611.

Dahi Jerry mengernyit saat mendapati mobil teman-temannya berjajar rapi di halaman panti. Sepertinya, Hargi dan Atuy tidak berbohong tentang sesuatu hal terjadi pada Ojon. Namun, jika itu adalah sesuatu yang buruk, seharusnya mobil mereka akan terparkir sembarangan.

Kakinya berkali-kali tersandung sampai Jiji harus ikut memegang tangan sang ayah. Jauh di belakang mereka, Ajen merangkul bahu Angel yang suhu tubuhnya kian meningkat.

Awalnya, Jerry meminta Angel tetap di rumah untuk beristirahat. Tentu istrinya itu langsung menolak dan memaksa ikut. Akhirnya, mereka memijakkan kaki di panti sebelum jarum pendek menyentuh angka enam.

Halaman yang cukup luas membuat keempat manusia itu butuh setidaknya dua menit untuk sampai di ruang tamu. Tak menemukan siapa pun di sana, Jerry dan Jiji langsung bergegas menuju ruang tengah. Samar-samar mereka mendengar pria dewasa berbicara satu sama lain.

Anehnya, tidak ada nada khawatir atau sendu yang terdengar. Obrolan itu seperti percakapan mereka biasanya, penuh canda yang disusul tawa Marcell.

Jiji dan Jerry sempat terdiam saat melihat Gavin dan Marcell berdiri santai di samping sofa, sedangkan Atuy dan Hargi asik menikmati kue cokelat di tangan masing-masing.

Ojon? Pria itu duduk sembari tertawa menatap teman-temannya. Seperti tidak ada sesuatu yang serius di sini.

“Loh? Kalian kasih tau Jerry?”

Pertanyaan itu terlontar dari si tokoh utama yang sedari tadi memenuhi otak Jerry.

Alih-alih menjawab, pria berkaos polos itu berlari ke arah tempat duduk Ojon. “Lo kenapa?”

Seperti biasa, Ojon hanya melambaikan tangan, memberi kode bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana mungkin? Salah satu kakinya kini terbalut perban dan terlihat mengerikan.

Ojon yang melihat arah tatap Jerry pun berkata, “Oh, ini, cuma terkilir. Mereka aja yang lebay! Gue bilang nggak apa-apa, tapi maksa banget harus telepon lo.”

Jerry menghela napas kasar. Entah harus merasa lega atau kesal, tetapi mengemudi dengan kecepatan 120 km/h di pagi hari demi melihat Ojon yang terkilir merupakan hal gila yang ia lakukan. Masalahnya, Jerry tak hanya membawa tubuhnya sendiri, tetapi juga istri dan kedua putranya.

Demi Tuhan, jarak dari rumah ke panti seharusnya menghabiskan waktu satu setengah jam. Tetapi, pagi ini ia mengemudi bagai kesetanan dan hanya butuh 50 menit untuk sampai.

Setelah memejamkan mata beberapa saat, kedua ekor netra Jerry menusuk Atuy dan Hargi yang masih asik menikmati kue tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“KAMPRET LO BERDUA!” pekiknya seraya bangkit dan menarik kerah kaos Atuy.

“HEH! SELO DONG!” protes temannya.

“SELO GIMANA, ANJING?! ISTRI GUE LAGI SAKIT DAN PAGI-PAGI BUTA LO TELEPON DIA BUAT KE SINI! GUE PIKIR OJON KENAPA-NAPA, BANGSATTT!!”

“JANGAN PERNAH MAIN-MAIN SAMA NYAWA ORANG!”

Semuanya menatap Jerry. Jiji yang belum pernah melihat papanya seperti itu langsung merapat ke tubuh Marcell dan Gavin. Atuy yang biasanya menggoda Jerry pun hanya diam sembari menundukkan kepala. Kali ini ia benar-benar marah.

Jika keadaan tidak separah ini, jika Angel tidak dalam keadaan sakit, mungkin Jerry akan menanggapinya dengan lebih santai.

“Gila!” hardiknya lagi sebelum melepas cengkraman di kaos Atuy.

“Sorry.” Hanya itu yang dapat Atuy dan Hargi katakan saat ini.

“M-mas?”

Suara serak Angel langsung menyita perhatian semua orang yang memenuhi ruang tengah. Tubuhnya yang bertumpu penuh di dada Ajen dan bibirnya yang sedikit pucat langsung membuat ekspresi Atuy dan Hargi dipenuhi rasa bersalah.

Jerry berjalan mendekati istrinya, menggantikan tugas Ajen dan merangkul Angel. “Ayo, kita istirahat di kamar aja,” tuturnya.

Kening Angel seketika mengerut, tatapnya kemudian jatuh pada Ojon yang tersenyum janggal dari atas kursi.

“Hai, Ngel,” sapanya.

“Jon, lo nggak apa-apa?” tanya Angel dengan suara yang sangat lemah.

“I'm okay, totally fine. Dua borokokok ini yang lebay!” katanya setelah menunjuk Atuy dan Hargi.

