606.
Pukul 19.45 kedua remaja tampan masih berkutat dengan kayu bakar dan minyak tanah di tengah halaman belakang rumah mereka. Tusuk sate berhias sosis dan potongan daging dibiarkan berjajar di samping alat grill. Bibi, Beler, dan Dave berlarian mengambil alat perang mereka masing-masing.
Di tengah sibuknya anggota keluarga lain, Jerry dan Angel justru menepi dan menikmati potongan kue dari piring masing-masing. Tadi pagi Angel dan Jerry bangun dengan tubuh yang terasa berat, mungkin akibat belanja terlalu lama. Sang tuan, beruntungnya, langsung sembuh setelah minum Panadol. Memang orang Indonesia. Namun, Angel masih merasakan pening meski hanya sekelibat.
Bangku kecil di bawah pohon rambutan menjadi tempat persembunyian mereka dari omelan anak-anaknya. Jika Jiji melihat kedua insan itu asik bersandar manja, amukannya mungkin akan menghancurkan rencana bakar-bakaran malam ini.
“Yah, habis.”
Jerry menoleh, kemudian menukar piring kosong di tangan istrinya dengan piring berisi potongan kue terakhirnya.
“Makasih, Mas.” Angel terkekeh saat menerimanya.
Tangan lelaki itu kemudian terjulur ke depan, menangkap setetes air sisa hujan tadi sore. Setelah menunggu sekitar tiga jam, akhirnya angin mampu mengusir awan hitam yang terlihat nyaman berlabuh di atas ibu kota. Hampir saja rencana garden party mereka gagal.
Teru teru bozu yang Jiji pasang melintang di depan kolam berenang ternyata berguna juga. Awalnya, Ajen dan Jerry menertawakan si bungsu karena mengikat kertas putih dan membuat bentuk seperti casper berkepala plontos. Namun, saat hujan berhenti tiba-tiba, lidahnya menjulur hebat pada abang dan ayahnya.
“Tuh, kan! Papa sama Abang nggak percaya sih! Mereka bisa ngusir hujan, tau!” cemoohnya.
“Kamu beneran nggak mau pake jaket?”
Pertanyaan sang istri membawa kesadaran Jerry kembali pada tempatnya. Ia menengok sedikit, lalu menggeleng pelan. “Pake aja, biar kamu nggak makin demam.”
Meski terkesan berlebihan, senyum manis tetap menghiasi wajah cantik Angel. Jerry tidak berubah sejak dulu. Lelaki itu selalu memberi apa pun yang membuat Angel nyaman dan bahagia, meski harus mengorbankan dirinya sendiri.
Sang puan memeluk manja lengan kekar suaminya. Bersandar sepenuhnya pada bahu Jerry yang hanya dilapisi kaos tipis. Akan tetapi, kini Jerry sedang dalam mode jahil. Sisa percikan air yang masih bersarang di tangannya sengaja ia cipratkan ke wajah Angel.
Kepala yang baru saja bersandar pun bangkit dan menatap tajam suaminya, dengan tawa kencang menyebalkan. Tangan Angel meletakkan piring kecil berisi potongan kue yang belum sempat ia lahap. Sungguh, Angel benci mendengar tawa jahil suaminya. Jerry persis seperti Jiji yang bangga kala berhasil mengerjai abangnya. Sampai suaranya yang sedikit nge-bass pun sama persis.
Tak ingin kalah, si cantik yang wajahnya dipenuhi bintik air itu pun mengusap pinggiran bangku yang masih basah. Tanpa ragu, ia langsung mencipratkan sebanyak-banyaknya air yang dapat ia tampung ke arah Jerry. Sialnya, sang tampan berkaos hitam itu sudah tahu rencana balas dendam istrinya. Dengan kecepatan cahaya, ia bergeser dan menghindari cipratan itu.
“IH! CURANG!” pekik Angel kesal.
