkata. “Tapi, kamu mau denger penjelasanku nggak? Kenapa tadi aku lupa jemput Raga?”
Aira menatap bingung suaminya. Ini terlihat seperti bukan Praha. Lelaki yang sudah wangi ini biasanya akan mendiamkan Aira ketika mereka diselimuti kesalahpahaman. Bahkan, lebih sering gadis itu yang memulai obrolan setelah perang dingin mereka.
Dengan sedikit rasa ragu, Aira mengangguk. Senyum suaminya adalah respon atas jawaban tersebut. Tubuh mungilnya didekap oleh Praha. Kepalanya kini sudah bersandar penuh di dada suaminya. Aira dapat merasakan debar jantung Praha.
“Tadi aku ke kantor Papa,” ucap lelaki itu memulai penjelasannya.
Istrinya refleks melepas rangkulan dan menatap tajam dirinya. Namun, lelaki itu hanya tersenyum. “Dengerin dulu sampe habis,” tuturnya sembari menarik kembali tubuh Aira.
Praha baru saja membaca diary 'Praha' mengenai Aira yang sudah melarangnya bertemu dengan Papa dan istri ularnya itu. Setelah Raga lahir, mereka pernah meminta bantuan dana pada Papa karena kebutuhan Raga ternyata melampaui batas mereka.
Namun, niat itu berakhir dengan diusirnya Praha. Jangan lupakan cacian jahat dari mulut Tante Vendira yang tidak pernah Aira lupakan. Saat itu, jalan satu-satunya adalah menjual mobil Mama. Hal tersebutlah yang menyebabkan Praha hanya memiliki motor bebek sebagai alat transportasinya.
“Aku nggak minta uang ke Papa. Tadi Nash tiba-tiba ngobrolin soal Papa, terus aku jadi keinget Mama. Aku cuma mau liat gimana hidup Papa sama wanita itu,” lanjutnya.
“Aku sempat berharap Papa nggak nikah sama dia dan balik ke Mama. Nggak perlu jadi suami-istri, cukup nggak ada di dua kubu gini.”
Terdengar sang gadis menghela napas kasar. Praha hanya berharap Aira yang saat ini berada dalam rangkulannya tidak berbeda jauh dengan Airanya.
Tepat! Gadis itu mengusap punggung tangan Praha yang terjuntai bebas di samping bahunya. Tak ada kata, hanya kehangatan yang ia salurkan di sana.
Suara jangkrik sempat mendominasi, hingga sang gadis buka suara. “Jangan pernah ke sana lagi, Mas.”
Praha mengangguk tanpa ragu. Setelah mengalami kejadian tadi siang, ia tidak akan pernah lagi menampakkan diri di depan wajah Papa. Ia membenci papanya. Papanya di dunia ini.
Lelaki itu merasakan kepala Aira bergerak. Kala dirinya menunduk, wajah cantik sang istri sudah tepat berada di hadapannya. Senyum lembut keduanya berseri begitu saja. Perlahan tapi pasti, dua bibir ranum itu bertemu.
“Cantik,” tutur Praha.
“Aku maafin kamu, Mas.”
Lagi-lagi, Praha menghujani Aira dengan kecupan jahilnya. Sang gadis sempat berteriak karena merasakan geli akibat kumis tipis Praha. Hingga mereka merasa tak lagi aman berada di luar, barulah keduanya beranjak memasuki kamar kos.
Kasihan Raga, sepertinya anak itu sudah mencari kedua orang tuanya.
“Mas, tadi Mama nyariin kamu loh. Katanya kamu udah lama nggak ngabarin beliau.”
“Mama kamu?”
“Mama kamu lah!”
Praha memperlambat langkahnya.
Mama? Mama gue? Mama masih ada? Mama beneran masih hidup?
@guanhengai, 2021.