“Lo istirahat aja. Sorry ya ganggu pagi-pagi,” lanjutnya yang langsung direspon gelengan oleh Angel.

“Nggak apa-apa. Ya udah, gue ke kamar dulu ya. Sorry nggak bisa gabung,” pamitnya pada kelima pria dewasa di sana dan juga anak-anaknya.

Suara Ajen dan Jiji yang merengek kesal terdengar samar-samar dari balik punggung Angel dan Jerry. Dua remaja itu juga pasti marah pada uncle-uncle sialan yang mengganggu tidur mereka.

Hingga keduanya sampai di depan pintu kamar, suara di ruang tengah semakin terdengar abstrak. Terlebih, rasa pusing yang mendera kepala Angel membuatnya tidak begitu jelas menangkap suara dari luar.

“Kamu nggak perlu marah segitunya sama Atuy-Hargi, Mas,” tuturnya setelah mendorong pintu kamar.

“Gimana nggak marah? Mereka bikin aku panik, kamu juga, bahkan anak-anak juga ikut panik.”

“Tapi kan Ojon beneran terkilir, Mas.”

“Iya, tapi mereka tuh ngabarin kita seolah-olah Ojon ada di ujung maut, Sayang. Nggak lucu tau!” gerutunya.

Jerry menunduk sebentar untuk menarik selimut yang terbentang di ranjang, lalu membantu istrinya berbaring di sana.

“Ya udah, tapi jangan marah kayak tadi di depan anak-anak. Ajen sama Jiji ketakutan, Mas.”

“Sorry.” Netra sang tuan memandang wanitanya dengan penuh rasa bersalah. Ia melupakan hal tersebut.

Angel tidak menjawab, hanya tangannya yang berkali-kali menepuk space kosong di sampingnya. Sang suami yang mengetahui kode tersebut pun langsung melepas jam tangan, meletakkannya di atas nakas, dan ikut bergabung dengan Angel.

“Kamu beneran nggak mau ke dokter?” tanya Jerry untuk kesekian kalinya.

“Nggak usah, udah nggak terlalu pusing kok. Tinggal tidur sebentar, habis itu pasti sembuh,” jawab Angel.

Sang tuan kemudian mengangguk dan menariknya ke dalam pelukan. Telapak hangat Jerry menepuk-nepuk punggung Angel seperti saat ia menidurkan Ajen dan Jiji sewaktu bayi.

Jika dibandingkan suami dan kedua putranya, Angel termasuk jarang sekali terserang penyakit. Hanya batuk dan pilek yang sesekali menghampiri, tetapi itu tidak pernah mengganggu aktivitasnya. Maka dari itu, keadaan Angel yang seperti ini membuat Jerry dan anak-anaknya khawatir. Terakhir kali Angel mengeluh pusing, keesokan harinya ia harus dirawat di rumah sakit karena terkena malaria. Masalahnya, Angel masih takut dengan jarum suntik dan menolak untuk ke dokter.

Semoga kali ini tidak ada sesuatu yang lebih serius.


Matahari terus bergulir hingga melambung tepat di atas kepala manusia. Benar kata Angel, keadaannya berangsur membaik setelah tidur dan makan semangkuk bubur ayam.

Kini wanita itu sudah bergabung dengan istri Marcell dan anaknya, entah membicarakan tas atau dompet yang baru-baru ini dirilis oleh designer terkenal.

Jiji dan beberapa anak panti sibuk bermain bola di halaman samping. Gavin, Ojon, Jerry, dan Marcell berbincang santai di halaman belakang sembari menikmati kue hasil karya Jerry.

Atuy dan Hargi? Mereka harus membersikan seluruh lorong dan dapur panti akibat kejahilan mereka tadi pagi. Berapa pun usianya, jika mereka bertingkah layaknya anak kecil, maka Jerry akan menghukum layaknya anak kecil juga.

“Kayaknya kita beneran harus cariin istri buat mereka deh,” kata Gavin santai.

“Lo juga harus nikah, Vin!” respon Ojon.

“Lo juga kali, Jon,” ucap Marcell.

“Ah, gue mau ngurus panti aj-”

“Eh! Mau ke mana, Jen?”

Kalimat sebelumnya terputus saat Ajen lewat membawa nampan berisi sepiring kue dan dua gelas yang entah berisi cairan apa.

“Ke depan, Uncle. Mau ngobrol sama Uncle Adil,” jawab remaja itu.

Setelah keempat pria dewasa di sana mengangguk, Ajen pamit untuk melanjutkan langkahnya yang terhenti sejenak.

Ia sempat mendengar percakapan ayah dan sahabat-sahabatnya itu. Memang selalu begitu jawaban Ojon. Bukannya tidak ada wanita yang ingin bersama unclenya, tetapi ia yang menutup diri. Ah, bukan, menutup hati lebih tepatnya.

Ojon berkali-kali mencoba untuk menjalin hubungan dengan beberapa kenalannya. Namun, ia berakhir pada rasa tidak percaya diri karena masa lalu orang tuanya.