Jerry mengangkat bahu dan menjulurkan lidah. Lagi-lagi Angel meraup sisa-sisa tetesan air hujan di sekitarnya. Suaminya mengangkat tangan dan membuat tameng. Sang puan lantas berdiri dan menarik tangan Jerry, mengibas tangannya yang penuh dengan bulir air. Jerry menunduk. Air mengenai kue Angel yang malang.
“Mas! Kena kuenya!”
“Loh? Kok aku yang dimarahin? Kan kamu sendiri yang cipratin.” Jerry tertawa.
Angel pun ikut tertawa geli, mendorong tubuh suaminya untuk ikut duduk di bangku itu lagi. Rasa pening perlahan memudar. Sejenak, tubuh mereka kembali menempel satu sama lain. Debar jantung masih sangat cepat. Ternyata, usia seperti ini masih bisa mereka gunakan untuk bermain bagai anak kecil.
“Mereka tumbuh cepet banget ya,” ujar Jerry sembari menatap lurus ke arah Ajen dan Jiji yang bersorak karena berhasil menyalakan api unggun.
“Iya, sekarang udah nggak mau digandeng lagi,” jawab sang istri.
“Kamu juga.”
Kening Angel mengernyit. “Hah? Aku?”
“Iya, kamu juga makin dewasa. You're not my girl anymore, you're my amazing, beautiful, incredible woman.” Jerry tersenyum manis.
Waktu yang cepat berlalu nyatanya sudah mengubah Jerry dan Angel menjadi pria dan wanita hebat bagi keluarga mereka. Jerry bukan lagi lelaki yang suka becanda kotor dengan teman-temannya, ehm, masih sesekali. Angel bukan lagi gadis yang hanya bisa menangis saat melakukan kesalahan.
Kini mereka terlihat seperti manusia dewasa yang bijak dan mapan.
Jika teman-teman karyawan Neo corp mengadakan reuni, mungkin keduanya akan terlihat seperti dua sosok yang jauh berbeda dari terakhir kali mereka lihat. Namun, bagi Jerry dan Angel, perubahan itu merupakan proses yang tak instan dan dihiasi jatuh-bangun.
Untuk menjadi Jerry-Angel yang kini duduk manis sembari bergandeng mesra, butuh banyak kejadian yang menguras fisik dan mental. Mereka berkali-kali jatuh sebelum salah satu menariknya untuk kembali bangkit.
“Ya udah, ke sana yok?” ajak Jerry sembari menyengir jahat.
Angel ikut menyengir kala melihat tangan suaminya mengusap air di bangku. Tanpa Jerry ketahui, Angel juga mencolek krim kue yang sudah tak layak konsumsi. Bersiap untuk perang.
Ternyata, Jerry tidak mencipratkan air ke wajahnya. Ia justru mengangkut piring Angel dan mengulurkan tangan untuk membantu istrinya berdiri. Ah, tidak asik. Baiklah, jika Jerry tidak memulai perang, Angel dapat melakukannya.
Tyulll
Goresan tebal cream berwarna putih menghiasi pipi Jerry, tepat di lesung pipitnya. Angel langsung berlari kencang sesaat setelah suaminya sadar akan hal tersebut.
“ANGEEEEELLL!!!! JANGAN LARI!!! KAMU MASIH SAKIT!!!” Jerry berteriak dan mencoba menggapai istrinya.
Yang dipanggil sudah melangkah besar menuju tempat Bi Asih dan Bi Marni berdiri. Ia bersembunyi di balik tubuh kedua wanita itu dan menjulurkan lidah pada Jerry. Sang suami yang merasa ditantang pun segera meremas sisa krim kue yang ada demi misi balas dendamnya. Melihat hal tersebut, Angel langsung terbirit-birit menuju kursi Ajen dan Jiji.
Jerry mendesis sebal, kemudian lanjut mengejar istrinya. Beler dan Dave yang sedang mengangkut alat grill pun hanya menggelengkan kepala dan menatap heran majikannya. Sudah tidak ada lagi rasa takut yang tersangkut di dada mereka. Jerry dan Angel benar-benar akan berubah menjadi sosok hangat dan kekanakan jika di dalam rumah.
