65.
Praha yang sudah merindukan sang ibu langsung masuk ke rumah setelah melepas helmnya. Ia tahu wanita cantik itu sedang berada di dapur karena aroma masakan Mama sudah menyapa indra penciumannya. Mama memang pintar masak, makanya dulu sering dipanggil para penghuni cluster mewah untuk membantu mengurus rumahnya.
Senyum hangat yang dua tahun terakhir hanya bersarang di otak Praha kini tercetak jelas di hadapannya. Wanita berusia 44 tahun itu tetap terlihat cantik meski tidak pernah melakukan perawatan mahal. Secepat kilat, lengan kekar sang pemuda langsung merengkuh tubuh yang jauh lebih pendek itu.
“Errr, kamu udah berat, Praha!” protes Mama mendorong bahu Praha. Biarlah, lelaki itu ingin bebas memeluk mamanya saat ini.
Sharen memang pantas dapat julukan bidadari dunia dari para bapak-bapak komplek perumahan. Bagaimana tidak? Kulit mulus dan aura elegannya mampu menutupi fakta bahwa wanita itu terlahir dari keluarga sederhana.
Papa Praha memang tidak salah pilih istri. Dulu.
“Mama, Praha kangen...” gumam lelaki itu masih dengan memeluk erat Sharen.
Setelah bersusah payah, akhirnya Mama dapat melepaskan diri dari anak manjanya. “Ish! Kamu yang nggak dateng ke rumah Mama!”
Tatapan wanita itu mengiringi langkahnya menuju wastafel. Entah sudah berapa kali Praha mengucapkan terima kasih pada Tuhan sejak ia memasuki dunia ini. Rasanya, kehidupan yang Praha inginkan terwujud semua di sini.
Kecuali Papa yang menikah dengan nenek lampir. Dan kondisi ekonominya yang kurang stabil.
Kebulan asap di atas wajah memancing saraf sensori di hidung Praha. Ca kangkung buatan Mama tidak pernah gagal. Tambahan tauco dan beberapa udang kecil di dalamnya membuat masakan itu semakin lezat.
Ugh, cacing di perut Praha sudah meronta-ronta.
“Udah, kamu duduk aja. Jangan ganggu Mama masak,” tutur Sharen sembari mendorong bahu anaknya.
Saat tiba di kursi makan, netra Praha terpaku pada sebuah box. Kotak bertuliskan salah satu bakery terkenal di kota mereka tentu membuat dahinya mengerut. Jangankan membeli cake sebesar itu, untuk menyicip roti tawar slice di sana saja mereka tidak mampu.
“Ma, kok ada kue ini?” tanya lelaki itu.
Jantung Sharen berdegup kencang kala pertanyaan itu meluncur dari mulut Praha. Tidak ada kebohongan yang masuk akal saat ini. Satu-satunya jalan adalah mengungkapkan fakta.
“Tadi papamu ke sini, Praha.”
Tiba-tiba Sharen melihat rahang anaknya mengeras dari kejauhan. Ia menangkap urat di leher dan wajah Praha menyembul. Sama seperti dugaan Mama, anaknya pasti tidak suka dengan fakta tersebut. Namun, ia tetap bungkam meski matanya tak lepas dari si jenjang tampan itu.
“Ngapain dia ke sini?” tanya anaknya dengan nada super tajam.
“Praha, dia tetep Papa kamu.”
“Secara biologis, iya. Tapi, mana ada Papa yang ngusir anaknya dan belain pelakor?”
“Hah? Kamu diusir Papa? Kapan? Kok nggak cerita sama Mama?”
Praha terdiam sejenak. Lihat saja bagaimana ekspresi mamanya sekarang —alis yang hampir menyatu, wajah memerah, napas tak keruan. Lelaki itu berdiri bersandar meja makan, telapaknya hinggap di kedua bahu Mama.
“It's okay, salah Praha karena masuk ke kantor Papa tanpa izin.” “Sekarang Praha mau nanya, tadi Papa ngapain ke sini?”
Beda. Itu yang Sharen rasakan saat ini. Ia harus mengakui sikap anaknya sangat berbeda dari sebelumnya. Praha yang biasa meninggalkannya begitu saja saat membahas sang mantan suami kini justru menanyakan tujuan pria itu mendatanginya.
“Mama juga nggak tau. Tadi papamu cuma kasih itu, terus minta maaf, terus pergi,” jelas Sharen dengan netra tertuju pada box kue yang sama sekali belum di buka.
Praha menelan rasa curiga, namun tetap memberi usapan hangat di bahu Mama. Ia takut Papa menyakiti wanita di hadapannya. Praha tidak ingin kehilangan Mama untuk kedua kalinya. Praha tidak siap.
Setelahnya, pemuda itu menarik raga Sharen dalam pelukannya. Tidak ada yang boleh menyakiti Mama. Kalimat barusan bukan hanya untuk orang lain, juga untuk dirinya sendiri. Ia tidak akan menyakiti Mama lagi dengan kekecewaan.
“Anak Mama udah dewasa sekarang,” tutur Sharen yang susah payah meraih surai anaknya yang sudah tumbuh tinggi.
@guanhengai, 2021.