Berbeda dengan Jerry dan Atuy yang 'dibuang', Ojon justru menyerahkan diri ke panti asuhan. Ojon yang saat itu masih duduk di bangku SD datang dengan ransel penuh jajanan.

Ojon kecil sedang pergi untuk karya wisata saat ia menemukan sebuah bangunan berisi anak-anak. Ojon yang memang tidak terlalu suka bermain bersama teman-temannya pun memutuskan untuk bergabung dengan kerumunan bocah di halaman panti.

Awalnya, ia hanya ingin menginap di panti selama beberapa hari, kemudian menelepon orang tuanya untuk menjemput. Namun, ternyata panti asuhan jauh lebih hangat dari rumahnya sendiri.

Sebenarnya, Ojon bisa kembali ke keluarganya kapan pun ia mau. Tetapi, fakta bahwa orang tuanya bahkan tidak berusaha mencari ketika Ojon hilang membuat dirinya marah dan kecewa.

“Woi, woi, woi! Kelewatan kali, gue di sini!”

Ajen berhenti sebelum menengok ke belakang. Ia meringis kala melihat ekspresi heran unclenya. Pria yang sedang duduk itu terlihat tidak segalak biasanya. Kini ada sedikit gurat bahagia, mungkin?

image

“Ajen bawain brownies buatan Papa,” tutur remaja itu sembari menata piring dan dua cangkir teh hangat di meja kecil.

“Thanks,” tutur Mas Adil

“Sama-sama,” jawab Ajen.

Setengah jam kemudian, mereka hanya berdiam seraya menikmati angin tipis-tipis yang didominasi hawa panas. Teriknya sang surya menuntut pori-pori Ajen dan Mas Adil mengeluarkan bulir keringat. Namun, mereka mengabaikannya.

“Gimana kemarin? Bisa ujiannya?”

Suara Mas Adil memecah keheningan mereka.

“Ya, so so lah. Ada yang lancar, ada yang ngadet,” jawab Ajen.

“Terus? Menurut lo bakal keterima di mana?”

“Aduh, kalo itu Ajen juga nggak yakin, Uncle. Tiap tahun aja passing grade-nya beda, belum lagi saingannya semakin hebat. Yang penting Ajen udah berusaha, urusan keterima di mana biar Tuhan yang atur.”

Salah satu sudut bibir Mas Adil terangkat. “Jerry banget,” gumamnya.

“Kalo di luar kota berarti ngekos?” tanya pria itu lagi.

“Hmmm, kalo di Jogja paling nempatin rumah Eyang. Kalo di Bandung ya ngekos.”

“Kabarin gue kalo keterima, biar gue beli rumah di sana.”

Ajen membelalak seketika. “Rumah buat Ajen?!”

“Bukan lah! Buat gue.”

“Ngapain Uncle beli rumah di sana?”

“Kepo banget, tinggal bilang doan,” ucap Mas Adil.

“Iya, nanti Ajen kabarin.”

“Ya, semoga lo keterima pilihan pertama deh. Mau di mana pun lo kuliah nanti, pesen gue cuma satu.”

Mas Adil menengok ke arah Ajen sebelum melanjutkan perkataannya. “Selalu jujur, takut sama Tuhan, dan berlaku benar. Jadi orang baik tuh nggak cukup, soalnya orang baik belum tentu bener.”

Ajen terdiam, menatap kagum uncle di hadapannya. Mas Adil memang tidak seramah Marcell dan Gavin, tidak sebijak Jerry dan Ojon, juga tidak selucu Atuy dan Hargi. Tetapi, setelah Ajen mengenalnya, ia menemukan kenyamanan saat bercerita dengan beliau.

Entahlah, Ajen pun tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya.

“Kenapa ngeliatin gue? Nggak percaya ya orang kayak gue bisa ngomong gitu?”

Remaja itu langsung menggeleng cepat, kemudian tersenyum manis. Jerry selalu mengajarkan dirinya untuk mendengar perkataan orang lain. Bukan karena siapa orangnya, tetapi apa yang mereka katakan.

“Ajen bakal selalu inget itu. Jujur, takut sama Tuhan, berlaku benar. Ajen bakal lakuin,” katanya.

Mas Adil mengangguk seraya memberi dua tepukan di bahu Ajen. Sebenarnya, ia tahu Ajen akan melakukan hal tersebut tanpa disuruh. Remaja di hadapannya benar-benar bertumbuh seperti ayahnya. Bahkan, Ajen bisa menjadi lebih baik dari Jerry.

Ajen mengulurkan cangkir tehnya pada Mas Adil, lalu dibalas oleh pria itu. Denting tubrukan cangkir mereka memancing senyum lebar keduanya.

Ketika hampir semua orang menghindari Mas Adil, hanya Ajen yang berani mendekati dan berbincang dengannya. Ia benar-benar bahagia kala menikmati waktu bersama uncle yang satu ini.


@guanhengai, 2022.