“ANGEEELLL!! SINI!!” Jerry masih berteriak di tengah larinya.
“KEJAR LAH!! PAYAH!!” ejek Angel yang justru menambah laju Jerry.
Istrinya berteriak heboh. Ujung kaos Ajen sempat ia tarik, namun putra sulungnya tidak berniat ikut lari-larian dengan sang ibu. Begitu juga dengan Jiji, kening dan ujung matanya sudah berkerut melihat kelakuan kedua orang tuanya.
Hingga fokus Angel mulai buyar, sandal jepitnya tertekuk dan membuat dirinya terjatuh di atas rumput. Jerry yang masih berlari pun tertawa tanpa rasa kasihan sama sekali.
Beberapa detik kemudian, tubuh kekarnya mengungkung sang istri dalam pelukan. Krim kue yang memenuhi telapaknya langsung diusapkan ke wajah Angel. Ingin bangkit pun ia tak mampu. Akhirnya, Angel pasrah dipeluk erat oleh suaminya dengan muka cemong.
“Ck, nanti jerawatan, Mas!” protes sang istri.
“Nggak apa-apa, tetep cantik,” gombal si suami.
Mereka berbaring di atas rerumputan belakang rumah. Deru napas kasar memenuhi telinga masing-masing. Hidungnya rakus berebut oksigen untuk memenuhi paru-paru. Dada Angel dan Jerry naik-turun tak keruan.
“Hhhhh cap-ek,” ujar Jerry sedikit sesak.
“Uhuk! P-payah, gitu doang c-capek!” respon Angel tak kalah sesak.
Suaminya memberi sentilan di dahi. “Halah! Kamu juga ngos-ngosan. Nggak usah sok kuat deh! Lagi sakit juga.”
Mereka terdiam sejenak. Hingga sesuatu terasa menusuk kulit Angel, barulah ia sadar bahwa kini keduanya tengah berbaring di atas rumput. Lantas sang puan bangkit, tak ingin rambut panjangnya berselimut kotoran. Sebelum berhasil ia duduk, tangan Jerry sudah menariknya kembali. Jadilah kepala Angel bertumpu pada dada sang suami. Kaos hitam Jerry pun harus dikorbankan karena terkena krim kue di muka Angel.
“Di sini dulu, aku capek,” ucap Jerry masih sedikit engap.
“Mau selesai aja?” tanya sang istri yang juga masih sedikit terbata.
“Apanya?”
“Kita.”
Jerry langsung menahan napas. Ia sedikit menunduk demi melirik si cantik yang berbaring di atas dadanya.
Pletak
Lagi-lagi sentilan berhasil mendarat di kening Angel dan membuat sang empunya mengaduh kesakitan.
“Sakit!” protesnya.
“Kita? Apa yang harus kita selesein? Hah?” tanya sang suami.
“MAKSUDNYA INI! KEJAR-KEJARANNYA!” pekik Angel kesal.
“Ngomongnya yang bener dong, kan jadi salah paham,” bela Jerry.
“Ah! Kamu emang hobinya salah paham, Mas!”
Jerry tertawa mendengar pernyataan Angel. Lengan kekarnya semakin erat memeluk wanitanya. Mata si tampan menggaris berbentuk sabit seraya pipinya tertarik. Ini menyenangkan. Ekspresi kesal bercampur lelah istrinya merupakan pemandangan yang tidak dapat ia lewatkan.
Jika boleh meminta pada Tuhan, Jerry ingin waktu selalu berjalan seperti ini. Bahagia.
(*) Teru teru bōzu (wikipedia) adalah boneka tradisional Jepang yang terbuat dari kertas atau kain putih yang digantung di tepi jendela dengan menggunakan benang. Jimat ini diyakini memiliki kekuatan ajaib yang mampu mendatangkan cuaca cerah dan menghentikan atau mencegah hujan.
@guanhengai, 2022.